Dukungan Pengenaan Cukai BBM dan Kendaraan Bermotor Kian Mengalir

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai kendaraan bermotor dan bahan bakar minyak (BBM) layak dikenai cukai.

oleh Liputan6 pada 14 Sep 2016, 11:51 WIB
Diperbarui 14 Sep 2016, 12:13 WIB
Gappri 14 Sept
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai kendaraan bermotor dan bahan bakar minyak (BBM) layak dikenai cukai.

Liputan6.com, Jakarta Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai kendaraan bermotor dan bahan bakar minyak (BBM) layak dikenai cukai karena ada polutan yang membahayakan masyarakat dan lingkungan. Belum lagi, saat ini, baru tiga komoditas saja yang dibebankan cukai yakni alkohol, etil-alkohol, dan tembakau.

“Di Thailand sepeda motor kena cukai. Di Eropa prostitusi juga kena cukai. Kami juga usulkan agar sepeda motor dan BBM dikenakan cukai,” ujar Ketua Harian YLKI Tulus Abadi, pekan lalu.

Mengomentari usul YLKI tersebut, Direktur Eksekutif Rumah Kajian dan Advokasi Kerakyatan (Raya) Indonesia Hery Chariansyah menilai, produk yang memiliki dampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan, seperti BBM, seharusnya dikenakan cukai.

“Ini sesuai undang undang cukai pasal 2 ayat 1, jelas mengatur itu. Ada regulasi yang mengaturnya. Selama ini cukai juga kan baru alkohol, tembakau, dan beberapa bahan kimia lain,” tegas Hery, saat dihubungi media, Rabu (7/9).

Menurut dia, usul YLKI bahwa kendaraan bermotor bisa dikenai cukai dengan argumentasi bahwa polutannya mengancam kesehatan masyarakat lingkungan sangat bisa diterapkan. Tinggal dibangun mekanismenya karena selama ini kendaraan bermotor dan BBM sudah kena pajak sendiri.

Misal, apakah instrumennya seperti rokok, pita cukai dibeli di depan, atau seperti apa. Juga, apakah jika diterapkan akan berlaku surut. Hal itu menjadi penting agar juga ada kejelasan bagi pengguna kendaraan.

“Kendaraan bermotor ini kan hampir merata,semua kalangan ekonomi menggunakan. Misal tarif bus apakah kena cukai, ini juga harus ada pertimbangan,” tegasnya.

Terlepas dari kendala-kendala teknis, menurut Hery, pemerintah memang harus lebih kreatif mencari pendanaan selain dari cukai rokok. Misal, bisa saja dikenakan pajak tinggi atau cukai untuk produk produk barang mewah.

“Kalau untuk menutup anggaran lain, ada bahan-bahan sektor lain yang bisa dinaikan, silakan saja, termasuk barang mewah,” tegasnya.

Menurut dia, kenaikan harga rokok dibarengi peningkatan perederan rokok ilegal merupakan dua hal berbeda. Namun, ia setuju, polisi dan bea cukai harus lebih serius memberantas peredaran rokok ilegal karena itu sudah masuk kategori pidana.

Direktur Institute For Development of Economics and Finance Enny Sri Hartati sebelumnya menilai, kendaraan bermotor dan BBM dari sisi konsumsi atau penggunaan lebih besar dari rokok. Anehnya, kontribusi cukai rokok jauh mengalahkan penerimaan pajak dari kendaraan bermotor.

Asal tahu saja, data Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia mencatat, jumlah kendaraan yang masih beroperasi di seluruh Indonesia pada 2014 mencapai 104,211 juta unit.

Dengan jumlah kendaraan yang sangat banyak, seharusnya dari sisi kontribusi cukai juga bisa semakin besar. Untuk itu, komponen pajak yang ada di BBM bisa dialihkan atau dibingkai menjadi komponen cukai sehingga marjin penjualan BBM itu bisa dipakai untuk digunakan sebagai dana pengendalian polusi.

“Tujuan cukai ini kan ke pengandalian, BBM kena cukai juga kan ada dampak polusi ke konsumen,” tegasnya.

Enny mengingatkan, selama ini dari setiap liter bensin yang dijual, tidak jelas negara dapat berapa dan diperuntukan untuk apa saja. Kemudian ketika perpanjangan SNTK atau BPKB yang didapat daerah juga tiak jelas. Apalagi selama ini masih dikelola manual.

“Selama ini kalau setiap perpanjangan BPKB tidak melalui perbankan, mekanismenya manual konvensional. Pengenaan cukai juga sekaligus bisa mendorong transparansi, perbaikan manajemen, sekalgus peningkatan penerimaan negara,” ujarnya.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

    POPULER

    Berita Terkini Selengkapnya