Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami keterkaitan pihak lain yang diduga ikut terlibat dalam dugaan suap pengadaan mesin airbus jenis A330-300 di PT Garuda Indonesia dengan tersangka mantan Dirut Emirsyah Satar.
"Untuk sementara kami masih fokus untuk ini, tapi kalau ada orang lain yang dianggap bertanggung jawab pasti lah," ujar Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif di Gedung KPK, HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Jumat (20/1/2017).
Laode mengatakan, penyidik KPK masih belum mau tergesa-gesa dalam penetapan tersangka lainnya. Ia menilai, masih terlalu prematur untuk hal tersebut.
Advertisement
"Pemeriksaan lanjutan kalau dibutuhkan akan diperiksa lagi. Tunggu lah, orang baru kemarin, jadi harus dipelajari dulu," sambung Laode.
Terkait kemungkinan pihak Garuda Indonesia terlibat dalam kasus ini, Laode mengatakan, penyidik KPK masih menggali informasi lebih dalam.
"Khusus untuk Garuda, kami berterima kasih mereka sangat kooperatif. Mereka sangat membantu, banyak semua informasi yang kami mintakan. Khusus untuk apakah ada tersangka baru, tergantung proses penyidikan," Laode menandaskan.
KPK telah mengungkap kasus dugaan suap terkait pengadaan mesin airbus jenis A330-300 di PT Garuda Indonesia. PT Rolls Royce merupakan perusahaan yang menyediakan mesin pesawat tersebut.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan dua tersangka, yaitu Emirsyah Satar (ESA) mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia periode 2005-2014, dan Soetikno Soedarjo (SS), pendiri dari Mugi Rekso Abadi (MRA).
Emir diduga menerima suap senilai 1,2 juta euro, dan US$ 180 ribu atau setara Rp 20 miliar. Demikian pula dengan barang senilai US$ 2 juta yang tersebar di Singapura dan Indonesia.
Sebagai penerima, Emirsyah Satar disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Sedangkan SS, selaku pemberi suap disangkakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.