PGI Protes Sekolah Minggu Masuk dalam RUU Pendidikan Keagamaan

PGI juga mengkritik adanya batas minimal peserta sekolah minggu dan perizinan untuk sekolah minggu.

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Okt 2018, 18:48 WIB
Diterbitkan 28 Okt 2018, 18:48 WIB
sidang paripurna
Rapat paripurna DPR masa persidangan IV tahun sidang 2016-2017, Rabu (15/3/2017). (Liputan6.com/Taufiqurrohman)

Liputan6.com, Jakarta - Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) keberatan dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang baru saja disahkan masuk dalam UU Prioritas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mereka mengkritisi pasal yang mengatur tentang sekolah minggu dan katekisasi yang terdapat pada Pasal 69 dan Pasal 70.

"Nampaknya RUU ini tidak memahami konsep pendidikan keagamaan Kristen di mana ada pendidikan formal melalui sekolah-sekolah yang didirikan oleh gereja-gereja dan ada pendidikan nonformal melalui kegiatan pelayanan di gereja," kata Sekretaris Umum PGI Gomar Gultom dalam keterangan tertulisnya, Minggu (28/10/2018).

Dia juga mengkritik adanya batas minimal peserta sekolah minggu dan perizinan untuk sekolah minggu. Kata dia, sekolah minggu tidak bisa disamakan dengan pesantren.

"Sejatinya, Pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi merupakan bagian hakiki dari peribadahan gereja, yang tidak dapat dibatasi oleh jumlah peserta, serta mestinya tidak membutuhkan izin karena merupakan bentuk peribadahan," ujar Gomar.

Menurut dia, sekolah minggu bukanlah pendidikan formal, melainkan pelayanan dari gereja untuk para jemaat muda.

"Pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi, yang juga hendak diatur dalam RUU ini pada Pasal 69-70, sesungguhnya adalah proses interaksi edukatif yang dilakukan gereja-gereja di Indonesia dan merupakan pendidikan nonformal dan masuk dalam kategori pelayanan ibadah bagi anak-anak dan remaja," ungkap Gomar.

PGI, lanjut dia, pada dasarnya sepakat dengan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan sepanjang RUU itu tidak mengatur pengajaran nonformal di gereja. Sebab kata dia, jika hal ini dibiarkan akan dikhawatirkan beralih pada model intervensi negara pada agama.

"PGI mendukung Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini menjadi undang-undang sejauh hanya mengatur kepentingan pendidikan formal dan tidak memasukkan pengaturan model pelayanan pendidikan nonformal gereja-gereja di Indonesia," tegas Gomar.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Belum Dibahas DPR

Diketahui, dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan Pasal 69 di ayat (1), berbunyi RUU ini mengakui Sekolah Minggu, Sekolah Alkitab, Remaja Gereja, Pemuda Gereja dan Katekisasi, masuk sebagai jalur pendidikan Kristen nonformal. Namun dua ayat berikutnya (3) dan (4) menjadi pertanyaan besar dari PGI.

(3) Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam bentuk program yang memiliki peserta paling sedikit 15 (lima belas) orang peserta didik.

(4) Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal yang diselenggarakan dalam bentuk satuan pendidikan atau yang berkembang menjadi satuan pendidikan wajib mendapatkan izin dari kantor Kementerian Agama kabupaten/kota setelah memenuhi ketentuan tentang persyaratan pendirian satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).

Di lain sisi, Wakil Ketua Komisi VIII Ace Hasan Syadzily mengatakan RUU ini baru akan dibahas oleh komisinya. Dia menegaskan akan ada waktunya Komisi VIII memanggil lembaga terkait untuk menyempurkan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini.

"Nanti pada saatnya kami akan panggil pihak-pihak terkait untuk diminta masukan dalam upaya menyempurnakan RUU Pesantren dan Lembaga Pendidikan Keagamaan. Jadi misalnya masukan dari PGI menjadi bagian yang akan dibahas," kata Ace saat dihubungi, Minggu (28/10/2018).

Reporter: Sania Mashabi

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya