HEADLINE: Cuaca Ekstrem di Indonesia Dipicu Aktivitas MJO, Seberapa Bahaya?

BMKG memastikan fenomena MJO merupakan sesuatu yang normal atau siklus yang alami, meski cuaca yang dihasilkan terbilang ekstrem.

oleh RinaldoYopi Makdori diperbarui 30 Apr 2019, 00:09 WIB
Diterbitkan 30 Apr 2019, 00:09 WIB
Cuaca Ekstrem Berpotensi Terjadi Sepekan ke Depan
Pemandangan saat awan mendung menyelimuti langit Jakarta, Kamis (1/2). BMKG juga meminta warga mengantisipasi potensi angin berkecepatan tinggi. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Tak ada yang bisa menebak pola cuaca belakangan ini. Kendati tak ada curah hujan yang ekstrem sepanjang 2019, banyak yang meyakini kalau sebenarnya musim hujan sudah lewat. Apalagi, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) beberapa waktu lalu telah merilis bahwa sebagian wilayah Indonesia akan memasuki musim kemarau pada awal April 2019.

Namun, kenyataannya tidak begitu. Tak ada tanda-tanda musim kemarau. Di Jakarta misalnya, sepanjang pekan lalu hujan turun hampir setiap hari dengan pola yang hampir sama. Matahari memperlihatkan diri di pagi hari, siang sampai malam giliran hujan yang mengguyur.

"Jadi, kurang lebih sampai seminggu ke depan, kita memang perlu waspada dengan pola di mana pagi bisa cukup terik, tapi bisa mengakibatkan perubahan cuaca di sore hari. Ancaman lain adalah genangan dan juga banjir bandang," jelas Kepala Bidang Humas BMKG Taufan Maulana kepada Liputan6.com, Senin (29/4/2019).

Terbukti, di Bengkulu banjir yang melanda sembilan kabupaten/kota sejak Jumat 26 April 2019 malam sudah menelan korban jiwa. Hingga senin pagi, tercatat 29 orang meninggal dunia. Sementara 13 orang dilaporkan hilang, 2 orang mengalami luka berat, dan 2 orang lainnya luka ringan.

Sementara itu, sedikitnya lima kereta api juga terganggu perjalanannya akibat banjir di sekitar Stasiun Pasuruan, Jawa Timur, Senin pagi. Satu di antaranya terpaksa dibatalkan setelah hujan deras mengguyur kawasan itu, Senin dini hari.

Pasuruan dilanda banjir akibat curah hujan berintensitas tinggi dalam waktu cukup lama sejak Minggu malam. Ditambah lagi dengan naiknya volume air di Sungai Petung, Gembong dan Welang. Tercatat sekitar 14 hingga 15 ribu kepala keluarga menjadi korban terdampak banjir setinggi 2,5 meter itu.

"Potensi hujan lebat hingga awal Mei di sejumlah daerah memang harus diwaspadai," kata Taufan menanggapi peristiwa itu.

Cuaca ekstrem yang terjadi memang selaras dengan prediksi BMKG, bahwa potensi hujan lebat untuk periode 29 April-2 Mei 2019 dapat terjadi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat dan Papua.

"Wilayah yang berpotensi hujan lebat hari ini (Senin 29 April) di antaranya Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Papua," papar BMKG dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Senin petang. 

 

Infografis Cuaca Ekstrem Ancam 17 Wilayah Indonesia. (Liputan6.com/Triyasni)

Sedangkan untuk Selasa (30/4/2019), BMKG memprediksi hujan lebat berpeluang terjadi di Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, dan Papua.

Untuk wilayah Indonesia lain yang juga berpeluang terjadi hujan dengan intensitas lebat disertai angin kencang dan kilat/petir sepanjang Senin di antaranya Aceh, Jawa Barat, Jabodetabek, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Maluku Utara dan Maluku.

Sementara untuk Selasa ini, wilayah yang berpotensi hujan lebat disertai kilat serta petir dan angin kencang meluas ke beberapa wilayah seperti Aceh, Jawa Barat, Jabodetabek, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Maluku Utara, dan Maluku.

BMKG mengatakan, penyebab cuaca ekstrem yang melanda Indonesia belakangan ini disebabkan aktivitas Madden Julian Oscillation (MJO). MJO merupakan gelombang atmosfer yang membawa massa udara basah.

"MJO yang tumbuh dan berkembang di Samudera Hindia sejak beberapa hari lalu memberikan dampak berupa peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia bagian barat," ujar Deputi Bidang Meteorologi BMKG Mulyono R Prabowo, dalam keterangan tertulisnya.

Kendati demikian, BMKG memastikan bahwa fenomena ini merupakan sesuatu yang normal atau siklus yang alami, meski cuaca yang dihasilkan terbilang ekstrem. Sehingga, tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan fenomena MJO.

"Dilihat dari aspek iklim, saat ini misalnya wilayah Jabodetabek masih dalam periode akhir musim hujan. Dan dari aspek dinamika atmosfer saat ini di atas wilayah Indonesia sedang ada gelombang atmosfer MJO, gelombang atmosfer dari Samudera Hindia yang membawa banyak uap air, sehingga pertumbuhan awan hujan di Indonesia semakin intens," jelas Taufan.

Jadi, apa sebenarnya MJO dan hubungannya dengan atmosfer di khatulistiwa?

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Curah Hujan di Siklus MJO

Penampakan Sungai Ciliwung yang Meluap di Pejaten Timur
Suasana aliran Sungai Ciliwung yang meluap di kawasan Pejaten Timur, Jakarta, Jumat (26/4). Banjir kiriman melalui Sungai Ciliwung yang berasal dari Bogor tersebut mengakibatkan sejumah wilayah di Ibukota terendam banjir. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengimbau masyarakat untuk mewaspadai cuaca ekstrem yang akan terjadi hingga Kamis pekan ini. Pada periode akhir April hingga awal Mei mendatang, diperkirakan akan terjadi potensi hujan lebat di sejumlah kawasan di Indonesia.

Kondisi cuaca ekstrem kali ini disebut-sebut dipengaruhi aktivitas Madden Julian Oscalliation (MJO) pada fase basah yang diprediksi cukup signifikan dalam periode satu pekan ke depan. MJO pula yang menjadi penyebab hujan disertai puting beliung yang belakangan kerap terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

MJO sendiri merupakan gangguan awan, hujan, angin, dan tekanan udara yang melintasi kawasan tropis dan kembali ke titik awal dalam kurun waktu rata-rata 30 hingga 60 hari. MJO kerap digambarkan sebagai variabilitas iklim tropis interseasonal (bervariasi setiap minggunya).

"MJO biasanya muncul diawali di bagian barat Indian Ocean (Samudra Hindia) dan selanjutnya berjalan merambat ke arah barat menyusuri Indian Ocean, Maritime Continent (Indonesia) dan akhirnya punah di Pasifik bagian barat," jelas Kepala Bidang Humas BMKG Taufan Maulana kepada Liputan6.com.

MJO pertama kali diteliti pada tahun 1971 oleh Rolan Madden dan Paul Julian. Keduanya menganalisis anomali angin yang bergerak dari barat ke timur di Pasifik tropis. Hasil penelitian ini kemudian mengejutkan mereka karena diketahui ada osilasi berperiode 40-50 hari yang kemudian dikenal dengan sebutan MJO.

MJO sendiri merupakan variasi interseasonal yang kerap terjadi di daerah tropis atau ekuator. Fenomena ini belakangan populer sebagai bagian yang disertakan dalam kajian meteorologi sejak ada fase El Nino 1982-1983.

Akibat fenomena ini curah hujan, pergerakan angin, suhu muka laut, kondisi cuaca, dan tekanan udara yang melintasi daerah planet meningkat dari biasanya dan rata-rata terjadi dalam kurun waktu 30 hingga 90 hari. Dibandingkan fenomena intraseasonal lain, MJO memiliki sinyal paling dominan dan relatif mudah untuk diamati.

Salah satunya adalah curah hujan tinggi yang mengguyur Ibu Kota sepanjang pekan lalu, diyakini akibat pengaruh dari MJO. Tak heran karena cuaca ekstrem itu, puluhan lokasi di Jakarta terendam banjir.

"Jadi dugaan kami, kondisi sangat aktifnya MJO yang didukung oleh adanya pusaran angin di Barat Daya Sumatera (yang sekarang jadi TC LORNA) yang menjadikan terbentuknya pertemuan angin di atas Jawa Barat, adalah pemicu hujan lebat yang menjadikan banjir kemarin," ujar Taufan.

Salah satu hal paling menarik dari MJO yakni pergerakannya saat mengelilingi Bumi dari arah barat ke timur. Pergerakan paling dominan akan terlihat di sekitar Samudera Hindia dan Pasifik barat.

Fenomena ini pada umumnya terbagi menjadi dua fase; fase pertama konvektif yang ditekan adanya peningkatan curah hujan di setengah bagian Bumi. Sementara fase kedua, konvektif yang disempurnakan sering dikelompokkan ke tahap berdasarkan geografis. Kedua fase ini menghasilkan perubahan awan dan curah hujan.

Pada fase konvektif yang disempurnakan, angin di permukaan akan mendesak udara hingga mengisi ruang-ruang di atmosfer. Di bagian ini, angin akan bergerak mundur kemudian meningkatkan kondensasi dan curah hujan.

Sedangkan fase konvektif yang ditekan, angin akan berkumpul di bagian atas atmosfer sehingga memaksa udara untuk tenggelam dan menyimpang di permukaan.

Perubahan curah hujan dan angin pada femonea MJO dapat memodulasi waktu dan memengaruhi kekuatan siklon hampir di semua cekungan samudera. Akibatnya, angin dingin akan berhembus dan berujung pada perubahan cuaca panas ekstrem.

Lantas, apa yang akan terjadi dengan kondisi cuaca di Tanah Air usai sepekan aktivitas MJO mempengaruhi iklim Indonesia?

 

Kemarau yang Datang Terlambat

20160212-Banjir-Depok-Yoppy-Renato
Hujan deras yang berakibat banjir di wilayah Depok, Jawa Barat. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Posisi geografis Indonesia yang strategis, terletak di daerah tropis, di antara Benua Asia dan Australia, di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, serta dilalui garis katulistiwa, terdiri dari pulau dan kepulauan yang membujur dari barat ke timur, dikelilingi oleh luasnya lautan, menyebabkan kita memiliki keragaman cuaca dan iklim.

Keragaman iklim Indonesia dipengaruhi fenomena global seperti El Nino Southern Oscillation (ENSO) yang bersumber dari wilayah Ekuator Pasifik Tengah dan Indian Ocean Dipole (IOD) yang bersumber dari wilayah Samudra Hindia barat Sumatera hingga timur Afrika.

Keragaman iklim itu juga dipengaruhi oleh fenomena regional, seperti sirkulasi angin monsun Asia-Australia, Daerah Pertemuan Angin Antar-Tropis atau Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ) yang merupakan daerah pertumbuhan awan, serta kondisi suhu permukaan laut sekitar wilayah Indonesia.

Sementara kondisi topografi wilayah Indonesia yang memiliki daerah pegunungan, berlembah, banyak pantai, merupakan topografi lokal yang menambah beragamnya kondisi iklim di wilayah Indonesia, baik menurut ruang (wilayah) maupun waktu.

Berdasarkan hasil analisis data rata-rata 30 tahun terakhir (1981-2010), secara klimatologis wilayah Indonesia memiliki 407 pola iklim, di mana 342 pola merupakan Zona Musim (ZOM) terdapat perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan musim kemarau.

Sedangkan 65 pola lainnya adalah Non Zona Musim (Non ZOM). Daerah Non ZOM pada umumnya memiliki 2 kali maksimum curah hujan dalam setahun (pola Ekuatorial) atau daerah di mana sepanjang tahun curah hujannya selalu tinggi atau rendah.

Dilansir dari BMKG, prakiraan musim kemarau 2019 secara umum dapat disimpulkan, awal musim kemarau 2019 di 342 Zona Musim (ZOM) diprakirakan umumnya mulai bulan April 2019 sebanyak 79 ZOM (23.1%), Mei 2019 sebanyak 99 ZOM (28.1%), dan Juni 2019 sebanyak 96 ZOM (28.1%).

Sedangkan beberapa daerah lainnya, awal musim kemarau terjadi pada Januari 2019 sebanyak 1 ZOM (0.3%), Februari 2019 sebanyak 3 ZOM (0.9%), Maret 2019 sebanyak 22 ZOM (6.4%), Juli 2019 sebanyak 25 ZOM (7.3%), Agustus 2019 sebanyak 14 ZOM (4.1%), September 2019 sebanyak 2 ZOM (0.6%), dan Oktober 2019 1 ZOM (0.3%).

Jika dibandingkan terhadap rata-ratanya selama 30 tahun (1981- 2010) di 342 Zona Musim, awal musim kemarau 2019 sebagian besar daerah yaitu 126 ZOM (36.8%) mundur jika dibandingkan dengan rata-ratanya dan 125 ZOM (36.6%) sama terhadap rata-ratanya. Sedangkan yang maju terhadap rata-rata 91 ZOM (26.6%).

Sifat hujan selama musim kemarau 2019 di sebagian besar daerah yaitu 214 ZOM (62.5%) diprakirakan normal dan 82 ZOM (24.0%) bawah normal. Sedangkan atas normal yaitu sebanyak 82 ZOM (13.5%).

Puncak musim kemarau 2019 di 342 Zona Musim (ZOM) diprakirakan umumnya terjadi pada bulan Agustus 2019 sebanyak 233 ZOM (68.1%). Sedangkan beberapa daerah lainnya puncak musim hujan terjadi pada Februari 2019 sebanyak 2 ZOM (0.6%), Juni 2019 sebanyak 4 ZOM (1.2%), Juli 2019 sebanyak 44 ZOM (12.9%), September 2019 sebanyak 50 ZOM (14.9%), Oktober 2019 sebanyak 6 ZOM (1.8%), November 2019 sebanyak 1 ZOM (0.3%), dan Desember 2019 sebanyak 1 ZOM (0.3%).

Itu artinya, sebagian besar wilayah Indonesia ternyata belum memasuki puncak musim hujan sama sekali, meski saat ini harusnya kita sudah mulai memasuki musim kemarau. Sebab, berdasarkan data yang dilansir BMKG, awal musim kemarau sejatinya sudah mulai memasuki wilayah Indonesia sejak awal April 2019.

Untuk itu, BMKG meminta masyarakat tetap mengikuti informasi tentang perkembangan cuaca mutakhir, selain tetap waspada dengan fenomena cuaca yang terjadi di kawasan tempat tinggal masing-masing.

"Tetaplah berhati-hati, dengan mengikuti update informasi dari semua saluran komunikasi resmi yang dimiliki oleh BMKG, atau dari media sosial, website dan yang lainnya," pungkas Kepala Bidang Humas BMKG Taufan Maulana.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya