Liputan6.com, Jakarta - Kala musim hujan tiba, warga di bantaran Sungai Ciliwung, Jakarta hampir pasti kedatangan tamu tak diundang. Mereka bersiap menerima kiriman air dari Bogor, Jawa Barat, yang menggenangi pemukiman tanpa kenal waktu. Banjir seakan takdir.
Mirisnya, air bah juga membawa sampah, kayu, bambu dan segala macam limbah yang dibuang manusia ke dalam Ciliwung. Dari bungkus deterjen hingga kasur dan lemari butut.
Kondisi Sungai Ciliwung pada musim kemarau tak kalah memprihatinkan. Air berwarna kehitaman dan mengeluarkan aroma anyir. Sampah-sampah menumpuk di sisi kali.
Advertisement
Saat melawat Sungai Cheonggyecheon di sela-sela kunjungannya ke Korea Selatan, sebuah mimpi terbesit di benak Presiden Jokowi, seandainya Sungai Ciliwung sebersih dan seindah aliran air yang membelah Kota Seoul itu.
Cheonggyecheon yang mengalir sepanjang 8,4 kilometer jauh dari gambaran sungai ada di pikiran sebagian besar rakyat Indonesia, terutama kaum urban yang hidup di perkotaan. Airnya bening, tak ada sampah, tidak ada bau anyir menguar, bisa digunakan untuk merendam kaki yang lelah, pedestrian yang lebar ada di sisi kanan dan kirinya. Singkat kata, kali itu bukan tempat sampah dan pembuangan limbah. Tak difungsikan jadi kakus untuk buang hajat.
Cheonggyecheon bahkan menjelma menjadi destinasi wisata, keberadaannya membuat kota Seoul yang metropolis jauh dari kesan garang dan brutal. Namun, bisakah Ciliwung berubah jadi manusiawi?
Menurut Pengamat Perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, bukan hal mustahil impian Jokowi itu terwujud. Namun ada sejumlah persiapan agar rencana itu berjalan mulus.
"Sebetulnya bisa dilakukan. Tapi bagaimana membuat sistem filter yang bagus dan juga bagaimana penataan itu mulai dilakukan," kata Yayat saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (12/9/2018).
Dia menjelaskan, sungai bersih berhasil diterapkan di kawasan Epicentrum, Kuningan, Jakarta Selatan. Air di sungai tersebut terlihat jernih. Yayat menyarankan hendaknya rencana itu dapat diwujudkan dalam bentang tertentu.
"Cari bentang Ciliwung di kawasan tertentu. Misalnya di sekitar Manggarai, Kanal Banjir Timur (KBT), kawasan Kampung Pulo. Atau tak harus di sungainya, di anak sungai juga enggak apa-apa. Seperti Pesanggrahan yang airnya masih bening," ujar dia.
Agar rencana itu dapat berjalan, pemerintah juga harus memikirkan waduk atau tanggul pengatur air sebagai pengontrol. Sebab itu menjadi komponen terpenting dalam keselamatan warga.
"Iya, kalau misalnya Ciliwung lagi ngamuk, bisa hilang semua itu orang. Bagaimana mekanisme kontrol air bisa dilakukan," ucap Yayat.
Namun masalah terpenting saat ini budaya masyarakat dalam menghargai sumber daya alam masih rendah. Sungai dianggapnya sebagai public goods yang dapat diperlakukan sesuka hati.
"Orang buang sampah di sungai karena dianggap sungai dapat mendaur ulang. Itu cara pandang public goods. Cara pandang kuno," jelas dia.
Sedangkan cara pandang berbeda ditunjukkan masyarakat Korea Selatan. Mereka menganggap sungai sebagai sumber daya dan dapat menjadi sarana untuk menurunkan stres.
"Kita bagaimana membuat sungai itu bisa menurunkan stres, liat sungainya aja sudah stres. Dan bagaimana bisa membangun kota kalau masyarakatnya juga stres," ujar Yayat.
Untuk itu, ia menegaskan mindset masyarakat Indonesia harus diubah dengan budaya berkota. Dari sini, akan muncul kesadaran membangun kehidupan berkota.
"Apa itu kehidupan berkota? Yaitu kehidupan yang ada aturan, kehidupan yang peduli dengan sungai, peduli dengan sesama, dan peduli kotanya," terang Yayat.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Isnawa Adji menungkapkan, pihaknya telah mengerahkan 4.215 pasukan oranye dari Unit Pengelola Kebersihan (UPK) Badan Air di semua titik sungai, waduk, situ, dan kali. Mereka membersihkan sampah selama delapan jam setiap harinya.
"Dalam 3,5 tahun terakhir dinas kebersihan (saat ini menjadi dinas LH) bisa memberikan gambaran upaya mengubah kali, waduk, danau. Namun seperti yang diinginkan Pak Jokowi, Jakarta masih memiliki pekerjaan rumah besar terkait kualitas baku mutu airnya," ucap Adji saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (12/9/2018).
Selain itu, lanjut dia, harus ada pembenahan dari sisi hulunya. Pemerintah pusat dapat melakukannya secara simultan dengan program DKI Jakarta.
Saat ini, Dinas LH baru membersihkan sampah di permukaan air. Perlu kerja keras semua SKPD terkait dan dukungan masyarakat serta pelaku usaha untuk tidak membuang sampah ke kali ataupun sungai.
"Tidak buang limbah dan deterjen serta apa pun yang berpotensi mencemari sungai. Pelaku usaha harus membangun water treatment-nya," terang Adji.
Jika langkah itu diterapkan pemerintah, harapan Jokowi agar sungai Ciliwung sebening Cheonggyecheon akan terwujud.
"Tidak hanya bebas sampah, tapi kualitas airnya memenuhi baku mutu. Tidak bau, tidak keruh, dan tidak ada bakteri e-coli, timbal, mercury dan lain-lain," kata dia.
Saksikan video menarik berikut ini:
Cheonggyecheon Dulu Juga Kumuh
Dalam kunjungan kenegaraan ke Korea Selatan, Presiden Jokowi sempat diajak blusukan ke Sungai Cheonggyecheon. Melihat kejernihan sungai, Jokowi bermimpi Ciliwung yang membelah Kota Jakarta bisa sebersih itu.
"Ini sebuah sungai di kota yang bersih sekali, Sungai Cheongyechoen, sebuah inspirasi bagus. Kalau di Jakarta ada Ciliwung jadi bersih seperti ini, wooo...dan itu bisa," kata Jokowi usai menyusuri Sungai Cheongyecheon di Seoul, Korea Selatan, Selasa 11 September 2018.
Jokowi mengungkapkan, Sungai Cheongyechong pada 2003 kondisinya kurang lebih sama dengan Sungai Ciliwung. Namun kondisinya berubah drastis setelah direvitalisasi dalam waktu tak lama.
Sungai dengan panjang 8,4 kilometer dan lebar 5,8 km yang membelah ibukota Korea Selatan dalam kondisi jernih. Tontonan ini bisa menjadi tuntunan agar Indonesia bisa mengubah sungai di Jakarta menjadi lebih baik.
"Kalau kita mau, bisa," tegas Jokowi.
Sebagai warga kehormatan sejak 2017, Jokowi mengaku diberi keistimewaan dari pemerintahan Korsel. Di antaranya ia bisa meminta ilmu tentang cara membuat sungai sebersih Cheonggyecheon.
"Saya minta resepnya bangun Sungai Cheonggyecheon ini ke Mayor Park (Won-soon)," ucap Jokowi yang didampingi Wali Kota Seoul Park Won-soon ini.
Atas permintaan itu, Park Wo-soon mengaku siap membantu permasalahan sungai di Jakarta.
"Jakarta dan Seoul adalah sister city, apa pun yang Bapak perlukan, kami siap karena Bapak warga kehormatan Seoul," ucap Park Wo-soon.
Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan siap mewujudkan keinginan Presiden Jokowi menjadikan Sungai Ciliwung mirip Sungai Cheonggyecheon di Seoul, Korea Selatan. Anies akan segera membereskan masalah lingkungan di Sungai Ciliwung.
"(Sungai Ciliwung) kita harus bereskan," kata Anies di Balai Kota, Jakarta Pusat, Rabu 13 September 2018.
Anies menjelaskan, selama tiga tahun terakhir sungai di Jakarta mengalami pencemaran berat sekitar 61 persen. Sungai yang tercemar ringan dari 23 persen turun menjadi 12 persen. Sungai yang tercemar sedang turun dari 44 persen tahun 2014 menjadi 17 persen di tahun 2017.
"Jadi yang tercemar sedang dan tercemar ringan itu turun, tercemar berat dari 32 persen menjadi 61 persen. Jadi, yang sedang dan ringan itu menjadi berat, bukan turun lalu hilang," jelas Anies.
Dia mengatakan, saat ini Pemprov DKI tengah menyusun dan menyiapkan solusi guna mengatasi permasalahan Sungai Ciliwung. Anies ingin membuat sungai tak hanya terlihat indah, tapi juga mengurangi pencemaran sungai di Jakarta.
"Jadi PR-nya itu, karena itu yang akan kita lakukan, adalah membangun sungai, sehingga menjadi ekosistem yang alamiah lagi," kata Anies.
Jika menjadi alamiah, lanjut dia, sungai itu bisa dihuni satwa-satwa. Dan ini menjadi indikasi paling sederhana tentang sungai yang bersih.
"Kalau satwa bisa berada di sungai, artinya sungai itu sehat, bersih. Nah, itulah yang disebut sebagai sungai yang alamiah, sungai-sungai natural. Kita akan dorong ke sana," ungkap Anies Baswedan.
Sementara itu, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil juga merencanakan program Jawa Barat yang inovatif. Dalam akun Instagramnya, Ridwan menyebut Kali Malang, Bekasi yang dinilai kumuh dan kotor itu akan disulap menjadi sungai bersih dan indah seperti sungai Cheyonggyecheon di Seoul, Korea Selatan.
"Warga Kota Bekasi tercinta, minggu depan sudah dimulai desaindan perencanaan revitalisasi Kali Malang. Semoga bisa sekeren sungai Cheyonggyecheon di Seoul, Korea Selatan," tulis Kang Emil sapaan Ridwan Kamil di akun @ridwankamil Rabu (12/9).
Unggahan tersebut telah disukai ratusan ribu followernya dengan ratusan ribu komentar dukungan rencana revitalisasi Kali Makang tersebut.
"Tah nu kie Gubernur mah, langsung cepat tanggap. Resep aing mah da," tulis @dhens347.
Selain Kali Malang, sungai Citarum pun kabarnya akan dikebut dalam waktu dekat. Karena Citarum merupakan salah satu program prioritas.
"Citarum prioritas no 1, Minggu ini sudah mulai dikebut," tulis @ridwankamil.
Advertisement
Kiprah Sang Buldoser
Sejarah Sungai Cheonggyecheon bermula sejak Korea dipimpin raja-raja. Pada masa Dinasti Joseon, kali tersebut disebut Gaecheon. Aliran air berasal dari pegunungan yang mengelilingi Seoul.
Pascaperang Korea, sekitar tahun 1950-1953, sungai yang memiliki panjang sekitar enam kilometer itu menjadi simbol kemiskinan yang terkenal kumuh. Banyak warga yang datang ke Seoul untuk mengadu nasib di kota tersebut.
Sejak itu, satu per satu masalah bermunculan. Warga mulai menjadikan bantaran sungai sebagai tempat bermukim. Segala aktivitas terkait dengan mandi, cuci, dan kakus dilakukan di sana. Sungai itu semakin tak sedap dilihat ketika masyarakat membuang sampah di Sungai Cheonggyecheon.
Seperti dikutip dari www.korea.net, keberadaan Cheonggyecheon yang kumuh dianggap noda yang mencoreng wajah Korsel. Kala itu, satu-satunya cara untuk mengatasinya adalah dengan cara menutupinya rapat-rapat.
Proyek konstruksipun dimulai sejak 1958 dan pada 1970 Cheonggyecheon disembunyikan di bawah jembatan layang selebar 16 meter. Pada 1990-an, daerah itu menjadi sarang kebisingan, asap knalpot mobil dan kemacetan lalu lintas. Area di mana sungai itu berada menjadi pertemuan distrik perbelanjaan besar dan kecil.
Namun begitu, kenangan tentang Sungai Cheonggyecheon kembali mencuat pada 2003. Lee Myung-bak, yang kala itu menjabat Wali Kota Seoul ingin kembali melahirkan bentuk baru sungai Cheonggyecheon.
Ia mengeluarkan kebijakan untuk membongkar jalan layang yang sebelumnya menutupi Sungai Cheonggyecheon. Sebuah langkah yang terbilang berani dan ditentang banyak pihak karena dianggap membuat gaduh.
Proyek revitalisasi pun berlangsung. Pengerukan dan pendalaman sungai dilakukan agar air dapat mengalir dengan normal. Sevanyak 120 ribu ton air dipompa dari sungai Han ke sungai Cheonggyecheon. Jembatan layang yang ada di atasnya pun dibongkar habis.
"Banyak insinyur yang ahli soal transportasi memperingatkan, pembongkaran jalan layang bisa jadi bencana untuk lalu lintas kota (Seoul). Sejumlah pihak, yang khawatir proyek tersebut akan memangkas pendapatan mereka, juga tak sepakat dengan visi baru itu," kata Kim Young-min, asisten profesorDepartmen Arsitektur Lanskap, University of Seoul seperti dikutip dari The Guardian.
Namun, bencana yang dibayangkan mereka yang kontra tak terbukti. Memang, kendaraan pribadi kian sulit melaju di jalanan ibu kota. Namun, lebih banyak orang kini memilih untuk naik transportasi umum atau berjalan kaki di Seoul yang nyaris tanpa polusi.
Setelah dikerjakan selama sekitar dua tahun, proyek revitalisasi itu akhirnya rampung pada 2005. Menurut data Asian Development Bank, proyek ini menelan dana USD 380 juta, setara dengan USD 520 juta saat ini, atau Rp 7,74 triliun (USD 1 = Rp 14.886).
Kini sungai itu memiliki tampilan wajah baru. Kali yang tadinya tak sedap dipandang mata, tampil anggun yang selalu memikat hati pengunjungnya.
Mereka dapat menikmati keindahan sungai dengan menyusuri di sisi kanan dan kiri sambil berjalan kaki. Para pengunjung juga merasakan kesejukan udara serta mendengarkan aliran air yang jernih.
Selain itu, sebanyak 22 jembatan juga dibangun melintasi sungai kecil ini. Dua jembatan paling terkenal adalah Narae Bridge, mewakili kupu-kupu dalam penerbangan, dan Gwanggyo Bridge, melambangkan keharmonisan antara masa lalu dan masa depan.
Keberadaan jembatan-jembatan itu menambah nilai artistik kota Seoul.
Tak kalah menawan, pada malam hari, suasana semakin terlihat indah pada aliran sungai yang dihiasi lampu-lampu. Banyak warga Korea terutama warga Seoul datang ke tempat ini untuk beristirahat sejenak. Mereka menikmati pemandangan sungai Cheonggyecheon, baik malam maupun siang hari tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun alias gratis.
Ini proyek hasil nyata keseriusan pemerintah Korea untuk mengubah image kotanya lebih baik. Langkah itu harus diiringi kerja sama warga dengan menjaga nilai budaya, sejarah serta kenyamanan tempat tinggalnya.
"Ketika ekonomi Korea mencoba untuk bangkit kembali setelah perang, memiliki taman adalah sebuah kemewahan," kata Lee Myung-bak seperti dikutip dari TIME.
"Tapi sekarang kami mencoba untuk mencapai keseimbangan antara fungsi dan lingkungan, dan kami mencoba untuk menempatkan lingkungan sebagai prioritas."
Dari wali kota, pria berjuluk Bulldozer itu menjadi presiden Korea Selatan.