KPK Sebut Royalti PT AHB ke Pemprov Sultra Ada yang Tidak Beres

Priharsa menegaskan, KPK akan terus mendalami kasus dugaan korupsi Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam.

oleh Oscar Ferri diperbarui 12 Okt 2016, 08:16 WIB
Diterbitkan 12 Okt 2016, 08:16 WIB
20160823- Penyidik KPK Geledah Rumah Gubernur Sulawesi Tenggara-Jakarta- Helmi Afandi
Penyidik KPK menggeledah rumah pribadi Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam di Kuningan, Jakarta, Selasa (23/8). Penggeledahan ini terkait dugaan korupsi penertiban izin usaha pertambangan (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan ada ketidakberesan dalam pembayaran royalti hasil pertambangan PT Anugrah Harisma Barakah (AHB) kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).‎ PT AHB bisa menggarap pertambangan nikel usai mendapat Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan Gubernur Sultra Nur Alam.

Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha menjelaskan ketidakberesan pembayaran royalti salah satunya, tidak masuk ke dalam pendapatan negara.

"Variablenya banyak. Salah satunya pendapatan yang seharusnya adalah pendapatan negara, tetapi tidak masuk," ujar Priharsa saat dikonfirmasi, Selasa 11 Oktober 2016.

Priharsa menegaskan, KPK akan terus mendalami kasus ini. Terutama, apakah PT AHB menjadi pihak yang diuntungkan dalam penyalahgunaan wewenang Nur Alam ketika mengeluarkan IUP untuk PT AHB. Karena pembayaran royalti dari PT AHB diduga tidak masuk ke dalam pendapatan negara.

Dalam UU Mineral dan Batu Bara (Minerba) total royalti yang harus diberikan pengusaha tambang kepada pemerintah sebesar 10 persen dari keuntungan yang didapat.

KPK resmi menetapkan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyalahgunaan wewenang dalam persetujuan dan penerbitan SK IUP di wilayah Provinsi Sultra. Diduga, Gubernur Sultra 2008-2013 dan 2013-2018 itu melakukan penyalahgunaan wewenang dalam menerbitkan SK yang tidak sesuai aturan perundang-perundangan yang berlaku.

Selaku Gubernur Sultra, Nur Alam mengeluarkan tiga SK kepada PT Anugrah Harisma Barakah (AHB) dari tahun 2008-2014. Yakni, SK Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, SK Persetujuan IUP Eksplorasi, dan SK Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi Menjadi IUP Operasi Produksi. Diduga ada kickback atau imbal jasa yang diterima Nur Alam dalam memberikan tiga SK tersebut.

Atas perbuatannya, KPK menjerat Nur Alam dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

PT AHB merupakan perusahaan tambang yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara.‎‎ Perusahaan tersebut melakukan kegiatan penambangan di bekas lahan konsensi PT Inco.

PT AHB juga diketahui berafiliasi dengan PT Billy Indonesia. Hasil tambang nikel oleh PT Billy Indonesia kemudian dijual kepada Richcorp International Limited, perusahaan yang berbasis di Hong Kong. Perusahaan yang bergerak di bisnis tambang tersebut kemudian diduga mengirim uang sebesar US$ 4,5 juta atau sekitar Rp 60 miliar kepada Nur Alam lewat sebuah bank di Hong Kong.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya