Kenangan Buya dalam Buku 'Ahmad Syafii Maarif Sebagai Seorang Jurnalis'

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif meluncurkan buku berjudul 'Ahmad Syafii Maarif Sebagai Seorang Jurnalis'.

oleh Liputan6.com diperbarui 25 Feb 2018, 15:14 WIB
Diterbitkan 25 Feb 2018, 15:14 WIB
Syafii Maarif
Peluncura buku Syafii Maarif. (Istimewa)

Liputan6.com, Sleman - Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif meluncurkan buku berjudul 'Ahmad Syafii Maarif Sebagai Seorang Jurnalis'. Buku tersebut berisi ulasan tentang kiprah kejurnalistikan Buya Syafii yang bergelut di media Majalah Suara Muhammadiyah.

"Saya hargai (pembuatan buku ini). Dari puluhan tulisan yang saya enggak ingat lagi. Tulisan saya kemudian ditampilkan kembali oleh tim sejarawan Suara Muhammadiyah," ujar pria yag karib disapa Buya ini seperti dikutip dari suaramuhammadiyah.id, Minggu (25/2/2018).

Melalui buku ini, Syafii Maarif bisa membandingkan perjalanan hidupnya. Lewat tulisan-tulisannya tersebut, ia juga kembali melihat perjalanan pemikirannya dari masa ke masa.

Buya sempat mengomentari perkembangan dunia pers saat ini. Menurutnya saat ini bisnis media sudah lebih baik dari masa sebelumnya.

Selain itu Syafii Maarif juga menilai pengetahuan wartawan saat ini pun juga lebih baik dibandingkan sebelumnya.

"Yang kadang saya sedih, wartawan kalau media dikuasai pengusaha. Agak sedikit khawatir. Kehilangan independensi. Jagalah itu untuk mendidik rakyat. Independensi itu penting. Orang harus berpikir jernih. Harus fair," urai Guru Besar UNY ini.

 

 

Harus Berintegritas

Buya Syafii Maarif
Benak Buya Syafii penuh tanda tanya seusai bertemu pelaku penyerangan gereja di Sleman

Buya meminta agar media saat ini bisa berkaca dari Harian Indonesia Raya yang dibuat oleh Mochtar Lubis. Buya berharap sosok Mochtar Lubis bisa menjadi teladan bagi para pemilik media maupun wartawan.

"Pemimpin (media) harus punya integritas. (Mochtar Lubis) punya idealisme tinggi sekali. Walaupun resikonya ada. Mochtar Kubis ditahan dan dipenjara. Sekarang sudah enggak ada lagi. Wartawan perlu belajarlah pada senior. Agar idealisme itu bukan idealisme musiman tapi bertahan lama," ugkap Buya.

Sebagai jurnalis Suara Muhammadyah mulai 1965 hingga 1982, Buya banyak berinteraksi dan belajar dari sepak terjang sejumlah tokoh dari berbagai latar belakang saat itu. Mulai dari Menteri Luar Negeri Indonesia 1956-1957, Roeslan Abdulgani; Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution; pendiri Partai Masyumi M Natsir, Haji Agus Salim, termasuk presiden dan wakil presiden RI pertama Soekarno-Muhammad Hatta.

"Kelebihan politisi zaman dulu itu mereka kuat literasinya dan menguasai banyak bahasa," ujar dia.

Buya melihat para tokoh bangsa di masa lalu merupakan politikus yang amat berani. Tidak jarang saling bergesekan karena perbedaan ideologi. Namun, semua diselesaikan dengan dewasa.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya