Liputan6.com, Jakarta Beberapa pekan terakhir, publik dihebohkan dengan demo kasus Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Peristiwa tersebut membuat kesal mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD.
Dia geram lantaran merasa kecolongan, yakni Centre of Strategic Studies University of Indonesia (CSS UI), pada 16 September 2016, menguji Pasal 22 Undang-Undang 22 Nomor 8 Tahun 2011 tentang MK.
Dalam permohonannya itu, CSS UI mengusulkan jabatan hakim MK tidak dibatasi dengan periodesasi, yang dapat ditafsirkan bahwa jabatan hakim MK adalah seumur hidup.
Advertisement
"Kita seperti kecolongan dalam ribut-ribut selama beberapa minggu terkait dengan Ahok itu. Di tengah hiruk-pikuk itu, ada berita yang tidak banyak ditanggapi, yaitu ada seorang dari lembaga yang menguji UU MK," ujar Mahfud di Jakarta Pusat, Selasa (29/11/2016).
"Yang intinya, hakim MK diberi masa jabatan dari periode lima tahun dan diperpanjang lagi dengan dua alternatif, jabatan sampai 70, bahkan lebih ekstrem seumur hidup. Menurut saya, kalau itu benar, agak berbahaya. Tidak baik bagi negara hukum ke depan," lanjut dia.
Menurut Mahfud akan timbul banyak asumsi jika Hakim Konstitusi dibatasi. Tapi seyogianya, memang jabatan apapun harus dibatasi lingkup dan waktu, termasuk hakim MK itu.
"Dulu kenapa kita ingin reformasi? Karena ingin meletakkan filosofi ketatanegaraan kita itu, bahwa jabatan harus dibatasi lingkupnya dan harus dibatasi waktunya. Jadi lingkup dan waktu harus dibatasi," papar dia.
"Simbolnya dulu Pak Harto yang tak mau membatasi dan terus mengintervensi. Lalu kita pilih reformasi dan bentuk konstitusi. Lalu ini sekarang mau dirusak dengan Mahkamah Konstitusi dengan cara-cara ini," sambung Mahfud.
Mahfud juga mengatakan, jika Hakim Konstitusi diberikan masa jabatan seumur hidup dipandang benar, maka tidak boleh diputuskan hakim MK. Dia menyarankan diserahkan ke DPR.
"Seumpama pikiran ini dianggap benar, harusnya ini jadi keputusan politik hukum DPR. Karena, MK bisa memutuskan kalau ada undang-undangnya salah," kata dia.
Karenanya, kata Mahfud, jika ini terus dilanjutkan, Hakim Konstitusi bisa saja dipandang menyalahi kode etik. Sebab, mengadili hal-hal yang menyangkut kepentingan dirinya sendiri sebagai seorang hakim.
"Dari sudut etik ada dalil dalam dunia peradilan. Di mana, seorang hakim itu dilarang mengadili hal-hal tentang kepentingan dirinya sendiri. Apa itu tentang diri sendiri, jabatan, gaji, dan masa kerja," pungkas Mahfud.
Centre of Strategic Studies University of Indonesia (CSS UI) atau Pusat Kajian Masalah Strategis Universitas Indonesia, menguji Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (MK).
Salah satu yang diuji adalah Pasal 22 UU 24 Tahun 2003. Di mana pasal tersebut berbunyi; Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Dalam materi nomor perkara 73/PUU-XIV/2016 itu, CSS UI menyebutkan, salah satu alasan menguji Pasal 22 lantaran ketentuan pasal bersifat diskriminatif. Karena kedudukan hakim dalam peradilan manapun tidak pernah mengenal masa jabatan dan periodesasi jabatan.