Transmigrasi Kembangkan Pertanian Ramah Lingkungan

Pertanian yang ramah lingkungan dan merujuk kepada alam terbukti memberikan hasil memuaskan.

oleh Liputan6 pada 14 Apr 2016, 17:00 WIB
Diperbarui 15 Apr 2016, 19:16 WIB
Transmigrasi Kembangkan Pertanian Ramah Lingkungan
Pertanian yang ramah lingkungan dan merujuk kepada alam terbukti memberikan hasil memuaskan.

Liputan6.com, Jakarta Kesadaran akan pentingnya menjaga alam dan lingkungan sudah menjadi kesepakatan internasional. Hal itu disambut Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) dengan mengembangkan konsep pertanian modern ramah lingkungan.

Pertanian modern tidak lagi dipandang sebagai sistem yang hanya bisa menghasilkan produk sebanyak-banyaknya dengan memanfaatkan berbagai jenis bahan kimia. Namun, akhirnya ekosistem di sekitar punah, rusak serta kegiatan pertanian pun mati.

Untuk itu, pertanian modern saat ini merujuk kepada pertanian organik yang mengandalkan bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia sintetis yang memproduksi bahan pangan yang aman serta tidak merusak lingkungan. Sebab, pertanian organik merupakan proses budidaya pertanian yang menyelaraskan pada keseimbangan ekologi, keaneka-ragaman varietas, serta keharmonian dengan iklim dan alam lingkungan.

Dengan mengembangkan pertanian yang ramah lingkungan dan merujuk kepada alam terbukti memberikan hasil memuaskan. Selain menghasilkan produk yang sehat dan menyehatkan, pertanian organik juga menguntungkan bagi petani karena nilai jual produknya lebih tinggi dibanding produk pertanian anorganik.

Maka tidak berlebihan, banyak pihak mulai melirik pertanian organik sebagai masa depan baru baik bagi keberlanjutan lingkungan maupun potensi ekonomi pertanian masa depan. Terkait lahan bukanlah persoalan untuk memulai pertanian organik di kawasan transmigrasi, sebab dari tahun ke tahun pemerintah menyiapkan lahan baru untuk para transmigran. Tahun lalu, pemerintah tidak kurang menyiapkan seluas 1,5 juta hektar lahan hutan konversi yang telah mengalami kerusakan untuk para transmigran.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Marwan Jafar mengatakan, penggunaan hutan tersebut tidak akan merusak fungsi hutan karena para transmigran tidak akan tinggal di dalam hutan. Mereka akan ditempatkan di Areal Penggunaan Lain (APL) dan akan difasilitasi dengan hak pakai hutan selama 70 tahun.

“Saat ini, setidaknya terdapat 9,5 juta hektar hutan konversi yang mengalami kerusakan di seluruh Indonesia, ” kata Marwan Jafar dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Kamis (14/4).

Pengembangan program ini juga diharapkan dapat memperbaiki kualitas lingkungan hidup di sekitar hutan. Menurut Menteri Desa PDTT, tak hanya memanfaatkan kawasan hutan konversi, Kemendes PDTT juga akan terus menambah Kawasan Terpadu Mandiri (KTM) di seluruh Indonesia hingga menjadi 79 KTM dari 44 KTM yang saat ini sudah ada. Penambahan kawasan mandiri ini akan terealisasi hingga 2015.

Tahun lalu, ketika sebuah daerah mengajukan pembangunan KTM dan kita disetujui. Maka otomatis KTM akan dibangun. Jika merujuk hingga 2015 paling tidak ada sejumlah 79 embrio KTM. Hingga kini, ada ada 89 kota baru di seluruh Indonesia yang berasal dari pembangunan KTM di lokasi transmigrasi.

"Konsep pengembangan dae-rah model KTM ini diharapkan menjadi pusat-pusat kota baru di masa datang. Dulu dibutuhkan 30 tahun untuk membangun sebuah kota, namun upaya sistematis untuk membuat kota baru dibu-tuhkan 10 hingga 15 tahun," tandasnya.

Proyek pertanian ogranik siap dibangun dan dikembangkan terutama di kawasan KTM. Potensi pertanian organik memiliki pangsa pasar yang menjanjikan, terlebih saat ini masyarakat internasional mengadopsi konsep "Kembali ke Alam" dimana permintaan produk pertanian organik diseluruh dunia tumbuh pesat hingga sekitar 20 persen per tahun.

Harga produk pangan organik juga jauh lebih tinggi daripada pertanian konvensional, sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan para transmigran, sekaligus menarik calon transmigran baru dari kelompok pengangguran berpendidikan karena pertanian organik membutuhkan keterampilan khusus.

Kemendes PDTT bekerja sama dengan Kementerian Pertanian dan Masyarakat Organik Indonesia (Maporina). Langkah awal, Kemendes PDTT melakukan sosialisasi dan pelatihan bagi para calon petani organik. Langkah kedua, Maporina melatih sebanyak 400 pengangguran untuk memperkenalkan pertanian orga-nik dan selanjutnya para peserta akan dikirim ke lokasi transmigrasi yang akan dikembangkan menjadi kawasan pertanian organik. Untuk itu, pemerintah optimistik program itu dapat menjadi salah satu program unggulan untuk mengatasi jumlah pengangguran dan kemiskinan yang naik menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun lalu mencapai 8,9 juta penganggur dan 35 juta orang miskin.

Sedangkan potensi dan sumber daya alam Indonesia yang melimpah dimana dan total 75,5 juta hektar lahan yang dipergunakan untuk usaha pertanian, baru 25,7 juta hektar yang diolah untuk sawah dan perkebunan. Uji tanam pertanian ogranik sudah dilakukan di Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan yang sudah panen raya pada Maret lalu. Padi variatas gogo dikawinkan dengan metik wangi. Hasilnya, pertanian organik jauh lebih banyak dibandingkan non organik, serta lebih pulen dan beraroma wangi. Hasil penenya pun berbeda, jika padi non organik per hektar bisa menghasilkan lima ton, sedangkan padi organik bisa mencapai enam hingga tujuh ton per hektar dan harganya juga tinggi yaitu Rp14.000 per kilogram.

Padi jenis itu, pertama kali ditemukan oleh Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Jawa Tengah, Totok Agung. Padi jenis ini bisa tahan pada tanah dalam kondisi kering maupun basah dan pertanian dengan jenis padi ini tidak memerlukan benih padi sebanyak jenis padi lainnya. Sehingga dalam satu hektar lahan hanya diperlukan 10 kilogram benih padi, dibandingkan dua cara lain yang dujicobakan yakni cara tebar acak yang memerlukan 60 kilogram benih padi dan cara tabela yang membutuhkan 40 kilogram benih padi dalam satu hektar.

(Adv)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya