Ketua DPR: Hak Angket Ahok Harus Tetap Sesuai Hukum

Ketua DPR Setya Novanto mengatakan pembahasan hak angket Ahok ini sebaiknya dipercayakan kepada pihak-pihak terkait.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 23 Feb 2017, 18:54 WIB
Diterbitkan 23 Feb 2017, 18:54 WIB
Rapat Paripurna DPR RI Ke-18 Agendakan Sejumlah RUU-Jakarta- Johan Tallo-20170223
Ketua DPR Setya Novanto memberikan penjelasan saat Rapat Paripurna DPR RI Ke-18 Masa Sidang III Tahun Sidang 2016-2017, Jakarta, Kamis (23/2). Sidang tersebut membahas Penutupan Masa Sidang dan sejumlah agenda RUU (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua DPR Setya Novanto mengatakan, usulan hak angket terkait penonaktifan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dari jabatan Gubernur DKI Jakarta, harus sesuai proses hukum.

"Masalah hak angket ini saya sudah mengamati bahwa kemarin kan sudah rapat, RDP (rapat dengar pendapat) antara Menteri Dalam Negeri dengan Komisi II dan kita menghargai," ujar pria yang akrab disapa Setnov ini di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (23/2/2017).

"Tentu saya menghargai apa yang sudah disampaikan Menteri Dalam Negeri, bahwa itu menunggu proses hukum. Dan tentu proses hukum ini adalah yang berlaku, yang kita harus menghargai, karena inilah proses segala-galanya," dia melanjutkan.

Novanto mengatakan pembahasan hak angket ini sebaiknya dipercayakan kepada pihak-pihak terkait. "Dan mudah-mudahan tidak ada hal-hal yang mengecewakan semua yang menjadi keputusan dari pihak-pihak yang terkait," dia melanjutkan.

Terkait pembacaan surat pengajuan hak angket dalam rapat paripurna hari ini, Novanto belum dapat mengomentari. Sebab masalah ini menjadi hak masing-masing fraksi.

"Nanti kita lihat paripurnanya di lapangan bagaimana, kita lihat nanti. Semuanya kita serahkan kepada fraksi-fraksi, karena itu adalah hak anggota. Dan tentu saya sangat hormat dan menghargai, kita lihat perkembangannya nanti, ya," Novanto menandaskan.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo rapat dengar pendapat (RDP) dengan DPR pada Rabu 22 Februari kemarin. Dia menyatakan akan meminta fatwa dari Mahkamah Agung (MA) mengenai status Ahok sesuai Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.

Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah berbunyi: Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

"Oleh karena masalah Mendagri atau fatwa dan karena sudah ada gugatan dan sebagainya, maka MA tidak dapat memberikan pendapat hukum. Akhirnya, Bapak Presiden memerintahkan ke saya, diskusikan ke teman-teman DPR, misalnya terdakwa. Karena implikasi, seorang terdakwa belum hukum tetap, terdakwa bisa bebas, kecuali kasus KPK tuh atau korupsi pasti 5 tahun lebih. Sepengetahuan tidak ada yang bebas," papar Tjahjo.

Sementara, MA pada Selasa 19 Februari lalu menyatakan tidak akan mengeluarkan fatwa untuk menafsirkan Pasal 83 UU Pemerintah Daerah. MA beralasan tidak ingin mempengaruhi independensi pengadilan, karena sudah ada pihak yang menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengenai status Ahok yang tidak dinonaktifkan dari jabatan gubernur.

Sebelumnya, empat fraksi di DPR resmi menyerahkan usulan hak angket terkait penonaktifan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dari jabatan Gubernur DKI Jakarta. Hak Angket ini diajukan karena status Ahok sebagai terdakwa dan sedang menjalani sidang kasus dugaan penistaan agama. Keempat fraksi itu adalah PKS, Partai Gerindra, Partai Demokrat, dan PAN.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya