Liputan6.com, Jakarta - Polri menyatakan, obat PCC (Paracetamol Caffein Carisoprodol) tidak akan menimbulkan dampak yang berlebihan jika dikonsumsi sesuai resep dokter.
Akan tetapi, kasus penyalahgunaan PCC di Kendari, Sulawesi Tenggara karena korbannya mengonsumsi sekaligus sampai lima butir pil.
"Obat ini dikonsumsi itu satu sampai lima butir. Jadi bukan hanya satu butir, tapi satu sampai lima butir. Ini kemudian berdampak halusinasi sampai gangguan saraf otak," ujar Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Divisi Humas Polri Kombes Pol Martinus Sitompul, di Divisi Humas Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (15/9/2017).
Advertisement
Dia mengatakan, mengenai peredaran obat PCC akan dilarang atau diawasi secara ketat, masih perlu pembahasan lebih lanjut dengan instansi-instansi terkait. Salah satunya Kementerian Kesehatan.
"Tidak bisa ditangani sendiri pihak kepolisian. Kami melibatkan berbagai pihak stakeholder, dalam hal ini di antaranya Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan. Itu tentu menjadi diskusi yang sedang dilakukan di wilayah Polda Sulawesi Tenggara," papar dia.
Martinus mengimbau kepada masyarakat untuk tidak lagi mengonsumsi obat PCC tanpa resep dokter. Apalagi, obat itu merupakan obat penenang untuk penderita sakit jantung dan juga untuk melemaskan otot-otot saraf.
"Kami mengimbau karena obat pil PCC ini digunakan untuk obat penenang untuk mereka yang sakit jantung dan kemudian untuk melemaskan otot-otot saraf. Artinya obat ini harus diperoleh melalui resep dokter," ucap Martinus.
Â
Saksikan video di bawah ini:
9 Tersangka
Pihak Polda Sulawesi Tenggara sudah menetapkan sembilan orang sebagai tersangka kasus dugaan pengedaran dan penjualan PCC (Paracetamol Caffein Carisoprodol).
Tak hanya itu, polisi juga telah menyita barang bukti lainnya, yakni obat PCC sebanyak 5.227 butir.
"Telah ditetapkan sembilan tersangka. Ini dua (tersangka) di Polda, empat di Polresta Kendari, dua di Polres Kolaka dan satu di Polres Konawe," ujar Martinus Sitompul.
Kesembilan tersangka, ujar Martinus, ditangkap karena tidak memiliki izin mengedarkan obat keras tersebut ke masyarakat yang seharusnya juga harus melalui resep dari dokter.
Advertisement