Banyak Utang, Sugiyati Jadi Pembantu di Tahanan Mabes

Sugiyati ditangkap lantaran diduga bertugas sebagai pengepul dan penjual botol vaksin bekas.

oleh Fernando Purba diperbarui 24 Jul 2016, 06:01 WIB
Diterbitkan 24 Jul 2016, 06:01 WIB
Pengepul Botol Vaksin Palsu
Ketua RT setempat Sarjoko saat berada di depan rumah Sugiyati. (Liputan6.com/Fernando Purba)

Liputan6.com, Bekasi - Sebanyak 23 orang ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Bareskrim Polri, terkait peredaran vaksin palsu. Salah satu dari mereka adalah Sugiyati, warga Kampung Pintu Air, RT 06 RW 03, Medan Satria, Kota Bekasi.

Perempuan 48 tahun ini ditangkap lantaran diduga sebagai pengepul dan penjual botol vaksin bekas.

Selama ini, Sugiyati dikenal warga sekitar sebagai ibu rumah tangga berpenghasilan minim. Dia juga orangtua tunggal yang harus bekerja keras demi menghidupi kedua putranya yang masih sekolah, Majid dan Noval.

Suaminya yang bekerja sebagai sopir lintas pulau, menikah lagi dan meninggalkan dia sejak dua tahun lalu.

Sugiyati berusaha mengatasi kesulitan ekonominya dengan berjualan sembako. Warungnya pun hanya sepetak dan berada di tepi gang padat penduduk.

Penangkapannya terkait vaksin palsu pada Selasa 21 Juni 2016, membuat perekonomian keluarga Sugiyati semakin terseok.

Tetangga Sugiyati, Mardiono menceritakan, kini, Majid dan Noval hanya bisa bersandar dari rasa iba warga sekitar. Bahkan, Noval terpaksa menumpang hidup sementara dengan dengan Mardiono.

Sejak kelulusan hingga hari pertama masuk sekolah, Sugiyati tak bisa hadir memberangkatan putra bungsunya tersebut. Segala keperluan ongkos dan uang saku di sekolah, pelajar kelas 1 SMP ini, hanya berharap dari pemberian Mardiono.

Sedangkan, Majid tak bisa berbuat banyak. Lulusan SMK itu, merupakan pemadam kebakaran honorer di Cikarang, Kabupaten Bekasi.

"Dia kerja, masuk pagi-pulang pagi. Kerja juga belum lama dia mah. Paling baru dua kali gaji. Yah, honorer gitu. Penghasilannya seberapa sih? Untuk ongkos aja udah syukur," cerita Mardiono, saat ditemui Liputan6.com, di rumahnya, Jumat 22 Juli 2016.

Penghasilannya pun tidak dapat menutup segala tunggakan tagihan Sugiyati yang datang silih berganti. Sugiyati terbelit dua utang sekaligus, yaitu tagihan kredit sepeda motor dan tagihan dari sebuah bank 'pelat merah'.

"Kalau enggak kita bantu gimana mas? Dia enggak punya saudara. Saudara dekatnya hanya ada di Jawa Tengah sana. Kemarin, datang penagih motor. Dia utang Rp 800 ribu. Dan, ada utang di bank sebesar Rp 700 ribu. Dia utang sama bank karena minjem uang untuk modal buka warung. Saya aja baru tahu soal itu," ungkap Mardiono.

Pasrah Cuci Gudang

Alhasil, Mardiono pun mencoba membicarakan hal tersebut kepada Sugiyati. Ia bersama Noval dan para tetangga pergi membesuk Sugiyati di lantai 2 Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru.

Adapun solusinya, Mardiono diminta untuk menjual semua barang dagangan sembako yang ada di warung Sugiyati. Semua list belanjaan berikut daftar harganya pun diserahkan kepada sang tetangga.

"Bukan saya enggak tahu jualannya bang. Masalahnya, harga sembako ini kan naik-turun. Waktu itu, saya jual gula sekilo Rp 18 ribu. Tahunya, di pasar kata tetangga lain, udah Rp 20 ribu. Jangankan untung, bagaimana balikin modalnya aja jadi enggak bisa. Lagian untung warung begini, kan enggak seberapa," Mardiono menjelaskan.

Oleh karena itu, sejumlah tetangga berharap agar Sugiyati dapat segera pulang. Segala proses hukum yang menyandungnya pun diserahkan penuh kepada pihak penyidik.

"Mau gimana kasus hukumnya dia udah lepas tangan mas. Gimana mau minta pendampingan hukum, uang aja enggak punya. Makan aja susah. Dia pasrah, mau diapain juga dia pasarah aja," ucap Mardiono dengan wajah sedih.

Namun, kata dia, Sugiyati nekat mengumpulkan menjual botol bekas tersebut, tak lain karena ia terhimpit ekonomi. Mereka menilai jika sejatinya Sugiyati tak mengetahui dampak hebat yang ditimbulkan dari kegiatan sampingnya mengumpulkan botol vaksin bekas tersebut.

"Gak ada dia ngumpulin botol bekas itu dalam sehari. Boro-boro sehari dapat botol bekas. Sebulan aja udah syukur dia ngumpulin botol. Itupun, botolnya cuma segengam. Dikit banget, enggak banyak," ungkapnya.

"Yah, yang dia tahu itukan, karena botol bekas seperti itu laku dijual. Tapi kemana dan untuk apakah botol bekas itu, saya kira Ibu Sugiyati tidak tahu," lanjut dia.

Keran Air Mata

Tetangga Sugiyati, Mardiono, menambahkan, selama ditahan berat badan Sugiyati berangsur turun. Semuanya itu, lantaran Sugiyati begitu pusing dengan ekonomi keluarganya.

"Kita sebenarnya iba. Dia itu kan orangtua tunggal. Suaminya itu, dulu sopir truk. Tapi udah 2 tahun dia kabur, nikah sama orang lain. Udah gitu, dia harus nafkahin dua orang anak," jelas Mardiono.

Apalagi, Sugiyati kerap meneteskan air mata setiap dibesuk oleh Noval, putra bontotnya. Tersangka kasus pemalsuan vaksin itu tak kuat membendung air mata, karena selalu memakai baju kuning dengan tulisan tersangka di bagian belakang baju ketika bertemu anaknya.

"Kemarin pas kita ramai-ramai besuk, dia nangis terus. Dia nangis, saat anaknya bertanya, kenapa mama pakai baju ada tulisannya itu," ucap Mardiono sedih.

Namun, jeruji besi tak mematahkan semangat Sugiyati. Dia ternyata bekerja untuk mendapat sedikit penghasilan di ruang tahanan Mabes Polri.

Mardiono mengungkapkan bekerja jadi tukang cuci dan sapu paruh waktu bagi tahanan lain.

"Jadi waktu besuk itu, ia ditahan di lantai 2. Bukan di lantai 1. Kalau lantai 2, tempat Ibu Sugiyati ditahan, isinya orang-orang yang cukup mampu. Di situ, dia jadi tukang cuci baju, tukang sapu, mijit. Apa aja yang seperti pembantu rumah tangga ya dikerjain. Kata dia, lumayan buat nambah uang jajan si Noval," beber Mardiono.

Pada kasus vaksin palsu, penyidik Bareskrim Polri telah menetapkan 23 tersangka yang terlibat dalam sindikat pemalsu vaksin. Dari 23 tersangka itu, mereka saling berbagi peran. Salah satu orang yang terlibat itu adalah Sugiyati. Ia ditetapkan tersangka, lantaran diduga sebagai pengepul botol bekas dalam sindikat pemalsu vaksin untuk balita tersebut.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya