Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengaku cemas dengan wacana penggunaan data intelijen sebagai bagian alat bukti dalam penegakan hukum di Tanah Air. Bahkan ia sudah menyampaikan kepada Istana agar tidak memasukkan unsur intelijen ke dalam penegakan hukum.
Ini disampaikannya dalam diskusi bertajuk Evaluasi 20 Tahun Revormasi di Hotel Harris Suites FX Sudirman, Jalan Jend Sudirman, Pintu Satu Senayan, Jakarta Pusat, Minggu (20/5).
Baca Juga
"Sudah saya katakan kemarin kepada pejabat di Istana Presiden saat buka puasa, kalau kalian memasukkan unsur intelijen ke dalam penegakan hukum, sebentar lagi kita akan menghadapi bencana besar," ungkap Fahri Hamzah.
Advertisement
Mantan Wakil Ketua Komisi III DPR ini menegaskan, dalam sistem demokrasi, intelijen dan penegakan hukum tidak boleh dicampur. Dalam UU Intelijen juga sudah mengatur bahwa fakta dan data intelijen tidak boleh dijadikan alat bukti hukum.
"Tapi sekarang ini ada keinginan supaya penegakan hukum itu menggunakan intelijen. Itu yang berkembang di KPK," ujar pria kelahiran Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini.
Senada dengan Fahri Hamzah, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mengatakan data intelijen tidak boleh digunakan sebagai barang bukti dalam penegakan hukum.
"Hasil intelijen itu kan belum bisa menjadi bukti hukum. Hanya awal saja untuk masuk ke bukti itu, tapi tidak bisa dijadikan bukti hukum," ujar dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Kekhawatiran
Syamsuddin khawatir jika data intelijen digunakan dalam penegakan hukum, maka bisa mendiskreditkan kelompok tertentu. Tidak tertutup kemungkinan juga akan dimanfaatkan kelompok besar demi kepentingan politik.
"Malah secara politis bisa disalahgunakan untuk memojokkan suatu kelompok dalam suatu kekuatan yang tidak kita sukai," kata Haris.
Reporter: Titin Supriatin
Sumber : Merdeka.com
Advertisement