Liputan6.com, Jakarta - Guncangan gempa dan terjangan tsunami Palu yang begitu dahsyat masih membekas di pikiran Hilda. Hingga saat ini, ibu dua anak itu tidak bisa tidur di malam hari karena trauma berat dengan peristiwa yang dialaminya.
Ketika gempa magnitudo 7,4 mengguncang Palu, Jumat, 28 September lalu, Hilda bersama anak perempuannya yang masih berusia 2 tahun tengah di pinggir pantai.
Baca Juga
Dia dibantu tiga orang karyawan tengah mempersiapkan barang dagangan, berupa sepatu, sandal, dan beberapa barang lainnya yang akan dijual saat berlangsungnya Festival Pesona Palu Nomoni.
Advertisement
Semua sudah siap, barang dagangan, anak-anak yang akan menari, dan juga para pengunjung sudah berkumpul di pantai memeriahkan Palu Nomoni.
Namun, ketika memasang lampu di lapaknya, tiba-tiba Bumi berguncang hebat. Tak lama air laut pun naik.
Seketika itu juga, suasana di pinggir Pantai Talise, yang awalnya penuh semangat dan keriangan, berubah menjadi mencekam. Orang-orang menjerit, berlarian bagai semut menjauh dari pantai.
"Tsunami, tsunami," terdengar jeritan warga sambil berlari meninggalkan pantai.
Hilda sendiri sempat terjatuh. Anaknya diselamatkan oleh karyawannya.
Dalam kondisi panik dan tanah yang terus berguncang, tiba-tiba terdengar deru gelombang air yang lebih besar. Hilda sempat menengok dan melihat gulungan ombak mengejar di belakangnya.
Di tengah kekalutan dan belum menyadari sepenuhnya apa yang terjadi, tiba-tiba tanah yang diinjak Hilda dan warga lainnya retak dan ambles di sana-sini.
"Guncangannya sangat keras. Tanah ambles, enggak jelas tempatnya, tiba-tiba di depan, di samping, jadi harus lompat ke sana ke mari menghindari tanah yang ambles," ujar Zainal, suami Hilda, kepada Liputan6.com yang menghubunginya lewat sambungan telepon, Selasa (2/10/2018).
Hilda sempat terjatuh dan hampir pingsan, tapi berhasil diseret oleh karyawannya hingga bangkit lagi dan terus berlari dalam keadaan setengah sadar.
Di pikirannya masih jelas terbayang, belasan anak-anak TK Palu yang hendak menari tersapu air laut. Teman-temannya yang masih berpegangan di pohon ditarik tsunami. "Istri saya berlari sampai kira-kira 8 kilometer dari pantai ke dekat rumah kami," tutur Zainal.
Â
Rumah Ambles Ditelan Bumi
Hilda bertemu dengan suaminya di dekat rumah mereka, kawasan Balaroa. Suami istri itu bersama dua anak mereka, dengan badan penuh luka-luka, menyaksikan rumah mereka yang tiba-tiba ambles ditelan bumi di Perumnas Balaroa, Palu Barat, Sulawesi Tengah.
"Rumah sudah enggak ada, tertimbun, tidak ada yang tersisa satu pun," ujar Zainal menahan pilu.
Dia mengaku saat kejadian, sedang tidak bersama istrinya. Dia bersama anak sulungnya tengah berada di kantornya. Ketika gempa mengguncang, Zainal langsung teringat sang istri dan berlari bersama anaknya menuju rumah mereka.
"Enggak sengaja bertemu istri dan anak di dekat rumah kami, dan melihat rumah kami tertimbun masuk ke dalam tanah," ucapnya.
"Kondisi saat ini bisa dinyatakan hampir 100 persen rumah rata dengan tanah, banyak korban meninggal," kata Zainal.
Dia berencana membawa istri dan anaknya ke Makassar, Sulawesi Selatan, sementara Zainal akan tinggal di Palu untuk mencari keluarganya yang masih hilang dan membantu menyelamatkan korban lainnya.
Akibat bencana gempa dan tsunami juga tanah ambles, lima orang keluarganya meninggal dan tujuh orang masih hilang.
Zainal dan Hilda bersama keluarga besar mereka sekarang tinggal di tenda darurat seadanya, yang dibangun di tanah perkebunan milik warga di Kelurahan Duyu.
Total ada 21 orang anggota keluarganya tinggal di tenda tersebut, berdampingan dengan tenda-tenda warga lainnya.
Sampai saat ini lampu masih mati di tempat pengungsian itu, bantuan juga belum ada. Zainal mengaku mendapat bantuan selimut untuk anaknya dari pengungsi lain.
Â
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement