Liputan6.com, Jakarta - Peneliti Utama Bidang Meteorologi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung, Eddy Hermawan menyampaikan bahwa kondisi cuaca yang tengah terjadi di sejumlah wilayah Indonesia bukan hanya disebebkan oleh fenomena alam Madden-Julian Oscillation (MJO).Â
"Itukan (MJO) berlangsung satu hingga tiga bulan. Umumnya sekitar 45 harian. Setiap saat muncul, hanya fase-fase aktifnya periode Desember, Januari, Februari, saat Indonesia musim basah. Pertanyaanya kenapa hingga Maret kemarin masih hujan?" papar Eddy kala dihubungi Liputan6.com, ditulis Kamis (2/5/2019).
Baca Juga
Menurut Eddy kalau hanya MJO mungkin efeknya tidak terlalu signifikan. Mengingat fenomena itu biasa terjadi.
Advertisement
"Kalau hanya MJO saja yang menyebabkan peningkatan intensitas curah hujan mungkin efeknya tidak seserius dengan kondisi yang ekstrem itu terjadi. Berarti ada fenomena lain yang men-triger terbentuknya itu," kata Eddy.
Dirinya melihat bahwa hal itu disebabkan oleh dua mata badai (Tropical Cyclone) di kawasan Indonesia.
"Biasanya dua mata badai itu di kawasan selatan Pulau Jawa tapi karena matahari sudah meninggalkan ekuator (gerak tahunan matahari) pada 21 Maret, maka pusat tekanan rendah sudah bergeser ke belahan bumi utara. Sehingga kasus Bengkulu itu menimbulkan dua mata badi," paparnya.
Eddy menjelaskan bahwa dua mata badai itu masing-masing memiliki arah pusaran yang berbeda. Mata badai di belahan bumi selatan serah jarum jam, dan yang di utara sebaliknya.
"Dua-duanya sekitar pantai barat Sumatera, Lautan Hindia," tuturnya.
Efek adanya dua mata badai ini menurut Eddy, akan terjadi penyedotan masa udara yang besar dengan tempo yang singkat. Dia melihat bahwa jika hal itu terjadi di atas wilayah ekuator, maka mungkin bisa tertahan oleh Bukit Barisan.
"Kawasan timur Sumatrera itu kawasan yg relatif kering, kawasan barat basah. Cuman Bengkulu ini ndak ada penghalangnya ini," terang Eddy.
Dia sendiri mengaku tidak bisa memastikan apakah itu karena Cyclone atau Cortex. Namun, dapat dipastikan bahwa telah terjadi penyedotan masa udara karena kuatnya pusaran tersebut.
"Ke mana? Ya tentu kawasan panas yaang tekanan rendah. Ya tentu ke daratan," terangnya.
Ia pun tidak tahu mengapa Bengkulu yang menjadi wilayah pelepasan masa udara tersebut. Menurutnya itu diperlukan penelitian lebih lanjut.
"Itu memang harus menggunakan model-model yang resolusi tinggi untuk menjelaskan," ujarnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Belum Bisa Memprediksi
Eddy sendiri mengaku belum bisa memprediksi pergerakannya. Namun, menurutnya yang menjadi indikasi ialah munculnya dua mata badai secara simultan.
"Nah dua mata badai ini tergantung pada di mana posisi matahari saat ini berada. Kalau matahari pada tanggal 21 Maret bergerak menuju belahan bumi utara, maka kemungkknan besar yang akan diserang adalah kawasan-kawasan yang berada di belaham bumi utara dan yang berhadapan langsung dengan Lautan Hindia," papar Eddy.
Dirinya juga menyampaikan bahwa meskipun fenomena ini bisa terjadi di seluruh bagian Indonesia, namun yang permamen ialah di sebelah pantai barat Sumatera.
"Walaupun fenomena di mana-mana tapi yang permanen adalah mata badai yang berada di sebalah patai barat Sumatera, di belahan bumi selatan ya," katanya.
Penelit LAPAN itu juga melihat bahwa tidak ada tanda-tanda kemarau panjang akan melanda wilayah Indonesia. Kemarau akan dimulai pada awal bulan Mei dan mencapai puncaknya pada Agustus serta September.
"Beberapa prediksi mengatakan tahun ini normal," ujarnya..
"Jelas setiap daerah beda-beda ya, mulai dari timur, yakni Nusa Tenggra, Jawa Timur, Jawa Tengah, kemudian Jawa Barat. Jawa Barat sekitar awal Juni," tutup Eddy.
Â
* Ikuti perkembangan Real Count Pilpres 2019 yang dihitung KPU di tautan ini
Advertisement