Liputan6.com, Jakarta - Tanah Jawa juga memiliki kisah Robin Hood, selain si Pitung. Tak kalah dari legenda Robin Hood si pencuri baik hati dari Hutan Sherwood, Nottingham, Inggris.
R Surowidjojo atau Samin sepuh namanya. Dia adalah salah satu anak RM Adipati Brotodiningrat, yang pernah berkuasa sebagai bupati di Sumoroto yang termasuk wilayah Tulungagung, Jawa Timur, antara tahun 1802-1826.
R Surowidjojo disebutkan sering mengambil harta milik orang kaya yang menjadi antek Belanda. Harta itu kemudian dibagikan kepada orang miskin.
Sebagian digunakan untuk mendirikan gerombolan pemuda bernama 'Tiyang Sami Amin' pada 1840.
Robin Hood Jawa ini memiliki putra bernama R Kohar. Kelak, kisah sang putra dan kaumnya tercatat dalam sejarah dan masih berlanjut hingga kini.
Mengutip Suripan, budayawan Gunawan Budi Susanto atau akrab disapa Kang Putu menceritakan, R Kohar mengganti nama menjadi Samin Surosentiko. Dia juga bertani.
Baca Juga
Namun Samin tak tergolong miskin karena memiliki tiga bahu sawah, satu bahu ladang, dan enam ekor sapi. Dari desa itulah, sekitar tahun 1890, dia menyebarkan ajaran yang kelak disebut Saminisme.
Ciri utama gerakan Samin adalah perlawanan tanpa kekerasan. Secara politik, perlawanan model itu sebelumnya tak dikenal di dunia. Kelak, dunia lebih mengenal gerakan tersebut ketika diperkenalkan Mahatma Gandhi di India untuk menentang penguasa kolonial Inggris dengan nama, Satyagraha.
Meski begitu, kaum Samin tetap ada hingga kini.
Samin, Semen, dan Istana
Giyem (41) menyapu rambut di wajah bundarnya sambil meluruskan kakinya yang sudah disemen hampir 48 jam. Giyem tak sendiri, ia bersama 8 petani perempuan lain dari Kendeng, Jawa Tengah yang juga menyemen kaki sejak Selasa 12 April 2016.
Buat mereka, memasung kaki di depan Monas, Jakarta adalah perjuangan terakhir agar bisa bertemu sang Presiden, Jokowi. Ibu-ibu itu umumnya anggota kaum Samin.
Mereka melakukan aksi menyemen kaki itu untuk memprotes pembangunan pabrik semen di kawasan Pegunungan Karst, Kendeng, Jateng.
Pasungan semen memang membuat kaki Giyem panas dan sakit, sesekali ia mengurut kakinya. Kaki seorang petani, tak berbulu, cokelat mengilap karena bertahun-tahun terendam lumpur dan kuku kaki yang sedikit menguning dan kokoh.
"Di manapun sudah ndak ada respon sama sekali, di pejabat Jawa Tengah sudah, di Walikota sudah, ndak ada respons sama sekali, satu-satunya di sini, di depan istana, siapa tahu Pak Jokowi masih memperhatikan," ujar Giyem saat memulai percakapannya dengan Liputan6.com, Rabu 13 April 2016 malam di Kantor LBH Jakarta.
"Ini enggak seberapa panas jika dibandingkan hari-hari nantinya kalau sudah ada pabrik semen. Ini untuk memperjuangkan manusia, manusia yang mau hidup, hari ini, juga buat anak cucu," kata ibu dua anak itu.
Advertisement
Aksi menyemen kaki nan berbahaya itu terpaksa ditempuh para perempuan itu. Mereka sudah berusaha mati-matian mempertahankan alamnya. Mulai dari pemukulan hingga todongan senjata penjaga pabrik semen sudah ia rasakan.
"Bahkan ada yang dibuang polisi di tengah hutan, kadang ada juga yang mukul, tapi pemerintah juga ndak ada respons sama sekali," tutur Giyem.
Petani lainnya, Yebi Yulianti (28) menceritakan bagaimana kondisinya setelah kakinya dipasung semen. Selama terpasung, ia dan 8 rekannya tinggal di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat.
Di sana, mereka beraktivitas seperti biasa. Tidur, makan dan minum, sambil menunggu kepastian Presiden Joko Widodo atau Jokowi dapat bertemu dengannya.
"Makan sama minum biasa, ada yang ambilin. Kalau tidur juga dikasur," ujar Yeni sambil menunjukan cara tidurnya di atas kasur di LBH Jakarta.
Namun, yang berbeda, adalah cara untuk buang air kecil. Di mana, harus bergantung pada sebuah bilik dan pispot.
"Dibikin bilik. Jadi kita buang air kecil pakai pispot. Kalau yang lain (buang air besar), kita ke kamar mandi diantar," kata Yeni.
13 April 2016, dengan kaki yang masih disemen, mereka lalu diboyong oleh puluhan orang ke depan Istana, Jakarta. Setelah melakukan aksinya, 9 wanita itu mendapat respons dari Istana. Dua pejabat menemui mereka, yakni Kepala Staf Presiden Teten Masduki dan Menteri Sekretaris Negara, Pratikno.
Teten mengaku mengerti maksud dari para petani tersebut. Karena itu, dia berjanji akan mengagendakan pertemuan antara mereka dengan Jokowi. Meskipun belum diketahui kapan pertemuan itu akan berlangsung.
Setelah ditemui Teten, sembilan wanita itu rela melepas pasungan semen di kakinya. Mereka lalu pulang ke kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jakarta Pusat. Di sana petani-petani itu disuguhkan makanan dan minuman.
Di tengah waktu istirahat, mereka juga memanfaatkan kesempatan untuk mandi, lantaran dua hari ini mereka hanya mengelap badan dengan handuk dan air hangat.
Seorang perwakilan dari petani, Joko Prianto mengatakan, selain istirahat, mereka juga diberikan suplemen.
"Udah juga dikasih vitamin. Juga sudah pada bisa mandi. Semuanya perlu istirahat," ujar Joko.
Guna memulihkan kondisi kaki mereka, Joko bersama sejumlah aktivis LBH Jakarta memanggil dua juru pijat.
"Ini sebenarnya yang kakinya bengkak enggak ada. Tapi pada kesemutan, terus ada yang kram, jadinya biar cepat pulih, dipanggil tukang pijat. Ada dua orang yang dipanggil, mijitin semuanya," ucap dia.
Para petani itu pun berencana pulang ke kampung halaman mereka di pegunungan Kendeng.
Jujur, Naif, dan Gila
Sejak lama masyarakat Samin dikenal sangat jujur, bahkan cenderung naif. Namun saat zaman penjajahan dulu, pemerintahan kolonial Belanda kala itu punya pemikiran lain.
Gubernur Jenderal Van Heutz menyebut kaum Samin sebagai pembangkang. Dia juga memberi stigma gila pada sekumpulan orang ini.
Ini karena kaum Samin menolak membayar pajak dan upeti kepada pemerintah Belanda. Mereka merasa tidak pernah menyewa tanah atau apa pun ke pemerintah. Mereka juga menentang penjarahan tanah leluhur untuk dijadikan perkebunan jati oleh Belanda.
Kesal dengan ulah ini, Belanda menyebarkan kabar bahwa pengikut Samin yang tersebar di Blora, Pati, Bojonegoro, Rembang, Kudus, adalah orang gila. Tujuannya agar rakyat lain tidak mengikuti ajaran mereka.
Tuduhan itu terus berlanjut meski Belanda telah hengkang dari Indonesia. Ketika kebun jati di sekitar Blora dan Pati berganti kepemilikan, yakni dari Belanda ke Perum Perhutani milik pemerintah, perusahaan itu berupaya mengekspansi lahan warga sekitar.
Sikap pengikut Samin tetap sama. Mereka menolak tanah leluhur mereka dikuasai pemerintah. Lantas, kembali dihembuskan bahwa Samin adalah orang gila dan pengikutnya adalah orang tolol. Lama-kelamaan, istilah "wong Samin" identik dengan orang gila dan tolol.
Hingga akhirnya perangkat desa menggunakan 'tembung sing pener' (istilah yang tepat), barulah mereka bisa mengambil hati warga Samin. Seperti disampaikan budayawan Gunawan Budi Susanto atau akrab disapa Kang Putu.
"Perangkat desa tak akan meminta mereka membayar pajak tanah. Perangkat akan ngomong 'njaluk dhuwit kanggo mbangun desa' (minta uang untuk membangun desa). Dengan kalimat itu warga Samin ikhlas memberikan uang senilai yang tertagih," kata Kang Putu.
Bahkan uang yang disetor sering melebihi tagihan. Saat ini mereka sangat proaktif. Kewajiban membayar pajak, misalnya, kerap kali mereka tunaikan bahkan ketika warga lain belum sempat memikirkan. Bahkan ketika surat tagihan PBB belum terbit.
Kaum Samin juga terlibat aktif dalam kerja bakti, gotong royong, sambatan, membangun apa saja, bagi kepentingan bersama. Mereka kini sudah lebur, membaur, dengan keseluruhan warga masyarakat.