Liputan6.com, Jakarta - Nasib WNI yang disandera oleh kelompok Abu Sayyaf di Filipina belum juga jelas. Berbagai upaya negosiasi terus dilakukan pemerintah Indonesia dan Filipina.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, sejauh ini yang bisa dilakukan Indonesia hanya terus berkomunikasi dan berkoordinasi dengan pemerintah Filipina. JK menegaskan, tidak mungkin menggunakan jalan kekerasan atau serangan militer bila melihat kondisi saat ini.
"Nah ini kan tentu kerja yang tidak mudah, kita menunggu 1-2 hari ini bagaimana pihak Filipina itu menyelesaikan masalah ini. Karena tidak mungkin kita membikin katakanlah hard force," jelas JK di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (29/4/2016).
Baca Juga
Pemerintah memang menyerahkan segala proses negosiasi kepada Filipina. Sebab JK menilai, Indonesia tidak bisa memaksakan kehendak masuk ke wilayah Filipina dan melakukan operasi militer. Jika kondisi itu terjadi di Indonesia, lanjut JK, TNI tentu tidak mau militer Filipina masuk ke Indonesia.
JK menyebut satu-satunya peristiwa TNI masuk ke negara lain adalah ketika operasi militer saat Garuda Indonesia dibajak di Thailand pada 1981.
Setelah diperiksa, secara internasional wilayah itu masih Indonesia. Pemerintah kemudian memerintahkan TNI melakukan operasi militer. Pasukan pimpinan Beny Moerdani yang kala itu kepala pasukan khusus yang saat ini bernama Kopassus menggelar operasi Woyla.
"Sekiranya ada orang Filipina di sandera di Indonesia katanlah di Poso misalnya, pasti kita tidak izinkan tentara Filipina masuk ke sana. Sama juga kita, pasti dia tidak izinkan tentara kita masuk ke sana apalagi seperti itu," ujar dia.
Advertisement
"Satu-satunya yang pernah masuk waktu di Thailand karena itu pesawat. Pesawat itu dalam hubungan internasional itu negeri kita, jadi bisa," pungkas JK.