Senjakala Ojek Sepeda di Kota Tua

Menjadi pengojek sepeda sejak 1988, Nuridin merasa tak pernah sepi seperti saat ini.

oleh Muslim AR diperbarui 16 Mar 2016, 19:59 WIB
Diterbitkan 16 Mar 2016, 19:59 WIB
Muslim Abdul Rahmat/Liputan6.com
Ojek sepeda di Kota Tua (Muslim Abdul Rahmat/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah DKI Jakarta bertekad mempertahankan keberadaan Kota Tua sebagai kawasan wisata sejarah. Pemerintah terus melakukan sejumlah pembenahan agar Kota Tua semakin nyaman dan aman untuk dikunjungi.

Namun, kondisi berbalik dialami para pengojek sepeda di kawasan itu. Mereka tidak masuk daftar diselamatkan. Nasib sejumlah pengojek sepeda semakin tersisih seiring menjamurnya ojek online yang lebih mudah dan murah.

"Kami tak banyak ini-itunya Mas, asal bisa narik di sekitaran sini saja udah syukur,"  ujar Mud (48) pada Liputan6.com, Rabu (16/3/2016).

Hampir sama dengan Mud, Nuridin (53) merasa nasibnya di ujung senja. Menjadi pengojek sepeda sejak 1988, dia merasa tak pernah sepi seperti yang saat ini.

"Hampir 30 tahun saya di sini, sudah 5 tahun ini susah nyari penumpang, banyak mangkalnya dari pada mengayuh," ujar Nuridin dengan bahasa Indonesia yang kental dialek Tegal.

Nuridin tak berharap banyak. Jika memang Kota Tua bakal diperbaiki, direvitalisasi atau menerima investasi luar negeri, dia akan berhenti menarik ojek sepeda. Dia akan mencoba cari peruntungan lain meski belum tahu bakal bekerja apa.

"Sedih juga Mas, saya narik sejak ongkos Rp 500, sampai sekarang paling rendah Rp 5 ribu. Tapi mau apa lagi?" kata Nuridin.

Nuridin mengaku sudah patah arang. Dia sudah tidak percaya lagi pada rencana pemerintah.

"Sudahlah Mas, saya udah sering diwawancarai, teman-teman juga sering masuk tivi, ya hasilnya toh gitu-gitu aja. Malahan makin sepi penumpang," kata Nuridin.

Tatapan Nuridin menerawang, melihat lalu lalang pengunjung dan kendaraan. Dia lalu bercerita soal banyaknya televisi dan wartawan yang mewawancarai dia dan teman-temannya sesama pengojek sepeda.

"Sebulan lalu, ada anak-anak kuliah dan orang kantoran gitu, mereka meneliti kami, foto-fotoin kami lagi narik, gak tau buat apa. Tapi terakhir ketemu, saya dikasih kertas, banyak tulisan dan fotonya. Kata mereka buat kenang-kenangan," kata Nuridin.

Pulang Kampung

Seorang pengojek sepeda lainnya, Jangkung punya pandangan berbeda. Ayah 4 anak ini berharap pemerintah mencabut izin angkutan berbasis online. Tak hanya memikirkan nasib ojek sepeda, pemerintah juga harus memikirkan nasib ribuan sopir, kenek, dan pencari nafkah lainnya di ibu kota.

"Kalau kami udah pasti KO Mas. Sejak kredit motor murah saja udah gak banyak lagi penumpang. Sekarang semua motor mudah dibawa pulang. Penumpang juga tinggal pencet-pencet hape, ntar tukang ojeknya datang padahal kami ada di depan mereka," ujar Jangkung.

Para ojek sepeda ini sudah berada di titik nadir, hanya menunggu waktu. Keberadaan mereka bakal menjadi sejarah dan dilupakan.

"Teman-teman yang bertahun-tahun di sini sudah banyak yang pulang kampung. Kalau yang masih bertahan di sini kerja serabutan, ada yang nguli, dagang, ngumpulin plastik, ya macam-macamlah," ucap Pak Jangkung.

Ia telah 30 tahun lebih narik ojek sepeda, meski masih ada beberapa penumpang setianya, dia bertekad untuk pulang dan melupakan segala kenangannya di ibu kota.

Kota Tua menjadi saksi bisu peninggalan penjaja. Bangunan dan arsitekturnya bakal dilestarikan pemerintah.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya