JK: Penanganan Konflik Aceh dan Papua Berbeda, Meski Sama-Sama Otsus

Meskipun telah dilakukan pembangunan infrastruktur, ternyata belum menjadi jawaban atas persoalan yang selama ini dirasakan masyarakat Papua.

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Sep 2019, 06:55 WIB
Diterbitkan 03 Sep 2019, 06:55 WIB
JK
Wapres Jusuf Kalla atau JK. (Merdeka.com)

Liputan6.com, Padang - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan penanganan konflik di Aceh dan Papua berbeda karena masing-masing daerah memiliki karakter yang tidak sama, meskipun keduanya diberikan kewenangan otonomi khusus dengan anggaran yang besar.

"Suatu daerah mempunyai karakter dan juga penanganan yang berbeda, walaupun anggaran untuk kedua provinsi tersebut, dibandingkan dengan daerah lain, itu per penduduknya jauh berbeda; tapi tetap saja ada ketidakpuasan sehingga menimbulkan masalah," kata JK di Hotel Grand Inna Padang, Sumatera Barat, Senin (2/9/2019) malam.

JK mengatakan, Aceh menjadi daerah yang aman sejak ditandatangani Perjanjian Helsinki, sebagian bentuk kesepakatan antara pemerintah dan pejuang kemerdekaan Aceh saat itu.

"Aceh menjadi sangat aman sejak 15 tahun lalu, setelah perdamaian kita lakukan dan otonomi khusus diberlakukan untuk dua provinsi tersebut. Tapi kenapa hasilnya berbeda? Papua tetap bergejolak sampai kemarin," ujarnya seperti dikutip Antara.

Menurut Wapres, persoalan di Papua disebabkan oleh beberapa hal, antara lain ketidakpuasan masyarakat lokal terhadap pemerintah pusat, kesenjangan sosial, dan ketidakadilan pembangunan di daerah.

"Ini termasuk bermacam-macam kemungkinan, antara lain pemerintahan yang tidak memuaskan masyarakat sehingga menimbulkan ketidakadilan; akibat pendidikan tidak merata sehingga menimbulkan kesenjangan; tidak memberikan pendapatan yang baik kepada masyarakat," jelas JK.

Meskipun telah dilakukan pembangunan infrastruktur di Papua, Wapres mengatakan hal itu ternyata belum menjadi jawaban atas persoalan yang selama ini dirasakan masyarakat di sana.

"Ternyata di Papua, infrastruktur yang dibangun dengan sangat sulit itu, tidak menambah atau malah tidak memberikan sesuatu hasil yang kita harapkan untuk pemerataan, harmonisasi dan kesejahteraan," katanya.

Oleh karena itu, Wapres berharap permasalahan di Papua tidak semakin berlarut-larut dan meminta semua masyarakat untuk saling menghargai dan menahan diri untuk tidak memprovokasi kondisi saat ini.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Menghargai Perbedaan

Wapres Jusuf Kalla juga mengimbau semua masyarakat untuk saling menghargai dan menjaga perasaan masyarakat Papua di tengah ketegangan yang terjadi di daerah timur Indonesia itu.

"Kita sendiri harus menjaga perasaan masing-masing, untuk menjaga keharmonisan bangsa ini. Di samping juga kita harus mengetahui masalah yang timbul di daerah ini," kata JK.

Wapres menjelaskan rangkaian kericuhan Papua yang terjadi sejak pertengahan Agustus lalu sebenarnya dipicu oleh persoalan ujaran kebencian yang menyinggung perasaan masyarakat asli Papua. Ujaran kebencian itu memicu persoalan lama yang dirasakan masyarakat Papua hingga menginginkan untuk memisahkan diri dari Indonesia.

"Di samping spirit fundamental daripada keinginan untuk memisahkan diri, juga khususnya disebabkan karena satu kata yang menyebabkan letupan, yang kita tahu semuanya yang dipersoalkan adalah kata 'monyet'," kata JK.

Ujaran kebencian memang menjadi pemantik yang mudah membakar emosi kelompok masyarakat hingga menyebabkan aksi unjuk rasa. Contoh kasus ujaran kebencian yang menimbulkan aksi massa besar juga terjadi pada 2017 di Jakarta, yakni kasus yang menimpa mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

"Juga pada saat dua atau tiga tahun lalu terjadi demo besar di Jakarta. Itu juga karena satu kata 'Al-Maidah'," tambahnya.

Oleh karena itu, Wapres meminta kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk menghargai perbedaan yang ada, baik suku, agama, ras dan golongan, dengan menekankan sikap saling menghargai dan tidak memprovokasi situasi konflik.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya