HEADLINE: Sampah Plastik Indonesia Juara 2 Dunia, Bagaimana Mengatasinya?

Jika sampah plastik akhirnya bermuara ke tempat pembuangan akhir atau laut, sampai kapan pun tak akan bisa terurai.

oleh RinaldoFachrur RozieIka Defianti diperbarui 28 Nov 2018, 00:08 WIB
Diterbitkan 28 Nov 2018, 00:08 WIB
Sampah plastik di laut temuan Greenpeace Indonesia. (Foto: Greenpeace Indonesia)
Sampah plastik di laut temuan Greenpeace Indonesia. (Foto: Greenpeace Indonesia)

Liputan6.com, Jakarta - Minggu sore, 18 November 2018, sekitar pukul 16.00 Wita, seekor paus sperma (Physeter macrocephalus) ditemukan warga terdampar di sekitar Pulau Kapota, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Paus sepanjang 9,5 meter dan memiliki lebar 1,85 meter itu ditemukan dalam kondisi sudah jadi bangkai.

Saat ditemukan, paus malang itu dikelilingi sampah plastik dan potongan-potongan kayu. Saat perut paus dibelah, ternyata di dalamnya juga berisi beragam sampah plastik seberat kurang lebih 6 kilogram.

Sampah-sampah dalam perut paus itu terdiri dari plastik keras 19 buah seberat 140 gram, botol plastik 4 buah 150 gram, kantong plastik 25 buah 260 gram. Ada pula sepasang sandal jepit seberat 270 gram hingga tali rafia 3,6 kilogram dan gelas-gelas plastik.

Penemuan tersebut baru terungkap pada Senin keesokan harinya, saat salah seorang warga mengunggah fotonya di salah satu akun media sosial miliknya. Sejak itu, kabar bangkai paus sperma yang menelan plastik menjadi viral dan memunculkan keprihatinan banyak pihak.

Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Greenpeace Indonesia, misalnya, mengatakan kalau kasus di Wakatobi hanyalah salah satu contoh kasus dari sejumlah peristiwa pencemaran akibat sampah plastik di lautan.

"Mungkin kita masih ingat, di tahun ini terdapat video viral seorang wisatawan mancanegara yang memperlihatkan kondisi perairan di Nusa Penida, Bali yang sudah tercemar dengan sampah-sampah plastik," ujar Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi kepada Liputan6.com, Selasa (27/11/2018).

Bahkan, kasus serupa juga terjadi tak jauh dari Ibu Kota, tepatnya pada Maret 2018 lalu.

"Ketika itu, wilayah konservasi mangrove di Muara Angke sempat tercemar karena kedatangan lebih dari 50 ton sampah yang sebagian besar merupakan sampah plastik dari lautan," jelas Atha.

Dia mengatakan, sampah plastik yang berakhir di lautan sangat berpotensi mencemari dan memberikan dampak yang serius bagi keseimbangan ekosistem di laut. Ketika semuanya sudah menggunung, tak cukup dengan daur ulang untuk bisa melenyapkannya.

"Daur ulang bukanlah jawaban utama atas permasalahan yang terjadi pada saat ini. Pengurangan (reduksi) adalah kuncinya. Semua pihak harus berperan aktif dalam mewujudkan hal itu," papar Atha.

 

Infografis Indonesia Sumbang Sampah Plastik Terbesar Kedua Sejagat. (Liputan6.com/Triyasni)

Hal ini dibenarkan Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Novrizal Tahar. Dia mengatakan, sampah plastik yang sudah sampai di laut akan selalu menjadi ancaman.

"Yang menakutkan dari sampah plastik yang masuk ke laut, dia nggak bisa terurai. Jadi, kalau sudah masuk ke perairan butuh waktu ratusan tahun (untuk terurai). Dia akan menjadi ancaman kalau nanti dimakan sama binatang laut, biota laut, oleh mikrorganisme laut," jelas Novrizal kepada Liputan6.com, Selasa (27/11/2018) malam.

Di sisi lain, lanjut dia, sampah plastik harus dikurangi agar tidak menumpuk dan mengancam biota laut. Caranya adalah dengan pembatasan penggunaan plastik atau dengan daur ulang.

"Daur ulang adalah bagaimana semua sampah plastik itu bisa jadi sumber daya. Jadi, harus diusahakan sampah plastik ini tidak boleh atau jangan masuk TPA, melainkan didaur ulang," jelas Novrizal.

Dia beralasan, jika sampah plastik akhirnya bermuara ke tempat pembuangan akhir sampah, sampai kapan pun tak akan bisa terurai.

"Makanya, bagaimana caranya meningkatkan kesadaran masyarakat. Minimal masyarakat memilah sampah. Bisa dibawa ke bank sampah atau ke tempat industri daur ulang agar tidak masuk ke perairan," ujar Novrizal.

Sementara itu, pihak Greenpeace Indonesia melihat upaya yang dilakukan pemerintah untuk menjadikan sampah plastik sebagai ancaman jangka panjang sudah berada pada koridor yang benar. Yang diperlukan saat ini adalah aksi di lapangan.

"Saya pikir pemerintah sudah melihat bahwa permasalahan ini memang menjadi ancaman yang serius, yaitu dengan menetapkan target pengurangan sampah di lautan hingga 70% sampai tahun 2025. Namun, upaya penyelesaiannya masih perlu ditingkatkan," tegas Atha.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Kampanye Hulu hingga Hilir

Ketika Menteri Susi Ajak Perang Melawan Sampah Plastik
Menteri KKP Susi Pudjiastuti membawa mangkuk kertas dan sendok plastik saat memberikan sambutan acara Family Day AGP di Pasar Akhir Pekan SCBD, Jakarta, Minggu (25/11). Susi mengajak masyarakat untuk perang melawan plastik. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti betul-betul geram dengan kabar tewasnya seekor paus sperma di perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara yang diduga akibat menelan sampah plastik. Padahal, sejumlah kampanye penggunaan material berbahan plastik sudah dia mulai.

Misalnya, Susi telah memberlakukan aturan tegas di kantornya soal penggunaan benda-benda yang terbuat dari plastik. Bahkan, ia telah menerapkan denda sebesar Rp 500 ribu bagi semua pegawainya yang membawa air mineral dalam botol plastik.

"Di KKP sudah ada (sanksi), bawa mineral water ke KKP denda Rp 500 ribu," ujar Susi di kawasan GBK, Senayan, Jakarta, Minggu 25 November 2018.

Menurut Susi, hal tersebut merupakan contoh sederhana guna mengurangi sampah plastik dalan jumlah yang signifikan. Apalagi Indonesia memproduksi sampah plastik sebanyak 175 ribu ton setiap harinya.

"Tahun 2030 kalau tidak dikurangi, sampah akan lebih banyak daripada ikan di laut kita. Mau kita makan sampah? Karena itu, sudah ada rencana aksi nasional penanganan sampah plastik di laut. Sebagai pribadi, sebagai menteri, kita semua, harus buat ini sebagai program nasional," ujar Susi.

Pemerintah memang sudah menyiapkan sejumlah regulasi untuk mengatur pembatasan sampah plastik ini. Misalnya, Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan Strategis Nasional yang kemudian diturunkan menjadi Kebijakan Strategis Daerah (Jakstrada).

"Jadi, sekarang ini hampir semua daerah sudah memiliki Jakstrada dalam pengolaan sampah. Regulasi lain, juga sudah ada Perpres Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut, yang berisi tentang rencana aksi pengurangan sampah plastik laut," jelas Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Novrizal Tahar.

Selain itu, lanjut dia, pemerintah juga berusaha mengelola sampah mulai dari hulu sampai hilir. Di bagian hulu, produsen diajak bicara tentang keamanan produknya, sementara di hilir atau konsumen, pemerintah mendorong untuk memilih produk yang ramah lingkungan.

"Kita mulai membangun gerakan gaya hidup yang ramah lingkungan. Bawa kantong belanja sendiri, membawa tumbler sendiri, tidak memakai sedotan plastik, atau mengurangi penggunaan styrofoam," ujar Novrizal.

Langkah tersebut sepaham dengan harapan yang digaungkan oleh Greenpeace Indonesia, bahwa untuk mencegah Indonesai menjadi ladang sampah plastik adalah menyasar langsung ke hilir dan hulu.

"Solusi utama untuk mengurangi invasi sampah plastik di lingkungan, termasuk lautan adalah dengan mengurangi produksi dan penggunaan plastik sekali pakai secara signifikan. Inisiatif pihak swasta seperti perusahaan produsen barang kebutuhan sehari-hari (fast moving consumer goods) harus lebih dari sekadar melakukan daur ulang," tegas Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi.

Selain itu, lanjut dia, pemerintah perlu membuat regulasi yang fokus pada pengurangan (reduksi) sampah plastik dan menunjangnya dengan meningkatkan kualitas sistem pengelolaan sampah secara nasional.

"Terakhir, masyarakat juga harus lebih sadar akan permasalahan dan ancaman yang nyata ini. Bila tidak bertindak sesegera mungkin, akan semakin banyak kehidupan satwa yang terancam oleh keberadaan sampah plastik," pungkas Atha.

Tak hanya di dalam negeri, kampanye yang sama juga digaungkan di tingkat dunia. Atas prakarsa Perwakilan Tetap Republik Indonesia untuk PBB, WTO dan Organisasi Internasional Lainnya di Jenewa, Indonesia bersama Swiss, Norwegia, Prancis, Inggris, Uruguay dan Kolombia, menyuarakan perlunya aksi global mengurangi limbah plastik, terutama di ekosistem laut.

Hal itu diwujudkan dengan menyelenggarakan High-Level Event on Marine Plastic Litter and Microplastics di Markas Besar PBB Jenewa, Swiss pada 4 September 2018 lalu. Dalam diskusi dipaparkan cara meningkatkan kesadaran global tentang perlunya tindakan kolektif dalam mengatasi sampah plastik laut.

"Indonesia secara konsisten mendukung pembahasan isu sampah plastik di laut pada berbagai forum global. Dengan garis pantai terpanjang nomor dua di dunia, laut dan sumber daya hayati serta non-hayati di dalamnya adalah kekayaan penting bangsa Indonesia yang harus terus kita jaga," ujar Hasan Kleib, Wakil Tetap RI di Jenewa, seperti dikutip dari laman Kemenlu RI.

Indonesia menyadari, upaya mengatasi sampah plastik di laut memerlukan kerja sama global. Semua negara perlu berbagi pengalaman, transfer teknologi, serta koordinasi lintas batas.

Indonesia sendiri telah memiliki kerja sama dengan Norwegia dalam mengatasi sampah plastik laut di Teluk Jakarta. Dengan dibawanya isu sampah plastik ini pada level global, diharapkan bentuk kerja sama pengurangan sampah plastik menjadi semakin masif, efektif dan sistematis.

 

Ketika Laut Tertutup Plastik

Giat Bersih Pantai di Labuan Bajo, Satu Ton Sampah Plastik Berhasil Terkumpul
Doc: Humas KKP

Tak banyak yang mengetahui kalau Indonesia masuk dalam jajaran negara yang paling tinggi memproduksi sampah plastik, khususnya di laut. Berdasarkan jurnal Jambeck JR berjudul Plastic Waste Inputs from Land into the Ocean tahun 2015, Indonesia merupakan negara terbesar setelah China yang menghasilkan sampah plastik.

Berada di urutan ketiga adalah Filipina yang menghasilkan sampah plastik ke laut mencapai 83,4 juta ton, diikuti Vietnam yang mencapai 55,9 juta ton, dan Sri Lanka yang mencapai 14,6 juta ton per tahun.

Data per tahun 2010, sampah plastik yang dihasilkan Indonesia mencapai 3,2 juta metrik ton/tahun. Data itu memperlihatkan, pencemaran lingkungan di Indonesia akibat sampah plastik sudah cukup mengkhawatirkan.

Sementara dalam laporan World Bank per 2016, total sampah plastik rata-rata global telah mencapai 242 juta ton, atau menyumbang 12% dari komponen penyebab pencemaran lingkungan.

Jika tak ada aksi nyata dalam menyelamatkan lingkungan, World Bank memproyeksi pencemaran lingkungan akan meningkat hingga 70% pada 2050. Kondisi tersebut tentu mengkhawatirkan semua pihak, termasuk Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim.

"Kita tahu plastik-plastik ini, sering masuk ke lautan dan kemudian terurai dan dimakan oleh ikan dan ujung-ujungnya itu kita makan juga, sehingga plastik itu masuk ke tubuh kita," ujar Presiden Kim saat berada di kawasan Suwung Kauh, Denpasar, Bali, Jumat 6 Juli 2018.

Hal ini pula yang menjadi latar belakang Jim mengunjungi Indonesia pada awal Juli lalu, guna mengingatkan bahaya dari pencemaran lingkungan, khususnya sampah plastik.

Tidak hanya pihak luar, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga menilai persoalan sampah sudah meresahkan. Data dari KLHK sendiri menyebut plastik hasil dari 100 toko atau anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) dalam waktu satu tahun saja, sudah mencapai 10,95 juta lembar sampah kantong plastik.

Jumlah itu ternyata setara dengan luasan 65,7 hektare kantong plastik atau sekitar 60 kali luas lapangan sepak bola. Padahal, KLHK menargetkan pengurangan sampah plastik lebih dari 1,9 juta ton hingga 2019.

Lebih dari satu juta kantong plastik digunakan setiap menitnya, dan 50 persen dari kantong plastik tersebut dipakai hanya sekali lalu langsung dibuang. Dari angka tersebut, hanya lima persen yang benar-benar didaur ulang.

Data KLHK juga menyebut, total jumlah sampah Indonesia di 2019 akan mencapai 68 juta ton, dengan sampah plastik diperkirakan mencapai 9,52 juta ton atau 14 persen dari total sampah yang ada.

Sementara, data lembaga swadaya masyarakat (LSM) Greenpeace Indonesia tak kalah mencengangkan. Temuan itu berasal dari audit merek sampah plastik yang dilakukan Greenpeace Indonesia bersama sejumlah komunitas lokal pada pertengahan September 2018 di tiga lokasi, yakni Pantai Kuk Cituis (Tangerang), Pantai Pandansari (Yogyakarta), dan Pantai Mertasari (Bali).

"Ada 797 merek dari sampah plastik yang kami temukan dari tiga lokasi, di mana yang terbesar adalah merek-merek makanan dan minuman (594 merek), kemudian merek-merek perawatan tubuh (90), kebutuhan rumah tangga (86), dan lainnya (27)," jelas Muharram Atha Rasyadi, Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia.

Dari hasil audit merek, Greenpeace menemukan kemasan produk-produk dari Santos, P&G dan Wings sebagai yang terbanyak dari kegiatan bersih pantai dan audit merek di Pantai Kuk Cituis (Tangerang); Danone, Dettol, Unilever di Pantai Mertasari (Bali); dan Indofood, Unilever, Wings di Pantai Pandansari (Yogyakarta).

"Kami juga menemukan cukup banyak sampah plastik yang tidak lagi terlihat mereknya. Ini mengindikasikan bahwa sampah tersebut sudah lama terbuang dan berada di lingkungan tersebut," Atha menerangkan.

Sampah-sampah plastik tersebut bisa berasal dari masyarakat sekitar, serta dari tempat yang jauh yang kemudian terbawa arus.

Secara global, hanya 9% sampah plastik yang didaur ulang dan 12% dibakar. Dengan kata lain, 79% sisanya berakhir di tempat-tempat pembuangan maupun saluran-saluran air seperti sungai yang bermuara ke lautan.

Bisa dibayangkan, jika tak ada upaya mencegahnya sesegera mungkin, tak lama lagi laut kita dan dunia akan tertutupi sampah plastik. Mimpi buruk yang segera menjadi kenyataan.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya