Liputan6.com, Jakarta - Jakarta memiliki banyak nama pahlawan maupun tokoh perjuangan yang melegenda. Mereka tentunya tidak langsung terkenal begitu saja, ada kontribusi yang tentunya dilakukannya semasa hidup.
Sebut saja Pitung. Pendekar Betawi ini dikenal dengan aksi heroiknya dalam membantu warga yang tertindas oleh penjajah. Selain itu, juga ada Sabeni, jawara asli Tenabang atau Tanah Abang, Betawi Tengah. Hingga kini, sosoknya itu masih melekat terutama bagi mereka yang menekuni bela diri pencak silat.
Baca Juga
Sabeni lahir di Kebon Pala, Tanah Abang, dari pasangan Canam dan Piyah. Semasa hidupnya, pria kelahiran 1860 itu turut ambil bagian dalam perjuangan mengusir penjajah saat zaman kolonial Belanda maupun Jepang.
Advertisement
Salah satu keturunan Sabeni, Zul Bachtiar mengungkapkan, kakeknya terkenal dengan sejumlah jurus silat andalan, terutama saat melawan Belanda. Salah satunya adalah Jurus Kelabang Nyebrang.
Dalam pertarungan di dunia persilatan, Sabeni memegang prinsip pantang mundur dalam menghadapi musuh yang datang. "Musuh jangan dicari. Kalaupun datang, pantang lari. Adepin apapun yang terjadi," demikian pesan sang pendekar.
Keturunan dari generasi ketiga Sabeni ini menuturkan, bahwa jurus-jurus silat yang dimiliki semata-mata untuk perlawanan menghadapi penindasan penjajah.
"Saya berkeyakinan engkong Sabeni ini pakai silat bukan untuk membunuh tapi untuk melakukan perlawanan dengan penjajah dulu," ujar dia kepada Liputan6.com, Jakarta, awal April 2017.
Lawan Pendekar China
Pria yang biasa disapa Zul ini mengatakan, sebelum tersohor di kalangan penduduk pribumi maupun pemerintah kolonial dahulu, Sabeni mempraktikkan silat dengan mengajarkan kepada para murid secara tertutup.
Namun kegiatan itu terendus oleh penjajah Belanda. Kompeni itu kemudian melarang perkumpulan bela diri tersebut agar mereka tidak menimbulkan benih-benih pemberontakan.
"Saat itu datanglah orang Belanda, mereka melarang ada perkumpulan yang dapat mengakibatkan adanya pergerakan takutnya menjadi pemberontakan. Padahal Sabeni ini mengajarkan silat enggak ada niat buat membuat pemberontakan. Itu memang Belanda sering mendesak," papar Zul.
Tekanan Belanda terhadap Sabeni tak hanya dilakukan dengan cara membungkam aktivitasnya. Sang penjajah Belanda bernama Tuan Danu juga mendatangkan pendekar Jago Kuntau dari China untuk bertarung dengan Sabeni di Princen Park (sekarang bernama Lokasari). Dalam duel tersebut, Sabeni berhasil mengalahkannya dengan telak.
Karena kelihaiannya dalam bela diri, oleh penjajah Belanda akhirnya Sabeni diangkat menjadi seorang Serehan (sebutan untuk kepala kampung) di Tenabang. Tujuannya agar Sabeni tidak membuat kelompok pemberontak terhadap pemerintahan saat itu.
Advertisement
Tekuk Macan Kemayoran
Nama Sabeni mulai berkibar setelah sukses menekuk Murtado, jagoan di daerah Kemayoran yang dijuluki Macan Kemayoran. Pertarungan digelar saat Sabeni hendak melamar puteri si Macan Kemayoran bernama Siti Khodijah yang kala itu menjadi kembang desa.
Pertarungan jagoan dari Kemayoran dan Tenabang itu bagaikan pertempuran dua bayang-bayang. Mereka berkelebat saling baku pukul, tukar tendang, adu kuncian dan bantingan dengan kecepatan yang sulit diikuti mata awam.
Akhirnya dengan jurus kelabang nyebrang, Sabeni mengalahkan Macan Kemayoran. Murtado ambruk tak sadarkan diri setelah totokan Sabeni menghunjam lehernya. Sabeni pun membuka totokan Murtado yang tubuhnya terhempas di atas tanah.
Sedetik terlambat, tubuh jawara Kemayoran itu akan berhenti mengirimkan oksigen ke otaknya yang berakibat maut. Sabeni lantas mengucapkan istigfar.
"Perlawanan ini dapat dinyatakan menang jika dapat menjatuhkan Macan Kemayoran selama tiga kali, bisa ke bawah ke atas atau ke segala penjuru," ungkap Zul.
Kemenangan Sabeni terhadap Macan Kemayoran menggema di seluruh masyarakat Betawi. Dia tak menyangka, jurus kelabang nyebrang yang diciptakannya hampir memakan korban.
Tarung Pendekar Jepang
Ketangkasan Sabeni dalam memperagakan silat Betawi juga diakui oleh pendekar dari Jepang. Hal tersebut terekam dalam pertarungan di Markas Kempetai di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.
Duel antara Sabeni dengan pendekar dari Jepang berlangsung saat Sabeni menjadi penjamin putranya Sapi'ie. Kempetai atau polisi rahasia Jepang terus mencari putra Sabeni itu lantaran kabur dari Heiho, semacam tenaga sukarelawan untuk membantu para prajurit Jepang. Sapi'ie tak sanggup atas perlakuan Dai Nippon di Surabaya sehingga kabur dan bersembunyi di rumah orangtuanya.
Tahun 1943, Kempetai menahan Sabeni sebagai jaminan. Jepang yang tahu Sabeni tersohor sebagai pendekar jago silat, mendatangkan ahli bela diri langsung dari Negeri Sakura untuk menguji keahlian bela dirinya. Mereka menantang Sabeni untuk berduel.
Tantangan itu dijabani Sabeni. "Elu jual gue beli." Begitu slogan sang jawara tersebut. Satu per satu ahli bela diri Jepang itu dilawan dengan jurus-jurus andalan, yang di antaranya jurus Kelabang Nyebrang.
Para pendekar dari Jepang itu pun keok. Tentara Jepang terkesima dengan kemampuan sang Jawara dari Tanah Abang tersebut. Tak lama setelah pertarungan, Sabeni dan putranya Sapi'ie pun dibebaskan.
Kemahiran dalam pencak silat, membuat Sabeni mendapatkan penawaran dari pemerintah Jepang untuk mengajarkan ilmu-ilmu bela diri itu kepada pasukan khusus. Ini juga menjadi sejarah, di mana Sabeni menjadi orang Betawi pertama yang mengajarkan silat kepada pasukan Jepang.
"Tetapi karena umur engkong Sabeni yang sudah tua 85 tahun, akhirnya diutusnya salah satu muridnya untuk ke Jepang," ujar Zul.
Pada masa tuanya, Sabeni mengajarkan ilmu bela dirinya kepada warga di seluruh daerah Jakarta. Aktivitasnya itu berakhir hingga ajal menjemputnya.
Sabeni wafat pada Jumat 15 Agustus 1945, atau 2 hari sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI dalam usia 85 tahun. Ia dimakamkan di Jalan Kubur Lama Tanah Abang, yang kemudian namanya diabadikan di daerah tersebut menjadi nama Jalan Sabeni.
Kini lokasi makam Sabeni telah dipindah ke TPU Karet Bivak, Jakarta Pusat. Posisinya berdekatan dengan makam almarhum MH Thamrin, tokoh Betawi yang menjadi tokoh nasional.
Advertisement