Melihat Upacara Cioko Umat Buddha, Mengantarkan Leluhur dengan Doa dan Dana

Bukan hanya jadi sarana ibadah, tapi Upacara Perayaan Ulambana atau Cioko ini menjadi pagelaran budaya yang penuh kearifan lokal.

oleh Pramita Tristiawati diperbarui 06 Sep 2018, 08:01 WIB
Diterbitkan 06 Sep 2018, 08:01 WIB
Sejumlah Umat Buddha bersiap akan membakar perahu kertas dalam rangkaian Upacara Cioko di Klenteng Boen San Bio, Pasar Baru, Kota Tangerang, Rabu (5/9/2018).
Bukan hanya jadi sarana ibadah, tapi Upacara Perayaan Ulambana atau Cioko ini menjadi pargelaran budaya yang penuh akan kearifan lokal.
Kain putih yang diumpamakan sebagai jembatan jadi bagian dari upacara Cioko di Klenteng Boen San Bio, Pasar Baru, Kota Tangerang, Rabu (5/9/2018).
Bukan hanya jadi sarana ibadah, tapi Upacara Perayaan Ulambana atau Cioko ini menjadi pargelaran budaya yang penuh akan kearifan lokal.

Liputan6.com, Tangerang - Pujian, doa dan harapan untuk leluhur yang sudah berada di alam baka mengiringi pembakaran patung Raja Setan dan perahu pembawa arwah, di Klenteng Boen San Bio, Pasar Baru, Kota Tangerang. Bukan hanya jadi sarana ibadah umat Buddha, tapi Upacara Perayaan Ulambana atau Cioko ini menjadi pargelara budaya yang penuh akan kearifan lokal.

Abu dari kertas dan kerangka bambu miniatur perahu berterbangan di langit Boen San Bio, juga dengan berbagai 'dana' seperti kertas dan koin menyerupai uang tunai, ikut terbakar di dalamnya. Ratusan bibir umat Buddha tampak sibuk, tak putus, tak henti-hentinya melafalkan doa.

"Doa kebaikan untuk para leluhur yang sudah mendahului kami, semoga mereka sudah berada di tempat yang layak, amin," lirih Deviana, salah seorang umat yang khusu berdoa dihadapan perahu kertas yang dibakar.

Deviana hanya satu dari ratusan umat Buddha yang serius mengikuti upacara tahunan ini. Gadis berambut panjang khas pecinan Tangerang itu, datang dengan seorang teman yang diajaknya untuk ikut ibadah.

Dia mengawali sembayangnya dengan mengunjungi altar Tuhan. Kemudian 9 altar dewa, yang setiap altarnya tidak henti-hentinya dia panjatkan doa kebaikan.

Dia mengambil dupa atau hio yang diselipkan di dalam kertas bertuliskan nama-nama leluhur yang sudah tiada. Kemudian ikut berdoa bersama 9 biksu, di hadapannya ada bentangan kain putih yang diibaratkan jembatan untuk dilalui para roh leluhur.

"Saat tangan kita memposisikan hio seolah jalan di jembatan itu, kita terus berdoa kebaikan untuk leluhur kita,"kata Deviana.

Di ujung bentangan kain yang di bawahnya menyala hio-hio dan sajian hasil bumi, ada seorang biksu yang terus melafalkan doa dan membunyikan lonceng. Para umat harus melalui biksu tersebut yang menandakan selesai berdoa.

Kemudian, kertas berisi hio itu dibawa ke miniatur perahu yang sudah berisi banyak sekali kertas-kertas menyerupai uang tunai. Lalu oleh Deviana diselipkan kertas bertuluskan nama-nama leluhurnya di antara tumpukan kertas lain.

Sebelum diletakan, lagi-lagi dia berdoa. "Terakhir, semoga engkong, cici, dan nenek tenang di alam sana," pintanya.

Selang 15 menit kemudian, umat Buddha lain sudah bersiap untuk membakar perahu dan raja setan setinggi 9 meter lebih itu. Dengan lilin menyala di kedua tangannya, mereka beramai-ramai membakar perahu dan patung raja setan hingga 'wusss!!' Api menyala besar menghanguskan kedua sesembahan itu.

Semua bersorak sorai. Bahkan orang yang lalu lalang di depan Vihara berhenti sejenak, menyaksikan pembakaran tersebut. Kru Pemadam Kebakaran langsung mengaktifkan selang air, menyiramkannya ke gedung klenteng, agar api tidak menyambar.

Terakhir, penampilan kesenian barongsai dan liong menutup upacara tahunan itu. Semua umat bersyukur, meski waktu menunjukan pukul 21.00 wib, ternyata masih banyak umat Buddha yang berdatangan untuk ibadah di klenteng tertua di Tangerang itu.

Untuk Leluhur yang Jasadnya Tidak Terurus

Upacara Coiko ini sebenarnya dikhususkan bagi mereka yang memiliki leluhur yang sudah meninggal dunia, terlebih dulu tidak sempat mengurusnya dengan benar sesuai ajaran agama Buddha.

"Misalnya meninggal di udara atau laut, kemudian jasadnya tidak ditemukan. Atau saat meninggal dulu, belum sempat mengantarkannya dengan dana yang memadai, jadi tiap tahun kami tampung di sini," tutur Niman, Ketua Pelaksana kegiatan.

Maka tak heran rangkaian ibadahnya pun begitu panjang, seperti mengantarkan keluarga ke peristirahatan terakhir. Bahkan sajian yang dipersembahkan untuk keluarga yang sudah meninggal itu, diperbolehkan diambil oleh warga yang ikut menonton.

Tiap kali digelar dibulan September, ratusan keluarga umat Buddha akan memadati klenteng. Berbagai sajian akan dibawa, seperti beras dan minyak. Keluarga akan mempersembahkannya dengan nama leluhur yang sudah meninggal.

"Kemudian oleh kami akan disalurkan kepada yang membutuhkan, dalam bentuk bakti sosial," ujar Niman. 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya