Kaitan Harga Rokok dan Utang Bank Dunia?

Kampanye supaya harga rokok dinaikkan setinggi-tingginya rupanya punya kaitan dengan kucuran utang Bank Dunia kepada sejumlah negara.

oleh Liputan6 pada 21 Nov 2016, 14:20 WIB
Diperbarui 26 Des 2016, 14:43 WIB

Liputan6.com, Jakarta Pandangan Bank Dunia mendapat sokongan IMF dengan menekankan opsi menaikkan cukai sebagai upaya untuk mengerek pendapatan negara sebagai bagian upaya mengurangi defisit anggaran.

Siapa sangka, kampanye supaya harga rokok dinaikkan setinggi-tingginya rupanya punya berkaitan dengan kucuran utang Bank Dunia kepada sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Asal tahu saja, Bank Dunia saat ini menjadi pemberi utang luar negeri terbesar ke pemerintah Indonesia. Hingga akhir Februari 2016 mencapai Rp 222,69 triliun. Utang Indonesia ke Bank Dunia mencapai 29,7% dari total utang luar negeri pemerintah (detik.com).

Nah, selidik punya selidik, setiap utang yang didapat negara berkembang, rupanya harus dikompensasikan dengan sejumlah kebijakan ‘pesanan’. Salah satunya, menghentikan konsumsi rokok, membatasi ruang gerak komoditas tembakau.

Hal itu merujuk dokumen Bank Dunia berjudul Curbing the Epidemic: Governments and the Economics of Tobacco Control yang dipublikasikan pada tahun 1999. Secara gamblang disebutkan bahwa, bagi negara penerima dana, harus ada upaya menaikkan harga rokok setinggi-tingginya guna menurunkan konsumsi tembakau di negara-negara peminjam utang.

Dalam paper itu, Bank Dunia juga merekomendasikan pajak yang lebih tinggi untuk mendorong penghentian dan pencegahan kegiatan merokok. Pajak yang tinggi menurut versi Bank Dunia akan mencegah sejumlah mantan perokok kembali merokok dan menurunkan besarnya konsumsi rokok bagi orang-orang yang masih merokok. 

Sementara, mengutip buku Industri Tembakau Indonesia di Tengah Pusaran Kampanye Regulasi Anti Rokok Internasional, terbitan Yayasan Indonesia Berdikari (2011), dijelaskan tiga hal penting yang berkaitan posisi Bank Dunia sebagai pemberi utang berkaitan dengan industri tembakau.

Pertama, meningkatkan pajak dengan menggunakan ukuran kenaikan yang digunakan oleh negara-negara yang melaksanakan kebijakan pengawasan terhadap tembakau secara komprehensif, agar konsumsi tembakau menjadi jauh berkurang. Di negara-negara tersebut besarnya pajak adalah dua pertiga atau empat perlima dari harga eceran rokok;

Kedua, menerbitkan dan menyebarluaskan hasil-hasil penelitian tentang efek tembakau pada kesehatan, menambahkan label peringatan keras pada rokok, melarang iklan dan promosi [rokok] secara menyeluruh, dan membatasi kegiatan merokok di tempat-tempat kerja atau tempat-tempat umum.

Dan ketiga, memperluas akses pada pengganti nikotin (NRT) dan terapi terapi penyembuhan ketagihan yang lain.

Pandangan Bank Dunia itu, mendapat sokongan IMF dengan menekankan opsi menaikkan cukai sebagai upaya untuk mengerek pendapatan negara sebagai bagian upaya mengurangi defisit anggaran. Inilah pangkal kenapa saban tahun tarif cukai terus naik.

Kenaikan tarif cukai usul IMF ini sejatinya punya dua sisi. Mampu meningkatkan pendapatan negara sekaligus juga membumihanguskan industri rokok skala kecil. Pada 2011, 300 pabrik skala kecil di Kudus gulung tikar pasca kenaikan tarif cukai.

Pengamat hukum Gabriel Mahal menilai, perubahan drastis kebijakan pemerintah terhadap industri termbakau, melalui kenaikan cukai dan juga pajak tinggi, tak bisa dilepaskan dari diberlakukanya Framework Convention on Tobacco Control yang diadopsi oleh Majelis Kesehatan Dunia pada 21 Mei 2003 dan mulai berlaku pada tanggal 27 Februari 2005.

FCTC menjadi salah satu perjanjian yang paling besar pengaruhnya dalam sejarah PBB, dengan melibatkan172 negara.

Sekretariat negara-negara pengadopsi FCTC di Jenewa bertugas mendukung negara-negara peserta perjanjian dalam memenuhi kewajiban mereka dalam kerangka FCTC. Sekretariat ini juga menyediakan berbagai dukungan dan badan pendukung bagi CoP dalam FCTC, serta menerjemahkan keputusan dari konferensi ke dalam berbagai kegiatan dan program.

Indonesia saat ini memang belum meratifikasi FCTC. Namun, beragam aturan pemerintah yang berkaitan dengan tembakau, kental aroma FCTC. Seperti pelarangan promosi iklan, kemasan polos, penghilangan aroma rasa di rokok, hingga keharusan alih fungsi tanaman, sekaligus menyiapkan produk pengganti nikotin.

“Ini semua berawal dari agenda global yang didorong industri farmasi. Kampanye negatif terhadap tembakau ini semata kepentingan bisnis nikotin sintesis dengan dukungan perusahaan farmasi,” tandasnya.

Ekonom senior Enny Sri Hartati mewanti-wanti, adopsi cukai tinggi dengan merujuk kepentingan asing, selain memukul industri rokok juga memperbanyak peredaran rokok ilegal. “Kalau cukai sangat tinggi, produksi rokok ilegal justru akan terus naik,” tegas dia.

Kebijakan cukai dan kenaikan harga dilakukan serampangan membabi buta juga tidak akan efektif. “Jelas dampaknya ke industri, jumlah perusahaan pabrikan akan terus menurun. Lemahnya enforcement, merebaknya rokok ilegal, membuat harga rokok semakin murah,” ungkap dia.

Enny melanjutkan, sekitar 70-80 persen dari produksi rokok justru digunakan untuk biaya di luar produksi seperti pajak dan cukai. Adanya kenaikan cukai yang signifikan maka akan menambah beban industri. Dampak terburuk, kesempatan kerja terganggu, padahal itu yang terus harus dipertahankan di tengah pelemahan ekonomi.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo juga mengingatkan, kenaikan cukai tak bisa diterapkan serampangan. Pertama, cukai naik, berimplikasi harga rokok makin tinggi. Akibatnya, industri sudah pasti akan drop tutup karena permintaan anjlok, yang berujung pemerintah tidak mendapat pemasukan cukai.

Kedua, kenaikkan harga setinggi itu juga akan memicu kenaikkan peredaran rokok ilegal. “Sudah tak dapat cukai, pengendalian tidak juga berjalan,” tegasnya.

 

 

(Adv)

 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya