Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengundang para petani Telukjambe, Karawang, Jawa Barat, yang masih terlibat konflik lahan dengan perusahaan. Mereka merasa tanah yang sudah ditempati selama puluhan tahun direbut begitu saja oleh perusahaan.
Seorang petani yang ikut dalam pertemuan, Budiono mengatakan, Jokowi memang belum memberikan solusi pasti atas permasalahan ini. Presiden meminta waktu tiga hari ke depan agar para menteri bisa menemukan jalan keluarnya.
"Ya untuk ini tadi tidak ada. Hanya menyampaikan dua sampai tiga hari baru ada keputusan. Makanya kami akan tetap menunggu di penampungan Muhammadiyah. Tapi kalau kami belum dapat hasil, ya kami akan tetap enggak punya apa-apa lagi," kata Budiono di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (3/5/2017).
Advertisement
Budiono menjelaskan para petani sudah menampati tanah negara itu sejak 1962. Tiba-tiba saja muncul PT Pertiwi Lestari yang menyebut memiliki hak atas tanah itu sejak 1998.
Sampai kini, Budiono mengaku, perusahaan terus mengintimidasi warga. Lahan-lahan warga sebagian besar sudah digusur dan diambilalih perusahaan. Karena itu, para petani tetap akan tinggal di Jakarta sampai ada keputusan dari Jokowi.
Para petani heran perusahaan bisa begitu saja mengambil alih lahan mereka. Budiono mengakui banyak warga awam dengan permasalahan lahan seperti ini, tapi tidak berarti buta permasalahan ini.
Selama ini, menurut Budiono, perusahaan memiliki tiga hak guna bangunan (HGB). Para petani diklaim perusahaan berada di lahan yang berizin itu.
"Kamu kalau enggak ngambil kerohiman Rp 30 juta atau Rp 50 juta, kami akan laporkan karena penyerobotan tersebut. Sedangkan itu kan cacat hukum, HGB-nya itu enggak ada di Margakaya. Posisinya enggak ada di Margakaya. Adanya di Margamulya, Wanajaya, sama Wanajaya," dia memaparkan.
Budiono mengakui warga Telukjambe tidak memiliki sertifikat lahan karena selama ini dikelola Perhutani. Tapi tidak bisa begitu saja perusahaan mengambil alih dan menyuruh petani angkat kaki. Padahal, puluhan tahun petani merawat dan menjaga lahan negara.
"Harapan kami mending ditaruhin bom, dikumpulin gitu, biar jelas. Hidup endak, mati endak kalau kayak begini? Masa jadi pengemis di Jakarta kayak gini. Kami ini warga negara mbok ya dilayakkan seperti yang lain," Budiono mengeluh.
Tanah Negara
Peran pemerintah daerah, kata Budiono, juga dinilai tidak memberi banyak perubahan. Para petani sempat diajak pulang ke Karawang dan dijanjikan difasilitasi. Nyatanya, tetap ditelantarkan hingga anak-anak tidak bisa melanjutkan sekolah.
"Sebanyak 62 anak putus sekolah, sudah delapan bulan. Di sana ada 96 KK kalau jiwa 217 orang, termasuk anak-anak 62 orang," kata dia.
Budiono menyerahkan masalah ini sepenuhnya kepada pemerintah. Karena sudah tidak ada yang bisa dilakukan lagi di tempat mereka tinggal.
"Lah mau pulang, pulang kemana? Mungkin 200-300 peti mati mau kami siapkan," dia menambahkan.
Sebenarnya, kata Budiono, pemerintah bisa saja memutuskan dengan mudah dan mengembalikan tanah itu kepada petani. Sebab, dia yakin tanah itu milik negara karena sejak awal dikelola Perhutani.
Menurut Budiono negara tidak perlu ragu memberikan lahan itu kepada petani Telukjambe. Sebagai gantinya, perusahaan diberi lahan di lokasi lain, mengingat lahan yang menjadi sengketa hanya 791 hektare.
"Mau itu tanahnya siapa, jelas itu kan tanah negara wong yang ngurusi Perhutani, berarti itu tanah negara. Kenapa enggak digeserin aja? Disiapin aja 1.000 hektare beres semua," Budiono menandaskan.