Jeritan Hati dan Air Mata Warga Bukit Duri Ketika Digusur

Menurut Amat, warga di kawasan terdampak relokasi itu dikenal sangat memegang budaya gotong royong dan rukun.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 28 Sep 2016, 12:44 WIB
Diterbitkan 28 Sep 2016, 12:44 WIB
20160928-Penggusuran Kawasan Bukit Duri-Jakarta
Sisa puing pemukiman warga yang tengah diratakan menggunakan alat berat di kawasan Bukit Duri, Jakarta, Rabu (28/9). Penertiban itu merupakan bagian dari program pemerintah pusat untuk menormalisasi Sungai Ciliwung. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta - Dentuman belalai eskavator di permukiman Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, mengubah situasi menjadi tegang. Pekerjaan proyek normalisasi Sungai Ciliwung itu satu persatu meratakan bangunan dengan tanah.

Suara bising reruntuhan bangunan menambah ketegangan di kawasan itu. Namun, warga setempat hanya dapat menyaksikan dari jauh tempat tinggal mereka dilumat alat berat.

Warga pasrah dengan kebijakan Pemprov DKI Jakarta itu. Isak tangis seorang ibu sambil merangkul anak perempuannya, pun mengiringi proses pembongkaran bangunan itu.

Amat, warga RT 06 RW 12, mengatakan bukan hal aneh jika ada warga menitikkan air mata. Apalagi, mereka yang sudah tinggal puluhan tahun di bantaran Kali Ciliwung itu, yang mungkin telah menyimpan ribuan kenangan.

Menurut Amat, warga di kawasan terdampak relokasi itu dikenal sangat memegang budaya gotong royong. Mereka juga sangat erat memegang tali silaturahmi antar warga.

"Saya lahir di Pulo. Kita di sini itu rukun banget kita. Jelas ini pada nangis," tutur pria yang mengaku sudah tinggal 28 tahun di lokasi gusuran, Rabu (28/9/2016).

Sambil mengemas sisa barangnya, wajah Amat tampak berpeluh. Bukan hanya karena lelah, pria 63 tahun itu mengaku kurang enak badan akibat memikirkan penggusuran tersebut.

"Saya dua malam enggak tidur. Badan enggak enak karena gusuran. Istri juga sakit kena gula," ujar dia.

Bersama ketiga anaknya, kini Amat hanya bisa pasrah. Dia memilih tinggal di rumah kontrakan di kawasan Poncol, Tebet, Jakarta Selatan, daripada harus mengikuti imbauan Pemprov DKI ke Rusun Rawa Bebek, Cakung, Jakarta Timur.

"Saya ngontrak di Poncol. Ini rumah pribadi (yang digusur) dan ada sertifikat jual beli, PBB, ada. Ya nyaman enggak nyamanlah keadaan kita. Saya ikut warga saja bersatu," kata dia.

Tak jauh berbeda dengan Amat, warga lain, Hanafi, juga menolak tegas penggusuran itu. Dengan nada emosi, pria 87 tahun itu menyatakan Pemprov DKI tidak berpihak pada rakyat kecil.

Proses Hukum Masih Berjalan

"Ini tidak manusiawi. Kalau soal pembangunan ya memang saya dukung. Ya, kan, kita manusia. Tapi ini digusur, sekalinya dibikinin rusun harus bayar," keluh Hanafi di depan rumahnya yang tampak sudah dibongkar sebagian.

Padahal, menurut Hanafi, Pemprov DKI seharusnya melihat betapa santun warga Bukit Duri. Saat penggusuran berlangsung pun, mereka memilih jalur hukum ketimbang menggunakan otot.

"Orang sini itu orang sadar. Enggak ada orang yang ngelawan pemerintah. Kami tinggal di sini juga nyaman. Watak warga baik dan rukun. Jadi dipencar-pencar sekarang," kata dia.

Kakek yang mengaku sudah tinggal di Bukit Duri sejak 1944 itu pun mempertanyakan penertiban yang tetap dilakukan, meski gugatan masih berlangsung.

"Saya bingung. Sidang, tapi kok dapat SP3. Apa-apaan ini? Apa bukan ada permainan?" tanya Hanafi, yang merupakan warga tertua di kampung itu.

Hanafi kini memilih tinggal bersama anaknya di Bogor, Jawa Barat. Sebab, dia keberatan soal biaya sewa Rusun Rawa Bebek dan jarak yang cukup jauh.

"Saya enggak setuju Rawa Bebek. Saya enggak senang. Yang bangun pemerintah kan berarti untuk rakyat. Harusnya enggak bayar. Kita bayar berarti swasta, nyari keuntungan," Hanafi menandaskan.


Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya