Liputan6.com, Jakarta - Kabar mengejutkan muncul dari sebuah seminar di Gedung Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Selasa (5 April 2018) lalu. Tiba-tiba perhatian publik mengarah ke sana.
Sorotan tertuju pada pernyataan Peneliti tsunami Balai Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Widjo Kongko.
Dalam presentasinya, Widjo menyebut potensi tsunami setinggi 57 meter di Kabupaten Pandeglang, Banten. Ia mengungkap potensi gempa besar di daerah subduksi di selatan Jawa dan Selat Sunda menjadi pemicunya.
Advertisement
Bila kekuatan gempa mencapai 9 skala Richter di laut dangkal, akan muncul tsunami besar. Tak hanya Pandeglang, kawasan lain yang tak jauh dari sana juga akan mengalami tsunami dengan ketinggian bervariasi.
Kabar potensi Tsunami besar di Pandeglang, Banten, membuat resah. Tak mau perbincangan seputar hal itu menjadi bola liar, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) langsung membuat klarifikasi.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menggelar konfrensi pers. Ia menjelaskan hal ihwal hasil penelitian BPPT itu.
Menurutnya, temuan BPPT belum bisa jadi pegangan resmi. Sebab, kata dia, hal tersebut masih hasil penelitian awal.
"Itu modeling yang perlu divalidasi. Dan perlu digunakan data-data yang valid," Dwikorita menjelaskan di kantor BMKG, Kamis (5/4/2018).
Ia menjelaskan informasi itu hanya digunakan untuk melakukan mitigasi bencana. Karena itu, ia meminta masyarakat arif dalam memahami informasi kegempaan dan tsunami.
"Sekali lagi masyarakat jika mendapat info, mohon dicek validasinya," Dwikorita berujar.
Deputi Bidang Geofisika BMKG Muhamad Sadly, melalui sambungan teleconference, mengungkapkan kajian potensi tsunami di Pandeglang, Banten, bukan prediksi. Penelitian itu hanya mengkaji potensi bencana.
"Karena peneliti tersebut tidak menyebutkan kapan akan terjadinya," ucap Sadly.
Ia menambahkan temuan itu perlu dikaji lebih lanjut dengan data ilmiah yang memadai. Sadly mengatakan BMKG menjalin kerja sama dengan pakar bidang gempa bumi dan tsunami beberapa lembaga. Hal itu sesuai amanat UU nomor 31 tahun 2009.
Sadly tak menampik kemungkinan terjadinya gempa besar. Dalam keterangan persnya, ia menyebut ada interplate coupling di Selat Sunda dan Palung Jawa yang mencapai 50-80 persen.
Defisit slip pada bidang suduksi ini memiliki implikasi penting untuk potensi bahaya gempabumi di selatan Jawa bagian barat. Oleh karena itu, katanya, usaha pengurangan resiko gempabumi harus dilakukan secara serius agar potensi gempa tidak akan menjadi bencana.
Di sini fokusnya bukan soal kapan gempa akan terjadi. Sadly menekankan pertanyaannya yang lebih penting adalah "apa yang harus kita perbuat".
Serupa dengan BMKG, Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian ESDM, Sri Hidayati menilai, edukasi mengenai bahaya Tsunami terhadap masyarakat lebih penting. Alasannya untuk mengurangi risiko bencana.
Sampai saat ini PVMBG belum bisa memprediksi secara akurat, kapan, dimana dan besarnya magnitudo gempa bumi yang akan terjadi. Namun hanya bisa melakukan analisis dan mengestimasi potensi bahaya gempa bumi dan tsunami berdasarkan data-data dari berbagai hasil penelitian.
"Seperti halnya dalam berita tersebut, potensi Tsunami diestimasi berdasarkan hasil pemodelan dengan berbagai skenario sumber pembangkit tsunami, termasuk dengan skenario terburuk," ujar Sri Hidayati kepada Liputan6.com.
Hasil pemodelan tersebut, jelas Sri Hidayati, masih perlu dilakukan verifikasi. Salah satunya dengan kajian paleotsunami atau mengkaji sejarah Tsunami yang pernah terjadi di wilayah Pandeglang.
Sri Hidayati menyebutkan, penelitian lebih detail soal serupa dianggap penting dengan tujuan ujung atau hilir dari semua riset untuk mengurangi risiko terburuk.
Peta Kerawanan Gempa dan Tsunami
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, pihaknya sudah memiliki peta kerawanan tsunami yang disusun bersama lembaga lain. "Tsunami sudah dilakukan BMKG, BPPT, LIPI dan IPB. Sedangkan prediksi gempa sedang dilakukan. Peta potensi sudah ada," ucap Dwikorita, Jakarta, Kamis (5/4/2018).
Senada, Kepala Pusat Seismologi Teknik Geofisika Potensial dan Tanda Waktu BMKG Jaya Murjaya mengungkapkan, sejak 2001, pihaknya bersama tim sudah membuat peta potensi kerawanan tsunami tersebut.
"Di mana saja, yaitu di sepanjang Barat Sumatera, Pantai Selatan Jawa, Selatan Nusa Tenggara, di Utara Nusa Tenggara, pantai Utara Papua. Kemudian Pantai Timur Manado Barat dan Maluku. Pantai utara Sulawesi, Toli-Toli, kemudian bagian barat Pantai Sulawesi. Di Mamuju, kemudian di pulau-pulau kecil Ambon," jelas Jaya.
Dia menuturkan, sampai saat ini sesuai. "Terus dilakukan evaluasi untuk memprediksi terjadinya tsunami," ia menjelaskan.
"Sampai saat ini sesuai," kata Jaya.
Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Sutopo W Purbo, pun angkat bicara.
"Masyarakat dihimbau tidak panik. Tidak perlu menyikapi dengan berlebihan," tulis Sutopo dalam @Sutopo_PN yang dikutip Liputan6.com di Jakarta, Rabu (4/4/2018).
Dia menegaskan, hingga kini belum ada ilmu pengetahuan yang mampu memprediksi gempa secara pasti. Baik besarannya, lokasi, maupun waktu peristiwa.
"Dalam sejarah terbentuknya Kepulauan Indonesia gempa dan tsunami pernah terjadi karena bergeraknya lempeng tektonik. Wilayah Indonesia memang rawan gempa," tulis dia.
Mitigasi struktural dan nonstruktural perlu ditingkatkan. Secara alamiah Indonesia memang rawan gempa dan tsunami. Untuk itu mitigasi dan kesiapsiagaan masyarakat harus diperkuat.
"Sosialisasi, penataan ruang, mitigasi, gladi, pendidikan kebencanaan perlu ditingkatkan. Yang penting kita harus siap. Jika tidak terjadi tsunami tidak masalah tetapi semuanya siap mengantisipasi," terang Sutopo.
Advertisement