Liputan6.com, Semarang - Aksi ibu-ibu dari Jawa Tengah menyemen kakinya di depan Istana Negara menyita perhatian publik. Aksi menolak rencana pembangunan pabrik semen itu kembali mengingatkan pada keberadaan komunitas orang-orang Samin atau biasa disebut kaum Samin.
Ibu-ibu itu umumnya anggota kaum Samin. Kaum Samin dikenal sangat memegang nilai kejujuran, hingga sering dinilai naif. Anggota kaum Samin tersebar di Jawa Tengah, persisnya sekitar Blora, Pati, Rembang, Purwodadi, dan sekitarnya.
Bagaimana wajah dan sejarah kaum Samin?
Budayawan Gunawan Budi Susanto atau akrab disapa Kang Putu menceritakan ilustrasi kisah nyata yang menggambarkan karakteristik kaum Samin.
Dalam salah satu tulisannya, Kang Putu menulis pernah melihat ibunya kedatangan seorang tamu. Seorang lelaki yang memikul arang dari kampungnya, sekitar 5 kilometer dari Kota Blora.
"Lur, iki areng elek. Kayu jati. Ijolana limang ewu (Saudaraku, ini arang jelek. Kayu jati. Tukarlah dengan lima ribu saja)," kata lelaki itu kepada ibu Kang Putu.
Saat itu sebelum ibu Kang Putu sempat bicara, lelaki itu telah menyatakan arang dari kayu jati itu jelek, cuma pantas dihargai lima ribu rupiah. Kali lain, lelaki yang sama datang lagi. Masih membawa arang.
"Lur, iki areng apik. Kayu mlanding. Ijolana sepuluh ewu (Lur, ini arang bagus. Kayu petai cina. Tukarlah dengan sepuluh ribu)," kata lelaki itu sambil mengelap keringat yang membanjir.
Ya, kali ini dia membawa arang yang bagus dari kayu petai cina. Meski bobotnya sama, arang itu dihargai sepuluh ribu rupiah.
Saat itu Kang Putu menyadari bahwa ibunya sangat tahu sang penjual adalah lelaki Samin. Maka ia membeli tanpa menawar. Sebab, ibu Kang Putu tahu persis lelaki itu berkata ada adanya.
Baca Juga
Cerita Kang Putu ini bukan mengada-ada. Sejak lama masyarakat Samin dikenal sangat jujur, bahkan cenderung naif. Cerita-cerita itu kemudian dieksplorasi dan menghasilkan anekdot-anekdot sarkastis. Misalnya kisah warga Samin yang tidak mau membayar saat naik kendaraan umum.
"Kenapa saya harus bayar?" tanya warga Samin.
"Sebab kamu naik bus ini," kata kondektur.
"Kalau saya naik, apa ruginya buat kamu?" kata warga Samin.
"Enggak ada, tapi kamu harus bayar buat ganti bensin," kata si kondektur.
"Kan, sudah ada penumpang lain yang bayar. Masak enggak terganti uang bensinnya?" kata si Samin.
"Iya, tapi kamu juga harus bayar," kata si kondektur.
"Buat apa?" si Samin masih bertanya.
"Karena ini bisnis kami," kata si kondektur.
"Apa saya merugikan kamu dengan naik bus ini?" tanya si Samin.
"Tidak," kata si kondektur.
"Lalu buat apa saya bayar?" tanya si Samin.
"Sebab sudah peraturannya," jawab kondektur.
"Peraturan siapa?" tanya si Samin.
"Bos saya," jawab si kondektur.
"Jika begitu, bilang ke bosmu, saya tidak merugikan dia," jawab si Samin.
"Tapi kamu harus bayar atau saya turunkan paksa di sini," si kondektur mulai tak sabar.
"Ya saya turun saja, memang tujuan saya sudah dekat," kata si Samin.
Advertisement
Gerakan Kaum Samin
Sikap ngeyel alias penuh argumen sarkastis para penganut Samin ini sudah berlaku turun-temurun. Diwariskan dari nenek moyang mereka yang menolak membayar pajak dan upeti ke pemerintah Belanda. Penolakan mereka bukan dengan kekerasan, melainkan dengan sikap ngeyel tadi.
Seorang penulis lain, Takashi Shiraishi dari Jepang, menuliskan sikap ngeyel dengan argumen sarkastis dalam bukunya Dangir’s Testimony, Saminis Reconsidered. Di buku itu warga Samin menolak membayar pajak dengan argumen bahwa warga Samin merasa tidak pernah menyewa tanah atau apa pun ke pemerintah.
Tanah yang mereka diami adalah warisan leluhur. Tahu-tahu ada orang asing datang memaksa mereka membayar. Jelas mereka menolak.
Sikap perlawanan itulah yang kemudian menyebabkan Gubernur Jenderal Van Heutz harus memberi stigma gila terhadap kaum Samin. Hal itu bisa dibaca dalam novel sejarah yang ditulis Pramoedya Ananta Toer.
"Ada di antara tuan-tuan yang pernah dengar tentang pembangkangan golongan petani yang menamai kaum Samin?"
Tidak ada yang menjawab.
"Mereka telah membangkang berbareng dengan Perang Aceh paling awal. Mereka membangkang sudah seperempat abad!"
Stigma dari Gubernur Jenderal Van Heutsz, penguasa tertinggi di Hindia Belanda dalam kisah Pramoedya Ananta Toer (Jejak Langkah, 2001: 254) – itu, barangkali yang kali pertama terlontar bagi gerakan Samin. Pembangkang!
Kang Putu menjelaskan bahwa anggapan pembangkangan itu karena secuplik ungkapan orang Samin tentang kesamarasa-samarataan. "Lemah padha duwe, banyu padha duwe, kayu padha duwe."
"Ya, tanah, air, dan kayu milik orang banyak. Hutan warisan nenek moyang, dan anak cucu berhak memanfaatkan. Itu yang mereka terapkan dalam laku, tindakan," kata Kang Putu kepada Liputan6.com.
Ketika laku itu diperbuat banyak orang dan disebarluaskan, jadilah gerakan. Gerakan itu pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan wujud perjuangan antikolonial. Tujuannya mengusir penjajah Belanda dari tanah Jawa.
Advertisement
Sejarah Kaum Samin
Kang Putu lalu menjelaskan bahwa pesan itu menyebar luas dan menjadi ajaran. Pembawa ajaran itu Samin Surosentika.
"Penulis Suripan Sadi Hutomo (1996) pernah menyebutkan bahwa Samin Surosentika lahir di Plosokediren, Randublatung, Blora, 1859. Dia bermukim di Desa Klopoduwur," kata Kang Putu.
Ia dilahirkan dan diberi nama RÂ Kohar. Dia merupakan putra dari RÂ Surowidjojo (Samin sepuh), salah satu anak RM Adipati Brotodiningrat, yang pernah berkuasa sebagai bupati di Sumoroto yang termasuk wilayah Tulungagung, Jawa Timur, antara tahun 1802-1826.
RÂ Surowidjojo, sang ayah, disebutkan sering mengambil harta milik orang kaya yang menjadi antek Belanda. Harta itu kemudian dibagikan kepada orang miskin. "Robin Hood" Jawa ini kemudian menggunakan sisanya untuk mendirikan gerombolan pemuda bernama "Tiyang Sami Amin" pada tahun 1840.
Mengutip Suripan, Kang Putu menambahkan bahwa RÂ Kohar mengganti nama menjadi Samin dan bertani. Dia tak tergolong miskin karena memiliki tiga bahu sawah, satu bahu ladang, dan enam ekor sapi. Dari desa itulah, sekitar tahun 1890, dia menyebarkan ajaran yang kelak disebut Saminisme.
"Dalam bidang politik, ajaran Samin maujud sebagai partikel pasif, perlawanan tanpa kekerasan," kata Kang Putu.
Pada tahun 1905, orang-orang Samin mengubah tata cara hidup mereka dalam pergaulan sehari-hari. Mereka tak mau lagi membayar pajak, menolak menyetorkan padi ke lumbung desa, menolak mengandangkan sapi dan kerbau ke kandang umum, menolak memperbaiki jalan, menolak jaga malam (ronda), dan menolak kerja paksa atau menjadi blandong.
Ciri utama gerakan Samin adalah perlawanan tanpa kekerasan. Secara politik, perlawanan model itu sebelumnya tak dikenal di dunia. Kelak, orang pun lebih mengenal gerakan tersebut ketika diperkenalkan Mahatma Gandhi di India untuk menentang penguasa kolonial Inggris dengan nama: satyagraha.
Samin menyadari benar, gerakan itu harus dijalankan dengan keteguhan. Itu membutuhkan kekuatan tekad, kesungguhan hati, dan "kebersihan diri". Dengan kata lain, membutuhkan militansi dan kesediaan berkorban luar biasa.
Samin dan para pengikutnya sadar benar risiko gerakan mereka adalah penyitaan harta milik, dikucilkan dari masyarakat, dipenjara, atau dibuang. Terbukti, tahun 1907 pemerintah kolonial menangkap orang-orang Samin yang mereka nilai hendak memberontak.
Pada tahun itu pula Samin Surosentika ditangkap dan dibuang ke Padang, Sumatera Barat. Dia meninggal dunia di tanah pembuangan tahun 1914. Sepeninggal dia, saminisme tidak surut, bahkan menyebar ke Grobogan, Kudus, Pati, Rembang, Madiun, Ngawi, Bojonegoro, Jombang, dan Banyuwangi.
Gerakan mereka memuncak pada tahun 1914 berupa Geger Samin. Orang-orang Samin di berbagai daerah tak mau membayar pajak, tak menghormati para pejabat desa dan pemerintah kolonial, menyerang pamong desa dan polisi, serta mengancam asisten wedana.
"Banyak pengikut Samin dipenjara. Tahun 1930-an gerakan Samin menyurut. Penyebabnya, sebagaimana dikatakan Suripan, adalah ketiadaan pemimpin yang tangguh," kata Kang Putu.
Samin vs Semen
Kini, gerakan Samin kembali mencuat ke permukaan setelah sembilan perempuan dari komunitas Samin menyemen kaki mereka. Itu bukan sekedar aksi sensasional semata. Sebagaimana sejarahnya, warga Samin akan selalu menunjukkan sikap dengan perilaku.
Mereka melawan rencana penambangan bukit karst di pegunungan Kendeng untuk dijadikan pabrik semen. Bukan sekedar melawan, tapi menyatunya sikap mereka dengan kosmos membulatkan tekad mereka.
Hingga kini belum diketahui, akan sampai kapan mereka menyemen kaki mereka. Namun sikap itu menunjukkan kesungguhan hati dan konsistensi antara sikap dan ucapan kaum samin.