3 Tahun Jokowi-JK, Ini Penilaian Amnesty International

Sejumlah program pembangunan Jokowi seperti pembangunan infrastruktur masih mengabaikan HAM.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 19 Okt 2017, 15:45 WIB
Diterbitkan 19 Okt 2017, 15:45 WIB
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid. (Liputan6.com/Putu Merta)

Liputan6.com, Jakarta - Amnesty International Indonesia mengevaluasi tiga tahun kinerja Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dalam membela Hak Asasi Manusia (HAM).

Hasil riset Amnesty International menyebut, sejumlah program pembangunan Jokowi dianggap masih mengesampingkan HAM, khususnya bagi para petani dan pemilik lahan.

"Pemerintahan Jokowi-JK memang berjanji akan membangun dari pinggir dari desa-desa. Tapi malah justru menggusur komunitas petani," tutur Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, di Kantornya di kawasan Menteng, Jakarta, Kamis (19/10/2017).

Usman menyebut sejumlah contoh seperti aksi penggusuran paksa oleh 1000 aparat gabungan kepada para petani di Langkat, Sumatera Utara pada November 2016 dan Maret 2017.

Akibat aksi tersebut, ratusan petani pun kehilangan tempat tinggal dan lahan garapan.

Kemudian pada November 2016 aparat gabungan menggunakan kekuatan berlebih untuk membubarkan paksa aksi protes petani mempertahankan lahannya atas pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat di Majalengka.

Termasuk juga pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Seko Tengah, Sulawesi Utara dan Waduk Jatigede, Sumedang, yang tetap dijalankan, meski banyak protes warga serta ganti rugi yang tidak adil.

"Ini menjadi pola masif di Indonesia. Pembangunan infrastruktur malah meminggirkan para petani," jelas dia.

Bahkan, peristiwa semacam itu pun diwarnai kriminalisasi. Seperti pada Agustus 2017, petani Joko Prianto di Rembang, Jawa Tengah yang dilaporkan atas kasus pemalsuan surat. Kala itu dia sedang berupaya melakukan protes terhadap keberadaan pabrik semen di sana.

"Joko Prianto masih harus wajib lapor setiap Selasa ke Polda Jawa Tengah di Semarang. Ongkos bolak-balik naik angkot habis sampai Rp 200 ribu. Sebulan Rp 800 ribu. Setahun bisa Rp 9,6 juta. Petani cengkeh yang sukses saja setahun hanya sekitar Rp 30 juta," ucap dia. 

"Artinya 30 persen pendapatannya habis untuk wajib lapor. Ini jadi seperti upaya menekan petani lain," Usman menandaskan.

 

 

Problem di Bidang Agraria

Sementara, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Khalisah Khalid menambahkan, sejak orde baru, pertumbuhan ekonomi selalu hanya menjadi jargon. Faktanya di lapangan justru banyak konflik, ketimpangan dan kemiskinan.

"Sebetulnya di dokumen nawacita (Jokowi-JK) itu sudah komprehensif. Melihat dan menjawab persoalannya. Tapi ketika implementasinya, justru banyak yg bertentangan," kata Khalisah.

Menurut dia, jika upaya kriminalisasi petani terus terjadi dan pendekatan lewat kekerassn masih ada, maka tidak akan menjawab problem struktur agraria dan upaya reforma agraria yang selama ini digemborkan.

"Program reforma agraria dan kehutanan sosial itu kan untuk mengatasi konflik. Selain agenda untuk mengatasi problem ketimpangan, kemiskinan, kedaulatan pangan, juga sebenarnya untuk menyelesaikan konflik struktural agraria," Khalisah menandaskan.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya