Liputan6.com, Jakarta - Setelah pemerintah memberlakukan hukuman kebiri bagi penjahat seksual, banyak dokter yang menolak jadi eksekutor. Mereka beralasan, hal itu melanggar sumpah dokter.
Untuk mengatasi penolakan ini, ‎Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pun cara sendiri, bila dokter-dokter sipil menolak jadi eksekutor hukuman kebiri.
"Kalau dokter yang menolak kan nanti ada dokter polisi, karena dia dilindungi Undang-Undang. Di beberapa negara juga kan ada dilakukan," kata Yasonna, di Gedung Lemhanas, Jakarta, Sabtu (28/5/2016).
"Kalau hukum yang memerintahkan kita harus lakukan juga," tambah dia.
Menteri yang juga kader dari PDIP ini juga menuturkan, kebiri kimia bukanlah satu-satunya hukuman yang diberikan kepada penjahat seksual. Masih ada jenis hukuman lain dan penetapan vonisnya juga memerlukan proses yang panjang.
Baca Juga
"Hakim tidak sembarang kepada semua orang melakukan itu (kebiri kimia). Pasti ada sesuatu pemberatan seberat-beratnya sehingga itu akan diterapkan. Dan tentu hakim juga akan menyampaikan bagaimana nanti alasan yuridisnya mengapa orang yang bersangkutan," tegas Yasonna.‎
Jaksa Agung Muhammad Prasetyo sebelumnya menekankan kepada tim dokter dari kepolisian yang bakal menyuntik kebiri penjahat seksual untuk tidak takut. Sebab, penerapan hukuman kebiri nantinya bakal diatur undang-undang.
"Jadi dokter enggak perlu merasa bersalah. Undang-undang memberikan alasan pemaaf untuk itu. Bukan tindak pidana, tapi perintah undang-undang," tegas Prasetyo di kompleks Kejagung, Jakarta, Jumat 27 Mei lalu.‎
Prasetyo menganggap, eksekusi hukuman kebiri sama dengan pelaksanaan hukuman tembak mati bagi para terpidana kasus narkoba. Jaksa selaku eksekutor memerintahkan Tim Brimob dari kepolisian untuk menembak mati terpidana.