Liputan6.com, Jakarta Buku Pitung Pituan Pitulung yang ditulis oleh Iwan Mahmoed Al Fattah dipertanyakan oleh filolog Universitas Indonesia, yang juga Ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), Dr Munawar Cholil. Hal itu disampaikannya dalam sebuah diskusi publik berjudul "Orang Betawi dan Cerita si Pitung" yang dihelat Komunitas Betawi Kita pada Sabtu, 25 November 2017, di BLK Jakarta Pusat.
Baca Juga
Advertisement
Munawar mempertanyakan dasar pemilihan naskah Al Fatawi sebagai sumber sejarah satu-satunya untuk menulis buku. Menurut filolog yang akrab dipanggil Kang Mumu ini, seorang peneliti naskah untuk meneliti originalitas naskah, harus dilihat secara fisik. Misalnya apakah kertasnya kertas Eropa atau kertas lokal, tidak bisa hanya dari foto saja.
"Namun sayang, saya belum dapat kesempatan untuk melihat naskahnya secara langsung," ujar Munawar.
Sebagai seorang peneliti naskah, Munawar menjelaskan, penting melihat bagaimana riwayat perjalanan naskah. Namun, dalam bukunya, Iwan Mahmoed tidak menjelaskan lebih lanjut soal perjalanan naskah.
"Naskahnya ada berapa? Metodologi seperti apa? Dipilih yang mana? Sebab jika naskahnya ada satu dan naskahnya ada tiga, perlakuannya akan berbeda. Harus ada perbandingan antar naskah," ujar Munawar.
Selain itu, ia mengkritik nama kitab Al Fatawi yang dinilai aneh. "Apakah ini merupakan pelesetan dari kata Betawi atau Al Fatawi artinya kitab yang berisi fatwa-fatwa," tutur Munawar.
Munawar juga menyebut upaya untuk menggunakan naskah lokal sebagai sumber sejarah bisa saja memiliki aspek lain. Misalnya aspek politis dan kepentingan lain. Sebab, katanya, "Ada kecenderungan melihat diri kita dari sudut pandang kita sendiri."
Â
Sumber Tulisan Dipertanyakan
Terhadap buku Pituan Pitulung, Iwan mempertanyakan beberapa hal. Misalnya, buku justru dibuka dengan sebuah cerita mengenai silsilah Pituan Pitulung, sementara uraian tentang naskah Al Fatawi ditempatkan pada Bab IV.
Munawar juga menyebutkan, dalam buku Pituan Pitulung tidak ada penjelasan mengenai aspek filologis dan kodikologis naskah, seperti ada berapa jumlah naskah Al Fatawi, di mana saja naskah ini disimpan, masing-masing naskah ada berapa halaman, aksara dan bahasa apa yang digunakan, menggunakan bahan apa, bagaimana penjilidan naskahnya, apakah ada kolofon pada naskah itu, bagaimana kondisi naskahnya, serta apakah naskah-naskah yang ada berupa versi atau varian.
Bahkan yang paling penting, ujar Munawar, tidak ada penjelasan bagaimana penulis buku ini menggunakan informasi yang terdapat dalam naskah Al Fatawi sebagai sumber penulisan buku Pituan Pitulung.
"Tidak ada transliterasi, tidak diterjemahkan, lalu bagaimana dipilihnya? Selain itu juga tidak ada keterangan apakah naskahnya dipercaya semuanya atau dikesampingkan sebagian. Itu tidak ada dalam buku ini," Munawar menambahkan.
Yang juga mengherankan dia adalah klaim bahwa naskah ditulis dalam huruf Wesig dan bahasa Sunda Buhun.
"Saya tidak tahu di Betawi ada naskah yang memakai bahasa Sunda Buhun. Saya kira ini temuan baru. Apalagi saya juga belum pernah mendengar soal tulisan huruf Wesig. Sepengetahuan saya di Indonesia dan dunia, tidak ada huruf Sunda Wesig," ujar Munawar.
Advertisement
Buku Pituan Pitulung Sesat?
JJ Rizal, sejarawan Betawi, ketika dimintai pendapatnya secara terpisah, Senin (27/11/2017) mengatakan, buku Pituan Pitulung lebih banyak dichtung (khayal) daripada wermheit (kenyataannya).
Apalagi dalam buku ini disebutkan bahwa Pitung, yang selama ini dianggap pahlawan Betawi, ada tujuh orang. Rizal hakul yakin Pitung hanya ada satu, yakni seorang tokoh jago main pukulan yang bernama asli Salihun.Â
Soal ketidaksetujuannya ini Rizal menjelaskan, "Metodologi yang digunakan bukan metode yang lazim dalam ilmu sejarah, terutama terkait kritik sumber, sehingga sumber yang tidak valid dijadikan sumber, bahkan sumber utama. Akibatnya, hal-hal yang paling mendasar dari sebuah tulisan sejarah—yakni apa, siapa, di mana, kapan, juga terutama mengapa—kacau, bahkan sesat.
Senada, Munawar Cholil mempertanyakan akurasi sumber yang lemah dalam buku Pituan Pitulung ini. Misalnya, kapan Pangeran Mertakusuma mengumpulkan seluruh lembaran atau catatan naskah Al Fatawi yang "terpisah" itu? Apakah pada 1910 (seperti di hlm 31)? Atau tahun 1930-an (seperti hlm 233)? Atau tahun yang lain (seperti hlm 233-234)?
Selain itu, ia merasa aneh dengan penyebutan bahan untuk pembuatan naskah-naskah Al-Fatawi yang disebut berasal dari (1) Kulit kerbau, kayu, tembikar yang dibuat oleh Ki Meong Tuntu, penulis Al Fatawi; (2) Kulit kerbau, rotan, kayu, dan tulang-tulang ikan, dibuat oleh Syah Fadhilah Khan; (3) Kulit kerbau, lontar, dan lempengan-lempengan tembaga, dibuat Ki Mas Wisesa Adimerta.
Menurut Munawar, ini informasi yang menarik untuk didiskusikan karena merupakan informasi baru untuk bidang filologi dan kodikologi, khususnya di Indonesia. Sebab, sepengetahuan dia, tidak ada naskah di Betawi yang berbahan dasar kulit kerbau, apalagi tulang-tulang ikan.
Melihat dari kertas yang digunakan dalam kitab Al Fatawi, yang merupakan kertas bergaris, Munawar menduga naskah Al Fatawi berasal dari masa setelah 1922, yakni setelah pabrik kertas pertama di Indonesia berdiri, yakni di Padalarang. Kemudian tahun 1939 baru ada pabrik kertas Leces di Jawa Timur.
"Sementara dari aksaranya atau kodikologi, bisa dilihat dari ketebalan dan kemiringan bisa diketahui ini abad ke berapa, di pesisir atau di pedalaman," kata Munawar.
Yang paling penting, Munawar menekankan, "Bila naskah Al Fatawi digunakan sebagai sumber sejarah, biasanya tidak digunakan sebagai sumber sejarah satu-satunya. Harus dibandingkan dengan bidang-bidang lain, semisal arsip dan wawancara."
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â