Rahasia Bengkel Sepedaria dan Kerusuhan Mei 1998

Namun, Kiki masih menyimpan luka. Andai saja ia kuat dan punya banyak uang, tentulah, usaha yang dirintisnya 30 tahun itu tak jadi abu.

oleh Muslim AR diperbarui 14 Mei 2016, 05:31 WIB
Diterbitkan 14 Mei 2016, 05:31 WIB
Kerusuhan Mei 1998

Liputan6.com, Jakarta - Mata sipit dan alisnya yang memutih, kulit khas oriental itu berlumuran oli, karat, dan noda hitam. Baju dekil dan celana selutut itu kotor bukan main.

"Dulu saya punya toko sepeda dan mesin jahit di depan, tapi dijarah dan dibakar," ujar Kiki, saat mengingat kejadian 18 tahun silam, Jakarta Barat, Jumat 14 Mei 2016.

Matanya sedikit memerah, ia beruntung selamat dari amuk massa pada kerusuhan Mei 1998. "Nyawa enggak ada yang jual, biarlah itu habis semua, yang penting saya selamat," kata Kiki.

Namun, ia masih menyimpan luka. Andai saja pria 54 tahun itu kuat dan punya banyak uang, tentulah, usaha yang dirintisnya selama 30 tahun itu tak jadi abu.

Toko sepeda di daerah Poncol, Senen tempat ia menggantungkan hidup, habis dijarah dan dibakar saat kerusuhan.

"Kalau ada yang jual nyawa, saya lawan orang itu semua. Mati, beli lagi, itu usaha saya bangun sendiri dari kecil hingga punya toko," ucap Kiki berandai-andai.

Tapi, sayangnya saat kerusuhan terjadi, uang Kiki ada di dalam toko. Jika tidak, tentunya ia mampu membayar para tentara dan polisi untuk menjaga ruko dua lantai yang terletak di samping stasiun Senen itu.

"China-China kaya itu mampu bayar tentara ama polisi, dikasih uang rokok lah istilahnya. Toko mereka selamat, toko saya ludes," ujar Kiki yang juga keturunan Tionghoa.

Kiki merupakan generasi ketiga dari keturunan nenek moyangnya selama tinggal di Indonesia. Ia bahkan lebih cinta Indonesia ketimbang tempat asal leluhurnya.

"Dulu pak Soeharto (Presiden ke-2 RI) perbaikin sepedanya di toko saya. Tiga sepedanya buatan Amerika saya ganti pakai sparepart buatan Indonesia," kenang Kiki sembari mesam-mesem.


Kiki merasa berhasil mempertahankan ke-Indonesia-annya, meski tak berdarah-darah dan dengan lantang menyatakan ia benci produk kapitalis. Dia sangat sensitif untuk urusan produk luar negeri, meski produk China sekali pun.

"Mending barang (sparepart) punya Indonesia, tukang bubut dapat uang, tukang las dapat duit juga," kata dia.

Memang bukan Soeharto langsung yang mengantarkan sepedanya untuk direparasi di toko Kiki. Ia masih ingat saat anak buah Soeharto menyodorkan kwitansi pembayaran.

"Pak Sarwo Edhie yang kasih surat dan kwitansi, merek suratnya 'Presiden RI', saya masih simpan memonya. Yang nganterin sepeda itu tentara, tiga sepeda saya hajar saja Rp 500.000 biaya reparasinya," kenang Kiki.

Tiga sepeda milik keluarga Soeharto buatan Amerika itu ia perbaiki. Satu sepeda panjang dengan tiga sadel, dan dua sepeda lainnya sepeda anak-anak. Ia tak menipu, namun merasa bangga saat sepeda luar negeri itu ia reparasi dengan suku cadang buatan Indonesia.

Kiki meneruskan usaha keluarga besarnya. Sejak buyutnya, mereka sekeluarga sudah berdagang dan membuka usaha  bengkel sepeda.

"Dulu masih zamannya becak bayar pajak, keluarga udah punya usaha bengkel becak. Saya nerusin usaha aja, tapi bangunnya dari kecil sampai bisa beli ruko, ini sudah generasi ke-3, mulai dari sepeda sampai mesin jahit, saya ada jual," papar dia.

Meski sudah dua kali menjadi korban kerusuhan rasial, Kiki tetap buka usaha jual beli dan reparasi sepeda. "Yang pertama itu kerusuhan Malari, tapi usaha saya masih kecil waktu itu, dibakar juga."

Korban Malari



Usai dibakar, Kiki bangkit lagi. Dua tahun setelah kerusuhan Malari, ia kembali buka toko di tempat yang sama. Sayangnya, saat kerusuhan 1998 Kiki rugi besar. Ia cukup lama untuk bangkit lagi.

"Saya kapok di sana, rukonya udah dijual, enggak mau lagi usaha di sana. Tahun 2003-an saya buka lagi, tapi di sini saja," kata Kiki yang menjadikan rumah kecilnya sebagai toko dan bengkel sepeda.

Kini ia sedikit takut jika mendengar ada kerusuhan atau hanya tawuran anak-anak yang berlangsung di depan rumahnya. Kiki buru-buru menutup tempat usahanya dan berlindung dalam kamar bersama istrinya.

"Saya enggak punya anak, tapi anak dari anak buah saya banyak, mereka sering ke sini meski bapaknya udah mati," ujar Kiki yang punya dua anak buah setia.

Anak buahnya sudah bekerja bersama Kiki sejak masih bujangan, hingga seorang di antara anak buahnya meninggal tahun lalu.

Istri Kiki tak banyak bicara, ia sesekali bertanya. Apakah para korban Mei 1998 di Jakarta sudah dapat keadilan? Ia memilih menyimpan cerita masa lalunya yang kelam. Ia hanya menekuk wajah, dan membalik sebuah album foto lusuh yang terkena gombok sepeda.

Kiki dan istrinya menikah pada akhir 1999. Mereka berharap tak ada lagi kerusuhan rasial. Anak buah, teman, kolega, dan tetangga yang bukan etnis Tionghoa justru membantu dirinya saat api mulai melahap tokonya.

"Saya lihat saat semua itu dibakar, saya di sana, tapi teman dan anak buah langsung menarik tangan saya dan melarikan saya jauh dari orang-orang itu, kalau enggak udah gosong jadi abu juga saya," kata Kiki dengan pupil mata yang mengecil dan dahinya mengernyit, seperti masih menyimpan ketakutan masa lalunya.

Plang toko Kiki nan dulu dari besi, kini berganti tulisan 'Bengkel Sepedaria' di rolling door dekil dan kecil. Ia menikmati hari tuanya dengan kecemasan. Satu jam lebih, Kiki hanya bercerita soal kekhawatirannya terjadi kerusuhan lagi.

Suara Kiki meninggi, tangannya menunjuk ke berbagai arah saat bercerita soal kecemasannya sejak Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama rajin menggusur warga Jakarta.

"Orang mah banyak yang enggak paham, nanti China-China jadi sasaran lagi. Mending Ahok taat ama presiden, ama Jokowi, jangan gusur-gusur lagi," kata Kiki berapi-api, yang disambut gelengan kepala istrinya, isyarat agar Kiki tak banyak protes.

Kiki sudah putus asa, ia tak ingin lagi menuntut ganti rugi atas kerusuhan itu, meski merugi ratusan juta. Ia pesimis, walau pernah diajak berbagai lembaga persatuan korban kerusuhan, membujuknya untuk mendapatkan keadilan. Kiki memilih bungkam.

"Udah, mending mas urusin itu reklamasi, gusur-gusuran Ahok, lebih baik daripada ngurusin kasus beginian," sergah Kiki.

"Emang mas mau lawan macan? Presiden aja enggak mampu," ujar Kiki sembari memeragakan orang menenteng senjata laras panjang.

Kiki hanya satu dari ribuan etnis Tionghoa yang jadi korban kerusuhan rasial saat Soeharto lengser pada 1998. Warga negara Indonesia keturunan Tionghoa jadi sasaran amuk massa yang kesal bukan main pada pemerintah.

Keadaan ekonomi yang dikuasai keturunan Tionghoa kaya raya saat itu, berimbas pada generalisasi kebencian warga pribumi pada keturunan Tionghoa.

Perempuan-perempuannya diperkosa, keluarga-keluarga keturunan Tionghoa dibakar hidup-hidup, usaha mereka dijarah. Bahkan jika Anda bermata sipit dan berkulit putih kala itu melintas di jalanan, adalah jalan mudah menuju kematian.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya