Liputan6.com, Jakarta - PT Timah (Persero) Tbk mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai, beleid itu kontraproduktif alias bertentangan dengan tujuan regulasi itu sendiri.
Menanggapi hal itu, Pakar Hukum Pidana Prof. Romli Atmasasmita mengatakan, uji materi atas UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) khususnya Pasal 18 ayat (1) huruf b, tidak rasio legis atau pemikiran hukum yang tidak didasarkan pada akal sehat. Alasannya, hal itu tidak dapat dipertimbangakan dan dipertanggungjawabkan.
“Kalau diubah jadi kontraproduktif menurut saya, kalau itu disetujui MK kerugian negara itu bisa banyak sekali. Itu menurut saya tidak rasio legis, tidak bisa dipertimbamgakan, kurang dapat bisa dipertanggungjawabkan,” kata Prof. Romli dalam keterangan diterima, seperti dikutip Sabtu (15/3/2025).
Advertisement
Prof. Romli mencatat, tidak masuk akal bila ketentuan mengenai pidana uang pengganti disesuaikan dengan nilai kerugian negara, akibat korupsi. Bukan harta yang dikuasai akibat rasuah seperti yang diatur dalam regulasi existing atau UU yang berlaku saat ini.
“Jadi permohonan uji materi ke MK itu bertentangan dengan pasal berapa kok nilainya yang dipersoalkan, kalau soal nilai diubah menjadi katanya harus sebanyak-banyaknya kerugian negara, mati kita,” jelas dia.
Uang Pengganti
Dia mencontohkan, dalam perkara dugaan tindak korupsi komoditas timah, jika uji materi dikabulkan, maka para terdakwa bakal dibebankan uang pengganti hingga ratusan triliun rupiah.
“Ini contoh kerugian lingkungan lingkungan hidup kemarin Rp217 triliun, kalau di permohonannya itu terdakwa bayar Rp217 triliun, itu dari mana? Gimana sih?” tanya dia.
Prof. Romli pun berkesimpulan payung hukum tindak pidana korupsi yang masih berlaku di Indonesia yaitu UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 sudah jelas dan tidak perlu diubah.
Advertisement
