Wacana Amandemen Terbatas UUD 1945 yang Mulai Memanas

Semuanya sepakat bahwa amandemen UUD 1945 bukan hal yang tabu, asal tak dilakukan terburu-buru dan tak melebar ke banyak pasal.

oleh Liputan6.com diperbarui 14 Agu 2019, 08:57 WIB
Diterbitkan 14 Agu 2019, 08:57 WIB
Sidang Tahunan MPR 2018
Suasana Sidang Tahunan MPR 2018 di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Kamis (16/8). Sidang Tahunan terdiri dari tiga rangkaian agenda yakni Sidang Tahunan MPR, Sidang Bersama DPR-DPD RI, dan Sidang penyampaian RAPBN Tahun 2018. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - MPR tengah berencana mengamandemen secara terbatas Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Termasuk di dalamnya ingin menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Wacana yang sebenarnya sudah digulirkan sejak lama, namun hingga kini belum direalisasikan oleh MPR.

Padahal, pada periode MPR 2014-2019 sudah dibentuk panitia ad hoc terkait amandemen terbatas ini. Tetapi wacana itu belum juga terlaksana hingga saat akan berakhirnya masa jabatan MPR 2014-2019 yang hanya bisa memberikan rekomendasi amandemen terbatas UUD 1945 untuk periode selanjutnya.

Isu penghidupan GBHN pun kembali mencuat saat PDIP dalam Kongres V di Bali merekomendasikan adanya amandemen terbatas dan mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Hal itu menuai respons beragam dari sederet partai politik. Salah satunya Partai Golkar yang meminta wacana amandemen dikaji ulang.

"Melakukan amandemen bukan sesuatu yang tabu, hal yang lumrah selama itu bisa menuju kepada sesuatu yang lebih baik. Namun, mengingat yang mau kita amandemen adalah UUD 1945, maka tidak bisa gegabah dan terburu buru," kata Wasekjen Golkar Maman Abdurahman.

Sama halnya dengan amandemen terbatas UUD untuk mengembalikan fungsi pimpinan MPR menjadi lembaga tertinggi negara, Maman menilai itu perlu dibahas lebih lanjut pada periode berikutnya.

"Perlu kajian mendalam terkait hal tersebut, ngebahas UU aja perlu duduk dan kajian mendalam, apalagi UUD 1945 tentunya perlu kajian lebih mendalam," ungkap dia.

Sedangkan Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir Karding menilai, amandemen terbatas UUD 1945 terlalu berisiko. Pasalnya, tidak tertutup kemungkinan pembahasan amandemen itu justru melebar kemana-mana.

"Problemnya hari ini adalah kita berada di wilayah politik. Amandemen ini bukan tanpa risiko, walaupun kita sepakati terbatas, tetapi itu bisa kemana saja," kata Karding.

Soal wacana menjadikan MPR lembaga tertinggi lewat amandemen terbatas, menurut Karding juga masih perlu dibahas lebih lanjut. Pasalnya, pembahasan tersebut memiliki banyak implikasi.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Hanya Melanjutkan Amandemen

Senada dengan Golkar dan PKB, Ketua DPR Bambang Soesatyo juga meminta agar rencana menghidupkan kembali GBHN tak dilakukan terburu-buru. Menurut dia, perlu pengkajian lebih mendalam untuk kembali menerapkan GBHN dengan melakukan amandemen UUD 1945.

"Saya berpandangan GBHN ini perlu dikaji lebih dalam lagi karena kalau dinamika ekonomi politik sekarang ini, global sangat luar biasa, berbeda dengan zaman 20-50 tahun yang lalu. Jadi apakah GBHN diperlukan atau tidak," kata Bamsoet di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (13/8/2019).

Di sisi lain, Ketua Umum Partai Hanura sekaligus Ketua DPD Oesman Sapta Odang (OSO) tak masalah jika kembali GBHN kembali dihidupkan lewat amandemen terbatas UUD 1945. Namun, dia mengingatkan supaya pembahasan GBHN sesuai kesepakatan pihak terkait.

"Ya itu boleh-boleh saja, menghidupkan kembali GBHN, siapa bilang gak boleh, tapi tentu harus sejalan dengan pemerintah, nah nanti gimana rundingan antara lembaga politik dengan pemerintah itu harus dibicarakan," kata OSO di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa kemarin.

Sejalan dengan Hanura, Partai besutan Prabowo Subianto, yakni Partai Gerindra juga setuju dengan pengadaan kembali GBHN. Hal itu untuk kepentingan arah negara yang lebih jelas.

"Iya sepakat kita setuju, mendukung. Gitu loh tujuannya kan positif supaya arah pembangunan jelas," kata Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria saat dihubungi merdeka.com, Selasa (13/8/2019).

Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah pun langsung menjelaskan maksud rekomendasi partainya yang menuai kontroversi itu. Dia menegaskan, PDIP tidak pernah mengusulkan adanya amandemen terbatas Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. PDIP, lanjutnya, hanya mengusulkan agar MPR 2019-2024 melanjutkan amandemen terbatas tersebut.

"Jadi dengan demikian Kongres PDIP ke V kemarin, yang merekomendasikan agar MPR melanjutkan rencana amandemen terbatas UUD '45 untuk menghadirkan GBHN, hanyalah meneruskan rencana yang sudah disepakati oleh pimpinan-pimpinan fraksi di MPR RI dan DPD RI. Jadi bukan maunya PDIP. Ini saya perlu luruskan," kata Basarah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

Basarah menjelaskan, wacana amandemen terbatas ini sudah ada sejak lama. Namun, hingga kini belum bisa dirampungkan bahkan pada periode MPR 2014-2019.

 

Tak Ada Urgensi Amandemen

Sementara itu, pengamat politik Verri Junaedi keras menolak wacana tersebut. Terlebih, amandemen UUD '45 harus dilakukan hanya untuk menghidupkan kembali GBHN.

Verri menjelaskan, ada sejumlah isu berkembang tentang amandemen UUD '45. Tak cuma GBHN, tapi juga ingin menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara serta pemilihan presiden kembali melalui MPR.

"Itu isu yang lagi marak, saya melihat bahwa sebenarnya urgensinya enggak ada. Karena sebenarnya sistem konstitusi kita sudah mengatur saat ini. Misalnya soal GBHN, kita sudah ada UU Perencanaan Pembangunan Nasional, itu arah pembangunan sudah diatur di situ. Bagaimana konsep pembangunan lima tahun ke depan sudah ada UU-nya sendiri," jelas Verri saat berbincang dengan merdeka.com, Selasa (13/8/2019).

Selanjutnya, isu ingin mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Menurut dia, ada sejarahnya kenapa aturan tersebut direvisi. Salah satunya, agar terjadi check and balances.

"Kenapa MPR ditarik, tapi semua diposisikan setara supaya terjadi cek and balances. Eksekutif dan legislatif setara, agar antarlembaga negara bisa saling mengontrol, saling menguatkan. Kalau kemudian MPR diposisikan lembaga tertinggi kita kembali lagi seperti sistem lampau. Terbukti model seperti itu tidak berjalan dengan baik," tambah Verri lagi.

 

Reporter: Sania Mashabi

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya