Komnas HAM: Pernyataan Pejabat Publik Harus Mengacu pada Hukum

Kata Pribumi dalam pidato pertama Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan menuai protes.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 17 Okt 2017, 14:05 WIB
Diterbitkan 17 Okt 2017, 14:05 WIB
Ketua Komnas HAM Nur Kholis
Ketua Komnas HAM Nur Kholis (Liputan6.com/ Putu Merta Surya Putra)

Liputan6.com, Jakarta - Kata 'Pribumi' dalam pidato pertama Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan menuai protes. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Nur Kholis mengingatkan, sebaiknya, pernyataan setiap pejabat publik mengacu pada hukum yang ada. Ini akan meminimalisasi penggunaan istilah yang multitafsir.

"Harusnya statement itu mengacu pada hukum yang ada. Pejabat publik gunakan istilah yang tidak multitafsir," ucap Nur Kholis kepada Liputan6.com, Jakarta, Selasa (17/10/2017).

Pada masa kepemimpinan Presiden BJ Habibie, dikeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 26 Tahun 1998 tentang menghentikan penggunaan istilah 'pribumi' dan 'nonpribumi' dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanan kegiatan penyelenggaran pemerintahan.

Dia pun menuturkan, sebenarnya sudah tidak ada istilah 'pribumi'. Yang ada hanya Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing saja.

"Agak kurang jelas sebenarnya yang dimaksud dengan pribumi dan nonpribumi itu ya. Kalau dalam human right itu ada istilah warga negara dan warga negara asing. Jadi sebaiknya istilah yang digunakan ya itu," jelas Nur Kholis.

Karena itu, lanjut dia, makna pribumi dan nonpribumi yang masih belum jelas, hendaknya tidak perlu dipergunakan lagi.

"Jadi selama konteksnya belum clear apalagi menimbulkan multitafsir, istilah seperti itu sebaiknya tidak digunakan dulu," pungkas Nur Kholis.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Penjelasan Anies

Pidato Politik Anies Rasyid Baswedan menjadi sorotan setelah menyelipkan istilah 'pribumi'. Dia menyebut, penggunaan istilah itu dalam pidato semalam adalah untuk menjelaskan sejarah penjajahan era kolonial dulu.

"Istilah itu digunakan untuk konteks pada saat era penjajahan, karena saya menulisnya juga pada era penjajahan dulu," kata Anies ditemui di Balai Kota, Jakarta, Selasa (17/10/2017).

Menurut mantan Mendikbud ini, Jakarta adalah kota yang paling merasakan penjajahan kolonial Belanda.

"Kalau kota lain itu enggak lihat Belanda dekat, yang lihat Belanda dari jarak dekat siapa? Yang lihat depan mata kita, yang di kota Jakarta ini," ujar Anies.

Dalam pidatonya setelah serah terima jabatan, Anies menjelaskan kondisi Jakarta di era kolonialisme.

"Jakarta ini satu dari sedikit kota di Indonesia yang merasakan kolonialisme dari dekat. Penjajahan di depan mata itu di Jakarta selama ratusan tahun, di tempat lain penjajahan mungkin terasa jauh. Tapi di Jakarta bagi orang, Jakarta yang namanya kolonialisme itu dirasakan sehari-hari. Karena itu bila kita merdeka, janji-janji itu harus terlunaskan bagi warga Jakarta," kata Anies tanpa membaca teks.

"Dulu, kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan kini telah merdeka kini saatnya kita merdeka, kini saatnya jadi tuan rumah di negeri sendiri," Anis melanjutkan.

Anies kemudian melanjutkan pembacaan pidato dengan membaca naskah yang telah diketiknya dalam lembaran kertas.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya