Hidayat Nur Wahid Persilakan yang Tidak Puas UU Terorisme Uji Materi ke MK

Menurut Hidayat Nur Wahid, tidak menutup kemungkinan Undang-Undang Terorisme yang baru disahkan, terdapat perubahan atau spesifkasi penjelasan tafsir.

oleh Liputan6.com diperbarui 26 Mei 2018, 20:30 WIB
Diterbitkan 26 Mei 2018, 20:30 WIB
Hidayat Nur Wahid
Hidayat Nur Wahid saat memberikan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI di Kota Bandung, Jawa Barat, Minggu (4/12/2018)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mempersilakan siapa pun yang tidak puas untuk mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Menurut Hidayat, tidak menutup kemungkinan Undang-Undang Terorisme yang baru disahkan Jumat, 25 Mei 2018, terdapat perubahan atau spesifkasi penjelasan tafsir.

"Kalau kemudian masyarakat bilang ada yang kurang, masyarakat boleh mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk ditambahkan atau kemudian Anda menambahkan lagi ke DPR untuk memasukan ketentuan-ketentuan baru yang diinginkan masyarakat," ujar Hidayat di kediamannya, Jakarta Selatan, Sabtu (26/5/2018).

Disinggung perihal definisi paham radikalisme yang belum spesifik dijelaskan dalam undang-undang, Hidayat menyerahkan persoalan itu kepada pemerintah.

Ketua Dewan Syuro PKS itu mengatakan, sejatinya pemerintah sudah mengajukan definisi tersebut dan dimasukkan sebagai undang-undang, agar tidak ada lagi tarik ulur perihal paham radikalisme yang bermuara terhadap tindak pidana terorisme.

"Boleh juga tanya ke pemerintah karena undang-undang ini kan inisiatif pemerintah, kenapa pemerintah enggak ajukan definisi itu," ujarnya.

UU Terorisme disahkan oleh DPR pada Jumat, 25 Mei 201. Sejumlah perubahan dilakukan pada pengesahan itu seperti tertuang pada Pasal 1 angka 1 yang berbunyi:

"Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan".

 

Muncul Kritik

Mangkrak 2 Tahun, Rapat RUU Antitorisme Kembali Digelar
Suasana rapat pembahasan RUU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Jakarta, Rabu (23/5). Revisi UU yang sempat mangkrak selama dua tahun ini ditargetkan kelar pada Jumat, (25/5/2018). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Awalnya, pasal ini hanya berbunyi, "tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini".

Pengesahan UU Terorisme tidak serta merta mulus tanpa kritik. Sekretaris Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM, Julius Ibrani menilai, masih ada poin yang menjadi sorotan dalam pelaksanaan undang-undang tersebut seperti pelibatan TNI.

Menurutnya, pelibatan TNI bisa menggeser kebijakan penanganan terorisme menjadi eksesif, serta keluar dari koridor penegakan hukum (criminal justice system).

Untuk itu, pemerintah perlu hati-hati dan cermat dalam merumuskan tentang pelibatan TNI dalam perpres sebanantinya.

"Pelibatan TNI dalam penanganan terorisme yang akan diatur dalam Perpres harus berdasarkan Keputusan Presiden. TNI tidak boleh dilibatkan tanpa keputusan Presiden dalam mengatasi terorisme," ujar Julius.

Reporter: Yunita Amalia

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya