Ridwan Kamil Paparkan Wajah Bandung di WCF 2016

Kamil pun sempat memaparkan bagaimana pembangunan Bandung yang dianggapnya tak hanya membangun manusia secara ekonomi.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 11 Okt 2016, 20:10 WIB
Diterbitkan 11 Okt 2016, 20:10 WIB
Di EGTC Unpad, Ridwan Kamil Ajak Mahasiswa Punya Soft Skill
Di EGTC Unpad, Ridwan Kamil Ajak Mahasiswa Punya Soft Skill

Liputan6.com, Nusa Dua - Wali Kota Bandung Ridwan Kamil turut ambil bagian World Culture Forum (WCF) 2016 atau Forum Kebudayaan Dunia yang digelar di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC).

Acara yang bertema Culture for an Inclusive Sustainable Planet atau Budaya Bagi Dunia yang Inklusif Berkelanjutan, menurut pria yang karib disapa Kang Emil ini, diharapkan dapat membawa perubahan.

"WCF ini kan kuncinya memberikan pesan. Sekarang relevansinya ada enggak pesan yang sampai, yang didengar, dan membawa perubahan. Kalau tidak ada pesan yang sampai, ya ini harus jadi seminar lagi," ungkap Emil usai simposium di Bali, Selasa (11/10/2016).

Kamil pun sempat memaparkan bagaimana pembangunan Bandung yang dianggapnya tak hanya membangun manusia secara ekonomi, tetapi juga melibatkan kebudayaan di dalamnya dan berkelanjutan.

"Jadi Bandung juga bukan ajang presentasi, apakah sikap Bandung menginspirasi jadi pesan bahwa menyeimbangkan tadi itu karena alam dan sebagainya. Kalau misalnya berhasil ya alhamdulillah," ujar dia.

Terkait Bandung Heritage dari UNESCO, Emil menegaskan, dirinya hanya memperkuat apa yang sebenarnya sudah dimiliki Kota Kembang ini.

"Tiap zaman kan punya tantangan sendiri, Bandung ini sudah punya dasar, hanya zaman saya diperkuat. Pada 2015 oleh UNESCO kita dianugerahi kota desain oleh UNESCO dan tentunya harus saya buktikan, semua elemen di Bandung itu memenuhi syarat-syarat sebagai desain yang kelas dunia. Setiap tahun ada enam sampai delapan lokasi yang kita perbaiki," papar dia.

Pria berkacamata ini menilai budaya seharusnya mampu membawa kebahagiaan. Karena negara kaya yang makmur penduduknya belum tentu bahagia.

"Ini contohnya Singapura dan tingkat bunuh diri Korea kedua di dunia. Jadi hidup yang terlalu melupakan unsur kejiwaan dan budaya, biasanya dia punya estimation problem. Nah, Bandung ingin memberikan contoh bahwa hidup harmoni segitiga tadi, harmoni pada dirinya, pada lingkungan, dan pada religius," ujar Kamil.

"Dan Bandung kalau ternyata terbukti, religiusnya harmoni, orangnya happy, alamnya terjaga, ya itu menjadi contoh bahwa masa depan begini. Walaupun negeri kita belum sekeren dunia maju, tapi kebahagiaan itu kita lebih tinggi, itu yang paling penting. Manusia boleh miskin tapi dia harus bahagia," sambung dia.

Kamil menegaskan walaupun Indonesia belum keren seperti dunia maju lainnya, tetapi kebahagiaan di Ibu Pertiwi ini lebih tinggi dan itu jauh lebih penting. "Manusia boleh miskin tapi dia harus bahagia," sambung dia.

Sistem yang baik, kata Kamil, adalah masyarakat bisa mengerjakan dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Pemerintah hanya mengatur regulasi dan selebihnya masyarakat harus turun.

"Maka budaya itu kuat. Komunitasnya saja ada lebih dari lima ribu. Yang harus dilakukan adalah pemerintah memberikan ruang dan regulasi, tapi yang melaksanakan bukan instrumen birokrasi, tapi instrumen masyarakat," kata dia.

"Maka masyarakat di Bandung diwajibkan punya waktu luang untuk kerja bakti, untuk gotong royong, untuk piknik, untuk melakukan kegiatan budaya dan lain-lain. Jadi tidak hanya linier pergi kerja, pulang, begitu terus sepanjang tahun," Emil menandaskan.

Menjaga Keseimbangan

Kamil yang mengisi simposium dalam WCF 2016 ini memaparkan pembangunan Bandung yang tak hanya fokus pada ekonomi, tetapi juga melibatkan kebudayaan di dalamnya.

Kamil juga menyebutkan yang paling sulit dalam hidup adalah mencari keseimbangan. Ia mengklaim saat ini dirinya tengah membangun Bandung sesuai tema WCF 2016, yaitu sustainable development atau pembangunan berkelanjutan.

"Development juga keseimbangan itu tiga yaitu ekonomi, lingkungan, dan manusia. Selama ini negara berkembang terlalu pada ekonomi, melupakan sosial, lingkungan," kata dia.

"Nah, di Bandung kita kembalikan tujuan sustainable development ini dengan filosofi budaya yang sebenarnya persis dengan kehidupan Kirana, tapi di Sunda kan namanya Trisamsu. Ya sama juga itu keharmonisan kepada Tuhan, alam, dan manusia," sambung Kamil.

Kamil menerjemahkan filosofi tersebut ke dalam kesehariannya dengan memanusiakan manusia. Maksudnya adalah rutinitas yang biasa dilakukan seperti menyapa, bersilaturahmi, berfestival, dan lain-lain.

"Kemudian nature walaupun kotanya stres banyak bangunan, hutan kota dihidupkan lagi, sungai dihormati lagi, pohon-pohon sayuran ditanami lagi walaupun di kota. Tujuan akhirnya adalah keseimbangan," ujar dia.

"Tadi kalau itu dilaksanakan, kebahagiaan manusia itu insyaallah hadir. Kalau tidak dilaksanakan, manusia hanya jadi robot yang hidupnya untuk mencari makan selesai, padahal hidup di dunia ini tidak hanya itu. Nah, itu harapannya bisa diikuti kota-kota lain di Indonesia," papar Emil.

Menurut Kamil, Bandung walaupun kota tetapi harus bisa dirasakan juga seperti suasana di desa. Karena itu, Emil pun mengungkapkan kalau dirinya banyak membangun taman dengan tujuan agar mendekatkan manusia kepada alam.

"Saya perbanyak taman, saya bikin urban farming di RW. Secara sosial-budaya, kita lihat banyak festival, menghadirkan silaturahmi sebagai budaya lokal, dan terakhir tadi menjaga keharmonisan antar agama," ujar dia.

Meski mampu membangun Bandung, Kamil pun tak menampik ada tantangan dalam membangun. Salah satunya adalah orang pindah ke kota hanya untuk mencari materi.

"Tantangan adalah agar mereka paham kalau hidup ini tidak satu dimensi itu saja. Kebanyakan orang hanya pindah ke kota isinya ingin kaya, ingin kaya cari ekonomi. Hidup tidak sedangkal itu kan, maka menjadi orang religius, pecinta alam punya pemasukan jauh lebih penting," pungkas Ridwan Kamil.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya