Greenpeace Temukan 797 Merek Sampah Plastik di 3 Pantai Indonesia

Indonesia menjadi penyumbang sampah ke laut terbesar nomor dua di dunia.

oleh Raden Trimutia Hatta diperbarui 26 Nov 2018, 12:32 WIB
Diterbitkan 26 Nov 2018, 12:32 WIB
Sampah plastik di laut temuan Greenpeace Indonesia. (Foto: Greenpeace Indonesia)
Sampah plastik di laut temuan Greenpeace Indonesia. (Foto: Greenpeace Indonesia)

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia menjadi penyumbang sampah ke laut terbesar nomor dua di dunia. Greenpeace Indonesia menemukan 797 merek sampah plastik di tiga lokasi, yakni Pantai Kuk Cituis (Tangerang), Pantai Pandansari (Yogyakarta), dan Pantai Mertasari (Bali), pada pertengahan September 2018.

"Yang terbesar adalah merek-merek makanan dan minuman (594 merek), kemudian merek-merek perawatan tubuh (90), kebutuhan rumah tangga (86), dan lainnya (27)," kata Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia Muharram Atha Rasyadi dalam keterangan tertulis yang dikutip Liputan6.com, Senin (26/11/2018).

"Ada pun jumlah sampah yang kami kumpulkan dari tiga lokasi tersebut sebanyak 10.594 kemasan," imbuhnya.

Greenpeace Indonesia juga menemukan cukup banyak sampah plastik yang tidak lagi terlihat mereknya. Hal itu mengindikasikan sampah tersebut sudah lama terbuang dan berada di lingkungan tersebut.

"Sampah-sampah plastik tersebut bisa berasal dari masyarakat sekitar, serta dari tempat yang jauh yang kemudian terbawa arus," jelas Atha.

Secara global, ungkap dia, hanya 9% sampah plastik yang didaur ulang dan 12% dibakar. Dengan kata lain, 79% sisanya berakhir di tempat-tempat pembuangan maupun saluran-saluran air seperti sungai yang bermuara ke lautan.

"Oleh sebab itu, merujuk pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah khususnya Pasal 15, produsen harus bertanggung jawab atas sampah kemasannya, utamanya dengan mengubah model bisnisnya untuk mengurangi dan menghentikan penggunaan kemasan plastik sekali pakai," ujar dia.

Menurut Atha, produsen mempunyai tanggung jawab besar untuk menyelesaikan masalah sampah plastik yang mereka ciptakan, sementara pemerintah harus bisa tegas terhadap para produsen seperti yang tertuang dalam UU No 18. Kebijakan pemerintah sejauh ini belum kuat.

"Kehadiran Peraturan Presiden No 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut pun belum tegas mendorong produsen untuk mengubah kemasannya menjadi dapat digunakan secara terus-menerus atau diisi ulang. Pasalnya, beleid tersebut mengutamakan produksi plastik yang mudah terurai dan dapat didaur ulang, dalam arti lain, masih sekali pakai," ungkapnya.

Bila kebijakan perusahaan dan pemerintah hanya sebatas daur ulang dan menggunakan plastik ramah lingkungan, sambung Atha, "Maka target Indonesia mengurangi 70% sampah plastik di lautan pada 2025 hanyalah sekadar angan-angan."

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Imbauan Menteri Susi

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengimbau pentingnya mengurangi sampah plastik untuk menjaga kebersihan laut.

"Karena Indonesia ini menjadi penyumbang sampah terbesar nomor dua di dunia ke laut. Tahun 2030 kalau kita tidak kurangi, sampah akan lebih banyak daripada ikan di laut kita. Mau kita makan sampah?" ujar Susi di Senayan, Jakarta, Minggu 25 November.

Susi menganjurkan agar masyarakat mulai membawa tas sendiri ketika berbelanja. Ia juga meminta untuk mengurangi pemakaian sedotan. 

Peraturan Presiden tentang penanganan sampah laut juga telah dikeluarkan. Yaitu, Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018.

"Sudah ditandatangani Pak Presiden tahun ini, tahun 2018. Sudah ada rencana aksi nasional penanganan sampah plastik di laut sudah ada," katanya.

Susi pun berharap agar aksi ini dapat menjadi program nasional di Indonesia. Selain itu, ia mencontohkan ketegasan dirinya sendiri dalam menangani sampah plastik.

"Di KKP (Kementrian Kelautan dan Perikanan) sudah ada. You bawa mineral water ke KKP saya denda Rp 500 ribu," ujar Susi sembari tertawa.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya