Ade Komarudin: Sistem Pemilu Sekarang Perlu Dievaluasi

Menurut dia, sistem pemilu saat ini banyak sisi tidak baiknya untuk diterapkan.

oleh Liputan6.com diperbarui 02 Jun 2017, 05:12 WIB
Diterbitkan 02 Jun 2017, 05:12 WIB
20161205-Akom-JT1
Mantan Ketua DPR RI, Ade Komarudin, saat memberikan keterangan kepada media di Jakarta, Senin malam (5/12). Usaha tersebut ia tempuh untuk mengembalikan nama baiknya usai di berhentikan MKD sebagai Ketua DPR. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Sentra Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) Ade Komarudin menilai sistem pemilu termasuk pemilihan kepala daerah dievaluasi. Menurut dia, sistem saat ini banyak tidak baiknya untuk diterapkan.

"Banyak nggak baiknya sistem sekarang dibanding yang dulu, itu tentu banyak perdebatan dan diskusi panjang. Tapi sebaiknya memang selalu terus dilakukan evaluasi," kata Ketum Depinas SOKSI Ade Komarudin (Akom) usai diskusi dalam rangka memperingati Hari Lahir Pancasila dengan tema "Pancasila Pasca-Reformasi; siapa yang paling bertanggung jawab" di Mendawai 13, Jakarta, Kamis (1/6/2017).

Akom menuturkan sebagai contoh, saat ini sistem pilkada menghasilkan masalah. Yaitu banyak kepala daerah terjerat kasus karena biaya politik yang begitu besar.

"Kita semua tahu bahwa ada 285 kasus korupsi, 2,8 persennya melibatkan gubernur dan 10,2 persen melibatkan wali kota atau bupati menjadi tersangka dan ini memprihatinkan," kata dia seperti dikutip dari Antara.

Akom menilai ini semua karena sistem politik dan kepemiluan di Indonesia terkena dampak liberalisme. "Ini dampak dari sistem liberalisme politik," tegas pria yang akrab disapa Akom ini.

Maka dari itu, lanjut Akom, pemilu atau pilkada tidak boleh sampai mengganggu keutuhan persatuan dan kesatuan Indonesia. "Jangan hanya karena pilkada kita hampir terkoyak sebagai bangsa besar," katanya.

Saat ditanya apakah itu artinya pilkada di Indonesia sudah lari dari nilai-nilai Pancasila, Akom mengatakan yang perlu dilakukan adalah meningkatkan komitmen memperbaiki sistem yang sudah ada.

"Tak usah berganti-ganti atau malah mundur ke belakang, diperbaiki saja. Jalan keluarnya perlu kita pikirkan negeri ini sudah selesai tapi nyaris terkoyak hanya karena pilkada. Apakah mau seperti masa lalu ? Kan tidak juga," jelasnya.

Mengenai calon dalam pilkada, ia mengatakan perlu fit and proper test dan dilihat dari dukungan rakyatnya.

"Kriterianya harus ditentukan visi, akhlak dan lainnya oleh DPRD. Tapi jangan sampai begitu partai pusat sampai daerah memberikan dukungan untuk lawan kotak kosong, sebenarnya tidak apa lawan kotak kosong asalkan tidak direkayasa," kata ketua Dewan Penasehat Pusat Studi Hukum dan Pembangunan (PSHP) ini.

Sayangnya sekarang banyak orang disulap dari buruk menjadi baik sehingga ketika memimpin masyarakat sengsara dibuatnya. Pemimpin itu terpilih secara popularitas karena termakan konsultan politik.

"Kita tidak bisa biarkan terus begitu, harus dievaluasi," harap dia.

Tak Sejalan Pancasila

Sementara di tempat yang sama secara tegas mantan Wakil Ketua MPR Hajrianto Tohari menyebutkan sistem pemilu, pilkada, pileg, dan pilpres sekarang tidak sejalan dengan Pancasila.

"Kalau dari perspektif sistem yang diintrodusir Pancasila adalah musyawarah mufakat, artinya sistem politik atau pillkada sekarang termasuk liberal, tidak paralel dengan musyawarah mufakat," katanya.

Menurut dia sistem pilkada, pileg dan pilpres sekarang condong ke individualisme dan tidak sejalan dengan semangat Pancasila.

"Sistem one man one vote itu kan individualisme tidak paralel dengan musyawarah mufakat. Karena individual maka mempermudah masuknya campur tangan pemodal, memang sekarang tidak bisa dihindari karena sistem saat ini personal," jelasnya.

Sedangkan pengamat politik Fachry Ali menyebutkan, membangun parpol adalah sesuatu yang paling berat. Apalagi saat ini semua didasari pembiayaan partai sehingga ideologi juga kadang terabaikan.

"Partai sekarang berat menjalankan kegiatan, karena berbiaya besar," kata dia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya