Liputan6.com, Jakarta - Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie saat itu tengah mempersiapkan materi laporan untuk Presiden Soeharto. Sekitar pukul 17.00 WIB, 20 Mei 1998, tiba-tiba ajudannya, Kolonel (AL) Djuhana mendatangi ruangan dan melaporkan bahwa Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita meminta bicara melalui telepon.
Dikutip dari Detik-Detik yang Menentukan, buah karya Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie, percakapan melalui sambungan telepon pun berlangsung. Ginandjar menyampaikan bahwa 13 menteri di bawah koordinasinya tidak lagi bersedia duduk dalam kabinet reformasi. Namun, mereka siap merampungkan tugas sebagai anggota Kabinet Pembangunan VII hingga Kabinet Reformasi terbentuk.
"Apakah Anda sudah bicarakan dengan Bapak Presiden?" tanya Habibie kala mendengar laporan tersebut.Â
Advertisement
"Belum, tetapi keputusan itu sudah ditandatangani bersama sebagai hasil rapat kami di Bappenas dan sudah dilaporkan secara tertulis kepada Bapak Presiden melalui Tutut, putri tertua Pak Harto." Demikian jawaban dari Sekretaris Koordinator Harian Golkar tersebut.
Usai menerima laporan Ginandjar, Habibie lantas meminta sang ajudan tak mengganggunya lagi. Namun, sekitar pukul 17.45 WIB, ajudan itu kembali melaporkan bahwa Menteri Keuangan Fuad Bawazier ingin menyampaikan sesuatu yang penting.
"Apakah isu yang berkembang bahwa Pak Habibie bermaksud mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden, benar?" tanya Fuad dari ujung telepon kepada Habibie.
"Isu itu tidak benar. Presiden yang sedang menghadapi permasalahan multikompleks, tidak mungkin saya tinggalkan. Saya bukan pengecut!" tegas Habibie.
Bahas Kabinet Reformasi
Sekitar selepas magrib, Habibie meluncur ke Cendana, Jakarta Pusat. Kedatangannya ke kediaman Presiden untuk bersama-sama mengecek ulang nama-nama anggota Kabinet Reformasi yang akan dibentuk.
Habibie dan Soeharto bertemu di ruang kerja presiden. Momen itu dimanfaatkan Habibie untuk mengusulkan beberapa perubahan terkait perbedaan pandangan beberapa nama.
Perbedaan itu memunculkan perdebatan yang tak menemui titik temu. Habibie lantas mempersilakan Soeharto memutuskan yang terbaik karena penyusunan anggota kabinet merupakan hak prerogatif presiden.
Setelah kabinet reformasi terbentuk, Soeharto memanggil Menteri Sekretaris Negara, Saadilah Mursyid untuk segera membuat Keputusan Presiden mengenai Susunan Kabinet Reformasi. Nama-nama pembantu presiden itu dijadwalkan diumumkan Kamis, 21 Mei 1998 oleh presiden dan wakilnya di Istana Merdeka, Jakarta.
Selanjutnya, pada Jumat 22 Mei l998, anggota Kabinet Reformasi dilantik Presiden Soeharto yang didampingi Wakil Presiden. Semuanya agar dipersiapkan sesuai prosedur yang berlaku. Demikian instruksi Presiden Soeharto.
Usai mendapat instruksi, Saadilah langsung bergegas meninggalkan ruang kerja presiden. Soeharto dan Habibie masih bercengkerama di ruangan sambil ditemani secangkir teh. Di tengah perjamuan itu, Soeharto menyampaikan rencana akan mengundang pimpinan DPR/MPR datang ke Istana pada Sabtu, 23 Mei 1998.
Informasi itu disambut Habibie dengan suka cita. Dia menyampaikan momen ini sudah lama dinantikan. Pimpinan DPR/MPR ingin langsung menyampaikan pendapat mengenai kehendak rakyat. Begitu pula mengenai keadaan di lapangan yang sedang berkembang dan berubah tiap detik.
Namun, tampaknya ucapan wakilnya itu tidak didengarkan presiden. Soeharto lantas menyatakan bahwa dirinya akan mengundurkan diri sebagai presiden setelah Kabinet Reformasi dilantik. Pengunduran itu akan disampaikan kepada kepada Pimpinan DPR/MPR.
Mendengar pernyataan Soeharto, Habibie sesaat terdiam, dengan harapan mendapat penjelasan mengenai alasan presiden mundur serta pertanyaan lainnya. Namun, ternyata harapan itu tak terealisasi. Akhirnya dengan memberanikan diri Habibie bertanya, "Pak Harto, kedudukan saya sebagai Wakil Presiden bagaimana?"
Soeharto spontan menjawab, "Terserah nanti. Bisa hari Sabtu, hari Senin, atau sebulan kemudian, Habibie akan melanjutkan tugas sebagai Presiden."
Jawaban Soeharto itu sungguh di luar dugaan Habibie. Segera muncul dalam pikirannya, bukankah kevakuman dalam pemerintahan tidak boleh terjadi? Jika demikian yang dikehendaki Soeharto, tidak kah hal itu tidak sesuai dengan UUD '45 dan Ketetapan MPR?
Setelah bersalaman dan berpelukan dengan Soeharto, Habibie segera meninggalkan ruang kerja presiden dengan perasaan yang tak menentu dan pikiran yang dipenuhi tanda tanya.
Advertisement
Doa untuk Soeharto
Sepanjang perjalanan ke Kuningan, Habibie terus berdoa agar Soeharto diberi kesehatan dan kesabaran dalam menghadapi krisis bangsa itu. Dia pun kemudian meminta ajudan Kolonel Djuhana untuk menghubungi empat Menko dan semua menteri di bawah koordinasi Menko Ekuin. Ia minta mereka hadir dalam Sidang Ad Hoc Kabinet Terbatas di kediamannya pukul 22.00 WIB.
Tiba di Kuningan, Habibie disambut Jimly Asshiddiqie yang saat itu menjadi asistennya. Habibie kemudian masuk ke dalam rumah.
Sekitar pukul pukul 21.45 WIB, istri Habibie, Ainun Habibie mendatanginya di kamar tidur untuk menyampaikan bahwa di pendopo semua Menko dan banyak menteri hadir. Sang istri bertanya, "Ada apa?". "Saya panggil mereka," jawab Habibie.
Dalam pertemuan dengan empat menko dan 14 menteri, Habibie menjelaskan bahwa Kabinet Reformasi telah dibentuk Presiden Soeharto dengan memperhatikan masukan dari Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar.
Alhasil, dalam pertemuan itu mereka sepakat untuk mempertimbangkan kembali menarik diri dari Kabinet Reformasi. Untuk melaporkan hasil pertemuan ini, Habibie meminta ajudan segera menghubungkannya dengan Presiden Soeharto.
Namun, keinginannya ditampik oleh Soeharto. Dia tidak berkenan berbicara dengan Habibie. Ia hanya menugaskan Menteri Sekretaris Negara Saadilah Mursyid untuk menyampaikan keputusan bahwa esok hari pukul 10.00 pagi, Soeharto akan mundur sebagai Presiden. Sesuai UUD '45, kekuasaan dan tanggung jawab diserahkan kepada Wakil Presiden RI di Istana Merdeka.
"Saya sangat terkejut dan meminta agar segera dapat berbicara dengan Pak Harto. Permintaan tersebut tidak dapat dikabulkan, dan ajudan Presiden menyatakan akan diusahakan pertemuan empat mata dengan Pak Harto di Cendana besok pagi sebelum ke Istana Merdeka," ujar Habibie.
Setelah pembicaraan melalui telepon dengan Saadilah Mursyid selesai, Habibie kembali ke pendopo untuk menjelaskan informasi yang baru diperolehnya. Kabar itu membuat semua terkaget-kaget.
"Kemudian saya meminta para menteri yang hadir, dan juga para asisten wakil presiden yang berada di ruang sebelah pendopo, untuk memanjatkan doa kehadirat Allah SWT. Saya minta Jimly Asshiddiqie untuk memimpin doa," kisah Habibie.
Pantau Gerakan Mahasiswa
Setelah mereka meninggalkan Kuningan, Habibie langsung menuju ruang kerja. Melalui internet, ia memantau perkembangan gerakan masyarakat di Indonesia dan reaksi luar negeri terhadap situasi yang terus memanas.
"Sudah larut malam sekitar pukul 01.00 WIB, 21 Mei 1998, ketika saya masih mengikuti perkembangan gerakan massa melalui internet dan TV di ruang kerja saya, tiba-tiba istri saya, Ainun, muncul dan mengingatkan, agar saya segera tidur," ujar Habibie.
Dia pun mengikuti saran istri dan segera mengganti baju dengan pakaian tidur. Meski hampir 20 jam belum beristirahat, pertanyaan dan pemikiran mengenai keadaan Tanah Air terus menghantuinya.
Dia pun berdiri perlahan. Untuk tidak mengganggu istri yang sedang tidur, Habibie menutup bantal dan guling dengan selimut untuk memberi kesan seakan-akan ia berbaring di bawah selimut tersebut.
"Saya keluar ke tempat semula untuk menyusun catatan mengenai langkah-langkah awal dan dasar ataupun prinsip, sikap, dan kebijakan yang harus saya ambil," ungkap Habibie.
Banyak hal yang dipikirkan Habibie, di antaranya tentang pembebasan tahanan politik, kebebasan pers dan berpendapat, penyelenggaraan sidang istimewa, dan mendirikan partai politik yang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Saat pikiran tengah asyik mencari solusi atas permasalahan Tanah Air, tiba-tiba terdengar suara dari ruangan yang gelap. "Pak Habibie, sudah hampir pukul 04.00 pagi dan Bapak belum tidur dan belum beristirahat, sementara acara Bapak sudah mulai pukul 07.00 pagi. Mohon Bapak beristirahat sejenak."
Lantaran tak terlihat, Habibie pun bertanya, "Siapa yang berbicara?"
"Siap, Kolonel Hasanuddin, ajudan Bapak," sambil menyinari wajahnya dengan lampu senter. "Mengapa Kolonel belum tidur?" tanya Habibie. "Siap, lagi dinas dan mohon Bapak istirahat sejenak," jawabnya.
Dengan mengakhiri catatan, Habibie pun berujar, "Saya segera beristirahat." Dia pun berdiri meninggalkan ruang kerja.
Advertisement
Perasaan Tersakiti Habibie
Setelah tidur satu jam, Habibie bangun untuk salat subuh bersama istri, kemudian mandi dan berpakaian. Setelah itu, dia langsung ke ruang kerja memantau perkembangan gerakan dan demo massa melalui internet dan TV.
Gerakan demonstrasi para mahasiswa bersama rakyat terus meningkat. Ini mengakibatkan keadaan Indonesia menjadi makin tidak menentu. Hal itu memengaruhi jatuhnya nilai rupiah secara cepat dan larinya modal ke luar negeri.
Sekitar pukul 06.45, ajudan Iwan Sidi masuk ke ruangan dan melaporkan bahwa Pangab Jenderal Wiranto siap menunggu di ruang tamu. Dia meminta agar mempersilakan Wiranto menuju pendopo. Di tempat ini, Jenderal Wiranto melaporkan keadaan di lapangan yang tidak menentu dan gerakan demo yang terus meningkat.
"Saya membaca dan menafsirkan keadaan demikian, sebagai tuntutan rakyat untuk memperoleh kebebasan total," ucap Habibie.
Atas kondisi ini, Habibie memberikan arahan kepada Wiranto agar memberikan kebebasan kepada rakyat untuk berdemo secara tertib. Setelah mendapat instruksi, Wiranto pun mengaku telah telah menerima inpres yang ditandatangani Presiden Soeharto agar bertindak demi keamanan dan stabilitas negara jika suasana tak terkendali.
Wiranto menanyakan apa yang harus diperbuat dengan inpres ini? "Simpanlah Inpres tersebut, mungkin Jenderal akan butuhkan," jawab Habibie.
Habibie lantas menugaskan Pangab untuk langsung ke Istana Merdeka seraya ia mempersiapkan diri pergi ke kediaman Soeharto, dengan harapan mendapatkan penjelasan dan jawaban mengenai semua hal. Namun, asa itu jauh dari kenyataan. Soeharto belum bersedia menerimanya dan mempersilakan langsung menuju Istana Merdeka.
Sekitar pukul 08.30 WIB, Habibie berangkat ke Istana Merdeka untuk menghadiri acara pernyataan pengunduran diri Presiden Republik Indonesia yang dilanjutkan dengan Pelantikan dan Pengambilan Sumpah Wakil Presiden Republik Indonesia sebagai Presiden oleh Ketua Mahkamah Agung yang disaksikan para anggota Mahkamah Agung lainnya.
"Ketika saya sampai di Istana Merdeka, ternyata belum ada orang yang hadir dan saya dipersilakan duduk di kamar tamu yang berhadapan dengan ruangan yang dikenal sebagai Ruangan Jepara. Saya duduk, sambil membaca laporan-laporan multikrisis yang masuk," cerita Habibie.
Beberapa saat kemudian, Ketua Mahkamah Agung Sarwata SH dan para Hakim Agung datang menyertainya. Kepada Ketua Mahkamah Agung, Habibie bertanya apakah alasan dan cara pengambilan sumpah sah berdasarkan UUD dan Ketetapan MPR. Pertanyaan itu dijawab sah oleh Ketua Mahkamah Agung.
Setelah melalui beberapa proses, tiba-tiba Protokol dan ajudan Presiden mempersilakan Ketua MA dan Hakim Agung masuk ke Ruang Jepara. Habibie langsung berdiri dan menyampaikan bahwa dirinya dijanjikan bisa bertemu Presiden Soeharto. Namun, keinginan itu kembali tak kesampaian.
Ajudan Presiden hanya mempersilakan Ketua bersama Hakim Agung masuk Ruang Jepara di mana Soeharto berada. "Saya merasakan diperlakukan 'tidak wajar' dan menahan diri untuk tetap sabar dan tenang. Saya membaca beberapa ayat Alquran yang saya hafal," cerita Habibie.
Setelah beberapa waktu berlalu, Ketua dan anggota Mahkamah Agung keluar dari Ruang Jepara. Kemudian, ajudan dan protokol mempersilakan pimpinan DPR/MPR memasuki ruangan itu untuk bertemu Soeharto.
"Perasaan saya makin penuh dengan kekecewaan, ketidakadilan, dan 'penghinaan', sehingga kemudian saya memberanikan diri berdiri dan melangkah ke Ruang Jepara ingin bertemu langsung Presiden Soeharto," kenang Habibie.
Namun, baru saja berada di depan pintu Ruang Jepara, tiba-tiba pintu terbuka dan protokol mengumumkan bahwa Presiden RI memasuki ruang upacara. Ia pun tercengang melihat Presiden Soeharto melewatinya, melangkah ke ruang upacara dan 'melecehkan' keberadaannya di depan semua yang hadir.
"Betapa sedih dan perih perasaan saya ketika itu. Saya melangkah ke ruang upacara mendampingi Presiden Soeharto, manusia yang saya sangat hormati, cintai, dan kagumi yang ternyata menganggap saya seperti tidak ada," cerita dia.
"Saya melangkah sambil memanjatkan doa dan memohon agar Allah SWT memberi kekuatan, kesabaran, dan petunjuk untuk mengambil jalan yang benar," doa Habibie.
Pelantikan
Dalam ruang upacara yang sudah penuh dengan wartawan dalam dan luar negeri, Habibie dipersilakan berdiri di tempat yang sudah diberi tanda. Soeharto langsung di tempat yang telah diatur dan membaca pertimbangan dan pernyataan pengunduran dirinya sebagai presiden RI.
"Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memerhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak dibacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis, 21 Mei 1998," ucap Soeharto.
Setelah itu berlangsung, protokol menyerahkan kepada Habibie sebuah map berisi sehelai kertas tentang sumpah kewajiban Presiden RI yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
"Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden RI dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa," sumpah Habibie.
Upacara berlangsung cepat dan lancar. Soeharto pun lantas memberi salam kepada hadirin termasuk Habibie. Tanpa senyum maupun sepatah kata, dia meninggalkan ruang upacara.
Sejak saat itu, Orde Baru tumbang berpindah kepada era reformasi. BJ Habibie pun menerima warisan institusi presiden sebagai pusat kekuasaan dan pusat perhatian masyarakat dalam suatu sistem dengan segala permasalahan dan tantangannya.
"Ini yang menyebabkan saya menjadi manusia yang paling kesepian dan paling sendirian di dalam suatu lingkungan yang serba sibuk menghadapi multikompleks," demikian curahan hati Habibie kala itu.
Advertisement