Pemakzulan adalah: Proses Konstitusional Pemberhentian Pejabat Tinggi Negara

Pemakzulan adalah proses konstitusional untuk memberhentikan pejabat tinggi negara. Pelajari syarat, prosedur dan dampak pemakzulan di Indonesia.

oleh Ayu Isti Prabandari diperbarui 07 Feb 2025, 15:10 WIB
Diterbitkan 07 Feb 2025, 15:10 WIB
pemakzulan adalah
pemakzulan adalah ©Ilustrasi dibuat AI... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Pemakzulan atau impeachment merupakan salah satu mekanisme pengawasan dan penyeimbang kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan modern. Proses ini memungkinkan pemberhentian pejabat tinggi negara, termasuk presiden, jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berat. Di Indonesia, prosedur pemakzulan diatur secara ketat dalam konstitusi untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.

Pengertian Pemakzulan

Pemakzulan adalah proses pendakwaan dan pemberhentian pejabat tinggi negara dari jabatannya oleh lembaga legislatif karena terbukti melakukan pelanggaran hukum berat. Istilah ini berasal dari kata "makzul" dalam bahasa Arab yang berarti berhenti memegang jabatan atau turun takhta.

Dalam konteks ketatanegaraan modern, pemakzulan merupakan mekanisme checks and balances untuk mengawasi dan membatasi kekuasaan eksekutif. Prosedur ini memungkinkan pemberhentian pejabat tinggi seperti presiden atau kepala negara jika terbukti melakukan tindak pidana berat yang mencederai sumpah jabatan dan konstitusi.

Pemakzulan berbeda dengan pengunduran diri sukarela. Dalam pemakzulan, pejabat yang bersangkutan diberhentikan secara paksa melalui proses hukum dan politik di lembaga legislatif, bukan atas kemauan sendiri. Proses ini juga berbeda dengan kudeta atau penggulingan kekuasaan secara ilegal.

Sejarah dan Perkembangan Konsep Pemakzulan

Konsep pemakzulan memiliki sejarah panjang dalam perkembangan sistem pemerintahan. Pada masa kerajaan kuno, pemakzulan raja atau kaisar biasanya dilakukan melalui kudeta atau pemberontakan. Namun seiring berkembangnya demokrasi modern, pemakzulan mulai diatur secara konstitusional sebagai mekanisme legal untuk memberhentikan pemimpin yang melanggar hukum.

Di Inggris, parlemen mulai memiliki wewenang untuk memakzulkan pejabat kerajaan sejak abad ke-14. Praktik ini kemudian diadopsi di Amerika Serikat dan negara-negara demokrasi lainnya. Konstitusi AS tahun 1787 secara eksplisit mengatur prosedur pemakzulan presiden.

Di Indonesia, ketentuan tentang pemakzulan presiden baru dimasukkan dalam amandemen UUD 1945 pasca reformasi. Hal ini untuk mencegah pemakzulan yang bersifat politis seperti yang terjadi pada era Orde Lama dan Orde Baru. Kini prosedur pemakzulan diatur ketat dengan melibatkan DPR, MK, dan MPR.

Dasar Hukum Pemakzulan di Indonesia

Ketentuan mengenai pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia diatur dalam UUD 1945 hasil amandemen, khususnya pasal 7A dan 7B. Beberapa poin penting dalam aturan tersebut antara lain:

  • Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR.
  • Pengajuan usul pemberhentian dapat dilakukan jika Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.
  • Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut harus terlebih dahulu dibuktikan secara hukum melalui proses di Mahkamah Konstitusi.
  • Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.

Aturan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemakzulan diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan MK No. 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Syarat dan Alasan Pemakzulan Presiden

Berdasarkan UUD 1945, terdapat beberapa syarat dan alasan yang dapat menjadi dasar pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden, yaitu:

  1. Pengkhianatan terhadap negara
  2. Korupsi
  3. Penyuapan
  4. Tindak pidana berat lainnya
  5. Perbuatan tercela
  6. Terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden

Alasan-alasan tersebut harus dibuktikan secara hukum melalui proses peradilan di Mahkamah Konstitusi. MK akan memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut.

Selain itu, proses pemakzulan juga harus melalui mekanisme politik di DPR dan MPR. Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.

Prosedur dan Tahapan Pemakzulan di Indonesia

Proses pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia melalui beberapa tahapan sebagai berikut:

  1. DPR mengajukan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum.
  2. Pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.
  3. MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lama 90 hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh MK.
  4. Apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.
  5. MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut.
  6. Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.

Prosedur yang panjang dan ketat ini dimaksudkan untuk mencegah pemakzulan yang bersifat politis dan memastikan proses berjalan sesuai konstitusi.

Peran Lembaga Negara dalam Proses Pemakzulan

Dalam proses pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia, terdapat tiga lembaga negara yang memiliki peran penting:

1. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

DPR berperan sebagai inisiator proses pemakzulan. Lembaga ini yang mengajukan usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden kepada MPR. Namun sebelumnya, DPR harus terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dugaan pelanggaran hukum oleh presiden dan/atau wakil presiden.

2. Mahkamah Konstitusi (MK)

MK berperan sebagai lembaga yudikatif yang memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh presiden dan/atau wakil presiden. Putusan MK bersifat final dan mengikat. Jika MK memutuskan presiden dan/atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran, maka proses dapat dilanjutkan ke MPR.

3. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

MPR memiliki kewenangan untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya. Lembaga ini yang mengambil keputusan akhir dalam proses pemakzulan melalui sidang paripurna. Keputusan MPR harus diambil dengan dukungan minimal 2/3 anggota yang hadir dalam sidang yang dihadiri minimal 3/4 dari total anggota MPR.

Pembagian peran antara tiga lembaga negara ini dimaksudkan untuk menciptakan mekanisme checks and balances serta memastikan proses pemakzulan berjalan sesuai konstitusi.

Dampak dan Konsekuensi Pemakzulan

Pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden memiliki dampak dan konsekuensi yang signifikan, baik secara politik, hukum, maupun sosial. Beberapa dampak yang mungkin terjadi antara lain:

1. Dampak Politik

  • Terjadinya kekosongan jabatan presiden dan/atau wakil presiden yang harus segera diisi
  • Potensi instabilitas politik dan pemerintahan
  • Perubahan konstelasi politik dan kekuatan partai
  • Menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah

2. Dampak Hukum

  • Presiden dan/atau wakil presiden yang dimakzulkan kehilangan kekebalan hukum
  • Kemungkinan proses hukum lanjutan terhadap mantan presiden/wakil presiden
  • Perubahan kebijakan dan regulasi yang telah ditetapkan sebelumnya

3. Dampak Sosial dan Ekonomi

  • Gejolak sosial dan demonstrasi massa pro dan kontra pemakzulan
  • Penurunan kepercayaan investor dan gejolak ekonomi
  • Ketidakpastian arah kebijakan pemerintah yang dapat mempengaruhi berbagai sektor

Mengingat dampak yang luas, proses pemakzulan harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan sesuai prosedur konstitusional yang berlaku. Hal ini untuk menjaga stabilitas negara dan mencegah krisis yang berkepanjangan.

Contoh Kasus Pemakzulan di Berbagai Negara

Beberapa contoh kasus pemakzulan presiden yang pernah terjadi di berbagai negara:

1. Amerika Serikat

  • Andrew Johnson (1868) - Dimakzulkan oleh DPR namun tidak jadi dicopot oleh Senat
  • Bill Clinton (1998) - Dimakzulkan oleh DPR namun dibebaskan oleh Senat
  • Donald Trump (2019 dan 2021) - Dimakzulkan dua kali oleh DPR namun dibebaskan oleh Senat

2. Brasil

  • Fernando Collor de Mello (1992) - Mengundurkan diri sebelum proses pemakzulan selesai
  • Dilma Rousseff (2016) - Berhasil dimakzulkan dan diberhentikan dari jabatan

3. Korea Selatan

  • Roh Moo-hyun (2004) - Dimakzulkan oleh parlemen namun dipulihkan oleh Mahkamah Konstitusi
  • Park Geun-hye (2016) - Berhasil dimakzulkan dan diberhentikan dari jabatan

4. Afrika Selatan

  • Jacob Zuma (2018) - Mengundurkan diri sebelum proses pemakzulan selesai

Di Indonesia sendiri, belum pernah terjadi pemakzulan presiden melalui mekanisme konstitusional yang diatur dalam UUD 1945 hasil amandemen. Pemberhentian Presiden Soekarno (1967) dan Soeharto (1998) terjadi sebelum adanya aturan pemakzulan dalam konstitusi.

Kontroversi dan Perdebatan Seputar Pemakzulan

Meski diatur dalam konstitusi, proses pemakzulan presiden seringkali menimbulkan kontroversi dan perdebatan. Beberapa isu yang sering diperdebatkan antara lain:

1. Politisasi Proses Pemakzulan

Kritik bahwa pemakzulan seringkali lebih didorong oleh motif politik daripada pelanggaran hukum yang nyata. Oposisi dianggap memanfaatkan mekanisme ini untuk menjatuhkan pemerintah yang sah.

2. Standar Pembuktian

Perdebatan mengenai standar pembuktian yang digunakan dalam proses pemakzulan. Apakah harus menggunakan standar pidana (beyond reasonable doubt) atau cukup dengan standar yang lebih rendah.

3. Dampak terhadap Stabilitas Pemerintahan

Kekhawatiran bahwa proses pemakzulan dapat mengganggu stabilitas pemerintahan dan menimbulkan krisis politik berkepanjangan.

4. Peran Media dan Opini Publik

Pengaruh pemberitaan media dan opini publik dalam mempengaruhi proses pemakzulan yang seharusnya bersifat legal-konstitusional.

5. Implikasi terhadap Sistem Presidensial

Perdebatan apakah mekanisme pemakzulan melemahkan sistem presidensial dengan membuat presiden terlalu bergantung pada dukungan parlemen.

Kontroversi-kontroversi ini menunjukkan bahwa pemakzulan merupakan isu yang kompleks dan sensitif dalam sistem ketatanegaraan modern. Diperlukan kehati-hatian dan kearifan dari semua pihak dalam menjalankan mekanisme ini.

Perbedaan Pemakzulan dengan Pengunduran Diri

Meski sama-sama mengakibatkan berakhirnya masa jabatan seorang pejabat tinggi negara, pemakzulan dan pengunduran diri memiliki beberapa perbedaan mendasar:

1. Inisiator

  • Pemakzulan: Diinisiasi oleh lembaga legislatif (DPR di Indonesia)
  • Pengunduran diri: Diinisiasi oleh pejabat yang bersangkutan secara sukarela

2. Proses

  • Pemakzulan: Melalui proses hukum dan politik yang panjang melibatkan beberapa lembaga negara
  • Pengunduran diri: Proses relatif singkat, cukup dengan penyampaian surat pengunduran diri

3. Alasan

  • Pemakzulan: Karena terbukti melakukan pelanggaran hukum berat
  • Pengunduran diri: Bisa karena berbagai alasan, termasuk alasan pribadi atau politis

4. Dampak Hukum

  • Pemakzulan: Pejabat yang dimakzulkan bisa menghadapi proses hukum lanjutan
  • Pengunduran diri: Umumnya tidak ada konsekuensi hukum lanjutan

5. Stigma

  • Pemakzulan: Membawa stigma negatif karena dianggap melanggar sumpah jabatan
  • Pengunduran diri: Relatif netral, bisa dipandang positif sebagai sikap negarawan

Pemahaman akan perbedaan ini penting untuk menilai secara objektif situasi politik yang terjadi ketika seorang pejabat tinggi negara meninggalkan jabatannya.

Upaya Pencegahan Pemakzulan

Meski mekanisme pemakzulan penting sebagai checks and balances, pencegahan tetap lebih baik daripada menghadapi proses yang rumit dan berpotensi menimbulkan gejolak. Beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya pemakzulan antara lain:

1. Penguatan Integritas Pejabat

Meningkatkan integritas dan komitmen pejabat tinggi negara untuk menjunjung tinggi konstitusi dan sumpah jabatan. Ini bisa dilakukan melalui pendidikan politik dan etika kepemimpinan.

2. Transparansi dan Akuntabilitas

Menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang yang bisa berujung pada pemakzulan.

3. Penguatan Sistem Pengawasan

Memperkuat peran lembaga-lembaga pengawas seperti KPK, Ombudsman, dan BPK untuk mencegah dan mendeteksi dini pelanggaran oleh pejabat tinggi negara.

4. Pendidikan Politik Publik

Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang sistem ketatanegaraan dan proses politik untuk mencegah mobilisasi massa yang tidak bertanggung jawab dalam isu pemakzulan.

5. Penguatan Mekanisme Konsultasi

Membangun mekanisme konsultasi yang efektif antara eksekutif dan legislatif untuk menyelesaikan perbedaan pendapat sebelum berujung pada krisis konstitusional.

6. Reformasi Sistem Pemilu

Memperbaiki sistem pemilihan umum untuk menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas, sehingga meminimalkan risiko pelanggaran yang bisa berujung pemakzulan.

Dengan upaya-upaya pencegahan ini, diharapkan mekanisme pemakzulan tetap ada sebagai jaring pengaman konstitusional namun tidak perlu digunakan karena pejabat tinggi negara mampu menjalankan amanah dengan baik.

Kesimpulan

Pemakzulan merupakan mekanisme konstitusional yang penting dalam sistem ketatanegaraan modern sebagai bentuk checks and balances terhadap kekuasaan eksekutif. Di Indonesia, prosedur pemakzulan diatur ketat dalam UUD 1945 untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan menjaga stabilitas pemerintahan.

Meski belum pernah terjadi pemakzulan presiden melalui mekanisme konstitusional di Indonesia, pemahaman yang baik tentang proses ini tetap penting bagi seluruh elemen bangsa. Hal ini untuk memastikan mekanisme pemakzulan bisa berjalan sesuai konstitusi jika memang diperlukan, namun juga tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik jangka pendek.

Pada akhirnya, pencegahan tetap lebih baik daripada pemakzulan. Upaya memperkuat integritas pejabat, meningkatkan transparansi pemerintahan, dan membangun budaya politik yang sehat perlu terus dilakukan. Dengan demikian, mekanisme pemakzulan tetap ada sebagai jaring pengaman konstitusional namun tidak perlu digunakan karena para pemimpin negara mampu menjalankan amanah dengan baik sesuai sumpah jabatan dan konstitusi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya