Tsunami Terjang Taman Nasional Ujung Kulon, Bagaimana Nasib Badak Cula Satu?

Tsunami Selat Sunda pada Sabtu, 22 Desember 2018 juga menerjang Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK).

oleh Yandhi Deslatama diperbarui 26 Des 2018, 10:23 WIB
Diterbitkan 26 Des 2018, 10:23 WIB
Ini 4 Hewan Endemik yang Ada di Taman Nasional Ujung Kulon
Meskipun sudah sangat langka, tapi inilah hewan endemik yang ada di Taman Nasional Ujung Kulon, selain Badak Jawa. (Foto: cekaja.com)

Liputan6.com, Jakarta - Tsunami Selat Sunda pada Sabtu, 22 Desember 2018 juga menerjang Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Pengelola TNUK hingga kini belum menemukan adanya badak bercula satu yang ikut menjadi korban.

"Kalau untuk satwa, kita belum mengadakan inventarisasi. Karena memang belum ditemukan tanda-tanda, terutama badak," kata Humas Balai TNUK Andri Firmansyah melalui sambungan selulernya, Rabu (26/12/2018).

Namun, taman nasional yang diakui UNESCO itu, harus kehilangan dua pekerjanya yang sedang bertugas di resort Citelang.

"Rubani dan Sandi. Jadi saat kejadian, paginya sudah teridentifikasi," terangnya.

Beberapa sarana dan prasaran Balai TNUK mengalami kerusakan, terutama yang ada di beberapa pulau kecil, seperti dermaga di Pulau Handeulem usai diterjang tsunami. Kemudian shelter di Cigenter, bangunan resort atau penjagaan di Pulau Panaitan, dan beberapa bangunan di Legon Kadam juga rusak.

"Kita masih menghimpun data, jadi memang beberapa fasilitas di TNUK mengalami kerusakan," ujar Andri.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Penyebab Tsunami

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memastikan tsunami yang menerjang Banten dan Lampung dipicu oleh erupsi vulkanik Gunung Anak Krakatau. BMKG mencatat, kekuatan tremor Gunung Anak Krakatau yang memicu tsunami memiliki kekuatan setara magnitudo 3,4.

"Ada tremor setara magnitudo 3,4 yang epicenter-nya ada di Gunung Anak Krakatau," ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, Senin, 24 Desember.

Guncangan vulkanik Gunung Anak Krakatau, kata dia, telah memicu terjadinya collapse pada lereng gunung. Berdasarkan citra saletelit, collapse lereng tersebut luasnya 64 hektar.

"Volume collapse ini yang menjadi tsunami di pantai pada pukul 21.27, atau 24 menit kemudian (setelah erupsi Gunung Anak Krakatau) dengan tinggi 0,9 meter di empat titik di Banten, Serang, Bandar Lampung," ungkapnya.

"Jadi tsunami ini berkaitan dengan erupsi vulkanik," Dwikorita menegaskan.

Ia mengungkapkan penyebab tidak terdeteksinya tsunami pada Sabtu, 22 Desember 2018 itu. "Apa yang kami sampaikan adalah tsunami yang berkaitan dengan aktivitas vulkanik, oleh karena itu tidak dapat terpantau dengan sensor-sensor gempa tektonik," kata Dwikorita.

Menurut dia, sebagian besar bencana tsunami yang terjadi di Indonesia akibat gempa tektonik. Sedangkan gempa vulkanik jarang sekali terjadi, sehingga tidak terpantau oleh sensor-sensor gempa yang dimiliki BMKG.

"Karena bukan gempa tektonik, sehingga informasi itu, kita tidak punya akses. Sehingga itulah yang terjadi," ucap Dwikorita.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya