Airlangga Hartarto Ingin Adopsi Sistem Pemilu Jerman

Menurut Airlangga, sistem proporsional terbuka dan tertutup perlu untuk menjaring calon yang punya kemampuan tetapi tidak punya modal.

oleh Silvanus Alvin diperbarui 11 Apr 2016, 08:10 WIB
Diterbitkan 11 Apr 2016, 08:10 WIB
Airlangga Hartarto
Airlangga Hartarto (Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Calon Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, mendorong perubahan sistem pada Pemilu 2019 mendatang. Ia menyarankan ada gabungan antara sistem proporsional terbuka dan proporsional tertutup.

"Sekarang ini memakai sistem proporsional terbuka. Apa yang kita lihat adalah area pasar bebas atau free fight liberalism. Yang terpilih tidak hanya punya kemampuan tetapi harus memiliki modal besar. Ini perlu kita koreksi ke depan," kata Airlangga dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin (11/4/2016).

Anggota Komisi XI DPR ini menjelaskan, ke depan agak sulit untuk kembali ke proporsional tertutup karena sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

 

Di sisi lain, jika tetap memakai sistem proporsional terbuka, maka pengalaman Pemilu 2009 dan 2014 akan terulang kembali yakni pertarungan menjadi sangat bebas dan tak terkendali. Yang terpilih pun yang populer dan punya uang banyak. Sementara yang punya kemampuan tetapi tidak punya modal tidak terpilih.

"Kita ingin memberi ruang kepada mereka yang punya kemampuan tetapi tidak punya modal. Mereka kebanyakan aktivis partai. Sehari-hari hidupnya di partai. Ada juga tokoh independen tetapi tidak punya modal. Nah, sistem kombinasi akan mengakomodasi mereka," ujar mantan Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII) ini.

Airlangga mengungkapkan, negara yang berhasil menjalankan sistem kombinasi itu saat ini adalah Jerman. Negara itu memakai setengah sistem proporsional terbuka dan setengah sistem tertutup.

"Kalau Jerman berhasil, kenapa kita tidak. Kita harus pakai sistem itu supaya tidak hanya yang kompeten dan modal besar yang terpilih. Tapi juga modal terbatas tetapi aktif di politik. Kita ingin cari format yang sesuai dengan budaya kita yaitu musyawarah. Sistem kombinasi menjadi jawabannya," tutur mantan Ketua Komisi VI DPR.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya