Liputan6.com, Jakarta - Bemby Ananto terhenyak saat membuka lemari koleksi piringan hitam di lantai dua Studio Lokananta, Solo, Jawa Tengah, sembilan tahun yang lalu. Di depan matanya terdapat bungkusan piringan hitam berwarna cokelat dengan tulisan ‘Indonesia Raja’ berjejer dengan deretan koleksi lainnya. Rasa ingin tahu menuntunnya untuk membuka bungkusan itu. Tak dinyana, bungkusan itu berisikan dua vinil berbeda.
Bemby ketika itu baru bekerja di Lokananta sebagai staf remastering. Sebagai staf yang ditugaskan menyalin arsip musik dalam format piringan hitam dan pita master ke format digital, dia sudah mengetahui ada koleksi lagu kebangsaan di Lokananta. Namun dia tak menyangka rekaman lagu kebangsaan teronggok di antara koleksi-koleksi lainnya. Dia lantas meletakkan piringan hitam itu ke gramofon. Selama lebih dari 2 menit, lagu Indonesia Raya bergema ke seluruh penjuru ruangan Lokananta.
Advertisement
Baca Juga
“Suaranya khas sekali kresek kreseknya itu, semakin merinding,” ucap Bemby kepada Liputan6.com, di Studio Lokananta, Jalan Ahmad Yani, Laweyan, Solo, Rabu (3/8/2016).
Keberadaan piringan hitam Indonesia Raya di Lokananta membuat Bemby tergelitik mencari master rekaman lagu kebangsaan tersebut. Rekaman asli tersebut dia temukan di di lemari koleksi lain di lantai Studio Lokananta. Menurut dia, master rekaman itu ditemukan di dalam bungkusan yang berdebu. Master rekaman tersebut kelak diselamatkan Bemby dalam format digital.
Lokananta yang merupakan studio sekaligus label musik milik pemerintah, bertugas memproduksi dan penyelamatan piringan hitam. Tugas penyelamatan itu kini masih berjalan dengan cara mendigitalisasi rekaman musik yang terdapat dalam koleksi vinyl mereka.
Proses digitalisasi vinil ini pun berlaku untuk rekaman lagu Indonesia Raya. Bemby mengatakan, digitalisasi rekaman Indonesia Raya sengaja dia lakukan sebagai langkah menyelamatkan jejak sejarah Indonesia. Dia beralasan, pita master rentan rusak jika terlalu lama disimpan. Sebab, suhu dan kelembaban ruangan akan membikin kualitas pita menurun. “Itu yang membuat saya harus segera menyelamatkan. Ini tanggung jawab saya sebagai staf remastering di sini,” sebut Bemby.
Sejarawan Rusdi Husein, rekaman lagu Indonesia Raya yang berada di Lokananta, merupakan hasil rekaman pada dekade 1950-an. Dia mendapat informasi ihwal piringan hitam tersebut dari bekas Kepala Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta zaman Bung Karno, Jusuf Ronodipuro. Jusuf merupakan orang yang memfasilitasi perekaman lagu Indonesia Raya. Menurut Rusdi, Jusuf menyebut rekaman Indonesia Raya dikerjakan bersamaan dengan rekaman pembacaan teks proklamasi yang dibacakan Bung Karno. Keduanya direkam saat RRI, baru saja membeli alat perekam dari Inggris, sekitar tahun 1951.
Rusdi menuturkan, lagu Indonesia Raya yang direkam merupakan hasil aransemen seorang konduktor Belanda kelahiran Belgia bernama Jozef Cleber. Jozef saat itu merupakan konduktor yang bekerja di RRI Jakarta. Aransemen dari Jozef ini, kata Rusdi, yang masih dipergunakan hingga kini, dan sekarang tersimpan di Studio Lokananta. “Itu bisa dianggap rekaman awal,” ucap Doktor Ilmu Sejarah dari Universitas Indonesia ini kepada Liputan6.com.
Sebelum rekaman resmi ini muncul, Rusdi menyebut, ada dua versi rekaman lain yang sempat beredar. Versi sebelumnya direkam dalam irama musik keroncong. Versi keroncong ini diketahui sebagai rekaman lagu Indonesia Raya tertua. Adapun versi kedua dibuat dalam versi mars yang muncul saat Jepang datang ke Indonesia pada dekade 1940-an.
Pendapat Rusdi dibenarkan sejarawan Bonnie Triyana. Bonnie menerangkan, Indonesia Raya versi keroncong direkam Yo Kim Tjan. Yo merupakan orang paling awal yang mengabadikan lagu ciptaan Wage Rudolf Supratman. Proses rekaman dilakukan di studio Yo Kim Tjan di bilangan Jakarta Pusat. “Itu rekaman pertama,” ucap Bonnie kepada Liputan6.com.
Keping Vinil Indonesia Raya di Lokananta
Keping vinil Indonesia Raya yang disimpan di Lokananta merupakan satu di antara rekaman resmi yang beredar setelah kemerdekaan. Tim Liputan6.com berkesempatan mengunjungi Lokananta dan melihat koleksi lagu kebangsaan yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 1958 itu di studio rekaman berpelat merah ini. Sesuai keterangan Bemby, ada dua keping piringan hitam saat ditemukan pada 2007. Dua piringan itu punya ukuran yang berbeda.
Piringan pertama berukuran 10 inci dengan kecepatan putaran per menit (rotation per minutes/rpm) 78, dan berbahan dasar shellac--bahan kapas yang biasa digunakan untuk membuat kertas manila--. Bemby menyebut, vinil berbahan shellac ini sudah langka. Sebab, bahannya yang keras membuat vinil ini rentan patah. Meski rentan, piringan ini memprihatinkan. Selain tak diperlakukan khusus, bungkus bawaan piringan tersebut sudah tidak ada.
"Hanya cover cokelat bertuliskan Lokananta. Tidak ada tulisan Indonesia Raya-nya. Kalau tidak dibuka satu persatu, tidak ada yang tahu kalau di dalamnya itu piringan hitam bersejarah,” sebut Bemby. Sementara piringan yang kedua berukuran 7 inci dengan kecepatan putaran per menit 45 rpm dan berbahan dasar polivinilklorida atau PVC. Piringan jenis kedua ini, tak membutuhkan perlakuan khusus. Sebab, bahan dasarnya seperti paralon, yakni lentur dan tak rentan patah.
Kedua vinil itu punya isi yang sama dengan pita rekaman lagu Indonesia Raya, yang tersimpan di Lokananta. Pita itu berisi rekaman lagu Indonesia Raya yang diaransemen Jozef Cleber dan direkam RRI pada 1951. Saat diperdengarkan, bunyi ‘kresek’ khas vinil tua mengalun dalam lantunan lagu Indonesia Raya. Syairnya pun menggunakan stanza I, yang tidak memasukkan stanza lain.
Bagian reffrainnya pun sudah diubah dari ‘Indonees… moelia… moelia…’ menjadi ‘Indonesia Raya… Merdeka… Merdeka…’. Menurut Bemby, isi vinil sama persis dengan isi pita rekaman. “Kalau yang dimainkan entah di pita master atau piringan hitam, sama. Itu orkes Cosmopolitan pimpinan Jozef Cleber,” ucap Bemby.
Bemby juga memastikan, piringan hitam Indonesia Raya yang berada di Lokananta, merupakan produksi Lokananta. Lantaran, Lokananta menyimpan pita master yang dibuat RRI berkode tahun pembuatan 1959. Apalagi, Lokananta merupakan studio sekaligus label musik milik pemerintah, punya fungsi memproduksi dan menduplikasi piringan hitam. “Karena semua piringan hitam pasti ada label produsennya, dan piringan hitam ini berlabel Lokananta. Tidak ada koleksi Indonesia Raya lainnya disini," kata Bemby.
Soal aransemen lagu tersebut, konduktor Addie Muljadi Sumaatmadja yang dikenal dengan nama tenar Addie MS, mengamini keterangan Bemby. Addie diketahui pernah memimpin perekaman orkestrasi Indonesia Raya pada 1997, menerangkan kepada Liputan6.com, aransemen dari rekaman lagu Indonesia Raya dibuat Jozef Cleber.
Jozef mengaransemen atas permintaan Bung Karno. Aransemen itu kemudian menjadi aransemen baku yang digunakan untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya. Apalagi belakangan, kata Addie, ada PP Nomor 1944 Tahun 1958. Di PP tersebut, kata Addie, ada aturan yang menyatakan tidak boleh mengubah aransemen yang sudah ada. “Naskahnya ada di Setneg, dan tak boleh diubah,” ucap Addie.
Advertisement
Perjalanan Indonesia Raya
Lagu Indonesia Raya yang diciptakan Wage Rudolf Soepratman punya cerita panjang sebelum akhirnya ditetapkan menjadi lagu kebangsaan pada 1958. Bahkan, lagu ini sudah digagas sang pencipta, beberapa tahun sebelum diperdengarkan pertama kali pada Kongres Pemuda II di Batavia pada 28 Oktober 1928. Diam-diam, Supratman yang sehari-hari bekerja sebagai wartawan di harian Sin Po, sudah menuliskan lirik dan aransemen yang awalnya berjudul Indonees.
B. Sularto menuliskan dalam buku Sejarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, hiruk pikuk keramaian menjelang Kongres Pemuda II, perlahan menyentil benak Soepratman. Soepratman ingin membawakan langsung lagu tersebut di depan kongres. Apalagi, tulis Sularto, lagu Indoness sudah berkumandang. “Dalam waktu singkat, lagu itu sudah menjadi lagu kesayangan segenap pandu Indonesia di Jakarta,” tulis Sularto di halaman 15 buku cetakan tahun 1982 itu.
Keterangan Sularto sejalan dengan cerita Kartika Kertayasa, anak Yo Kim Tjan kepada Udaya Halim. Udaya adalah pendiri Museum Benteng Heritage. Yo merupakan orang pertama yang merekam lagu tersebut pada 1927. Menurut cerita Kartika kepada Udaya, Supratman meminta kepada Yo untuk merekam lagu Indonesia Raya dalam versi keroncong dan versi yang dinyanyikan solo dengan iringan biola.
“Alasan Wage Rudolf Supratman meminta dibuatkan lagu instrumental keroncong, agar orang Indonesia hafal nada lagunya, bila kelak lagu tersebut berhasil jadi lagu Kebangsaan,” ucap Udaya saat dihubungi Liputan6.com. Rekaman lagu itu sudah beredar di laman Youtube dengan judul Indonesia Raya Tahun 1927. Udaya menyebut, lagu Indonesia Raya yang beredar di Youtube itu sama dengan yang direkam Yo Kim Tjan, “Cirinya: pada mula ada suara Yo Kim Tjan,” sebut Udaya.
Selepas diperdengarkan, Udaya melanjutkan cerita Kartika, syair lagu sempat dipublikasikan di mingguan Sin Po pada 10 November 1928. Sejarawan Bonnie Triyana menceritakan, syair tersebut tak mungkin dipublikasikan tanpa persetujuan Ang Yan Goan, wartawan senior Sin Po. Cerita ini, kata Bonnie, terdapat dalam buku Memoar Ang Yan Goan terbitan Hasta Mitra.
Bonnie juga menyebut, pada awalnya, lagu Indonesia Raya tak diindahkan pemerintah kolonial. Menurut Bonnie, lagu itu sempat disebut pemerintah kolonial sebagai irama Eropa yang kampungan (een banale Europeesche melodie) dan dianggap tidak membahayakan dari sudut padang politik. Belakangan, pemerintah kolonial ketar-ketir lantaran lagu itu sering dibawakan dalam sejumlah pertemuan. Belakangan, Partai Nasional Indonesia menjadikan lagu ini sebagai Lagu Kebangsaan dalam Kongres PNI yang digelar Mei 1929.
Apalagi, kata Bonnie, Bung Karno mengusulkan kepada Soepratman agar mengubah sebagian syair dari ‘Indoness… Indoness... moelia, moelia,’ menjadi ‘Indonesia Raya… Merdeka… Merdeka… “Untuk merespon itu, Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengeluarkan peraturan bahwa Indonesia Raya tidak bisa disebut lagu kebangsaan. Dia juga memerintahkan, polisi melarang kata merdeka dalam lagu itu,” ucap Bonnie.
Kemudian pada awal dekade 1940-an, ketika Jepang datang ke Indonesia, lagu Indonesia Raya sempat bebas dinyanyikan. Bahkan Jepang juga membuat rekaman Indonesia Raya dalam jumlah yang sangat banyak. Menurut sejarawan Rusdi Husein, lagu Indonesia Raya versi rekaman Jepang punya ritme mars dan memiliki tiga stanza. Tiga stanza ini kemudian sempat menjadi polemik pada 2007, yang melibatkan pakar teknologi informasi Roy Suryo dan mendiang sejarawan Des Alwi.
Rusdi menuturkan, rekaman itu sengaja dibuat Jepang sebagai media propaganda. Tujuannya, buat merebut hati rakyat Indonesia. Sebab, Jepang datang saat masyarakat Indonesia sudah mulai menghendaki kemerdekaan dari Belanda. “Saya pernah dengar rekaman jepang, itu sudah lengkap dalam musik dengan ritme mars. Jadi itu untuk kampanye merebut hati rakyat, dan pernah diputar saat kedatangan awal Jepang,” sebut Rusdi.
Addie MS, konduktor kenamaan yang pernah memimpin perekaman orkestrasi Indonesia Raya pada 1997, menerangkan kepada Liputan6.com, lagu Indonesia Raya versi Jepang direkam di bawah konduktor Nobuwo Lida. “Lagunya agak cepat,” ucap Addie. Sementara Bonnie Triyana menyebut, lagu itu sengaja dibuat Badan Propaganda Jepang. “untuk menarik hati masyarakat.”
Pada dekade 1950-an, perjalanan Indonesia Raya pun kembali menggelora. Adalah Presiden ke-1 Republik Indonesia Sukarno yang memulai kejutan. Bung Karno yang sempat menjadikan lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan di Kongres PNI, memanggil Jusuf Ronodipuro, Kepala RRI Jakarta. Bung Karno meminta Jusuf merekam ulang lagu Indonesia Raya dengan versi baru. Bahkan, Bung Karno pula yang meminta Jozef Cleber untuk memimpin rekaman orkestrasi Indonesia Raya dengan aransemennya.
Addie menceritakan secuil cerita dari Jusuf Ronodipuro tentang proses perekaman lagu. Cerita didapat saat Addie berkonsultasi untuk merekam ulang lagu Indonesia Raya. Menurut Addie, Jozef sempat membuat dua versi aransemen sebelumnya. Namun, ditolak Bung Karno. Musababnya, aransemen yang pertama bertempo terlalu cepat, sedangkan aransemen yang kedua terlalu ramai dan banyak ornamennya. “Bung Karno bilang lagu kebangsaan itu harus tegas, merah putih. Nah, maka muncul aransemen ketiga, yang sekarang diakui sebagai aransemen resmi, tegas langsung dan lugas,” ucap Addie.
Setelah empat dasawarsa lebih sejak direkam pada 1950-an, rekaman lagu Indonesia Raya hasil aransemen Jozef Cleber tetap digunakan. Hingga Addie MS melalui bantuan Youk Tanzil, kembali merekam ulang lagu tersebut pada 1997. Rekaman lagu Indonesia Raya yang dikonduktori Addie pun kini menjadi rekaman yang sering digunakan dalam berbagai acara, termasuk saat Sri Wahyuni dan Eko Yuli Irawan merebut perak di Olimpiade 2016. “Sekarang, Alhamdulillah, rekaman lagu perjuangan yang simfonik itu menggema di mana-mana,” ucap Addie.