HEADLINE: Dewan Pengawas Disahkan, Ciptakan Matahari Kembar di KPK?

Revisi Undang-undang KPK telah disahkan. Di dalamnya diatur tentang dewan pengawas KPK.

oleh Hanz Jimenez SalimDelvira HutabaratFachrur RozieIka DefiantiYopi Makdori diperbarui 18 Sep 2019, 00:02 WIB
Diterbitkan 18 Sep 2019, 00:02 WIB
KPK Rilis Indeks Penilaian Integritas 2017
Pekerja membersihkan debu yang menempel pada tembok dan logo KPK di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (21/11). KPK merilis Indeks Penilaian Integritas 2017. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah mengetuk palu di depan puluhan orang anggota dewan yang hadir saat sidang paripurna pembahasan Revisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan diketuknya palu tersebut, Revisi UU KPK resmi disahkan menjadi undang-undang. 

"Apakah pembicaraan tingkat dua, pengambilan keputusan RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat disetujui untuk disahkan menjadi UU?" tanya Fahri dalam ruang sidang, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9/2019).

"Setuju," jawab seluruh anggota DPR yang hadir dalam sidang.

Sebelum disahkan, pemerintah dan DPR sempat tarik ulur tentang beberapa poin dalam undang-undang tersebut. Satu di antaranya mengenai pembentukan dewan pengawas KPK. 

Dewan pengawas KPK ini berjumlah lima orang dan memegang jabatan selama 4 tahun. Lembaga non-struktural ini memiliki tugas di antaranya memberikan atau menolak izin penyadapan, penggeledahan, atau penyitaan, menetapkan kode etik bagi pimpinan dan pegawai KPK serta mengawasi lembaga antikorupsi itu.

Presiden Jokowi menyatakan setuju dengan wacana pembentukan dewan pengawas untuk KPK. Menurutnya, setiap lembaga memang butuh pengawasan.

"Perihal keberadaan dewan pengawas. Ini memang perlu, karena setiap lembaga negara: Presiden, MA, DPR bekerja dengan prinsip check and balance. Saling mengawasi. Ini dibutuhkan untuk meminimalisir potensi potensi penyalahgunaan kewenangan. Ini saya kan presiden, presiden kan diawasi. Diperiksa BPK dan diawasi oleh DPR. Jadi kalau ada dewan pengawas saya kira itu sesuatu yang juga wajar. Dalam proses tata kelola yang baik," ujar Jokowi dalam jumpa pers yang digelar di Istana Negara, Jakarta, Jumat 13 September 2019 lalu.

Belakangan, DPR akhirnya sepakat dengan pemerintah terkait poin pemilihan dewan pengawas KPK yang dipilih langsung oleh Presiden.

"Dewas itu periode 4 tahun. Di dalam keputusan sekarang ini dewan pengawas KPK adalah sebanyak lima orang dan semuanya adalah dipilih oleh pemerintah atau presiden," ujar anggota Panja Revisi UU KPK Taufiqulhadi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin 16 September 2019.

Sementara itu kriteria anggota dewan pengawas adalah warga negara dengan umur paling rendah 55 tahun. Dengan latar belakang bukan orang partai politik.

"Enggak bisa, karena tidak boleh anggota parpol," kata Taufiqulhadi.

Dalam Undang-undang KPK yang baru saja disahkan, anggota dewan pengawas untuk periode pertama dipilih oleh presiden. Namun pada periode selanjutnya, presiden akan membentuk panitia seleksi (Pansel) untuk memilih Dewas.

Pansel bakal bertugas menjaring dan menyeleksi orang-orang yang mendaftar sebagai anggota dewan pengawas dan menyerahkan nama-nama hasil seleksi ke presiden.

Setelah itu, presiden mengirimkan nama-nama calon anggota dewan pengawas ke DPR untuk dikonsultasikan. Presiden kemudian menetapkan ketua dan anggota dewan pengawas KPK.

Namun, keberadaan dewan pengawas ini justru ditolak berbagai pihak, satu di antaranya Indonesia Corruption Watch (ICW). Koordinator Divisi Politik ICW, Donal Fariz menyebut, dewan pengawas justru menambah beban bagi KPK. Menurut Donal, dewan pengawas justru membuat rumit proses penegakan hukum.

Contohnya, KPK harus mendapat izin dari dewan pengawas untuk melakukan penyadapan. Hal ini malah menghambat lembaga antirasuah itu dalam menindak dan mengungkap kasus korupsi.

"Menurut saya tidak ada urgensinya dewan pengawas itu secara hukum," kata Donal kepada Liputan6.com di Jakarta, Selasa (17/9/2019).

Selain merugikan KPK, Donal menganggap, keberadaan dewan pengawas juga bisa menjadi bumerang bagi presiden. Apalagi, hanya presiden yang berwenang memilih orang-orang yang duduk dalam dewan pengawas. Alhasil, pemilihan anggota dewan pengawas sarat nuansa politik. 

"Presiden akan banyak dituding intervensi dan mengganggu proses hukum. Sebab, itu orang-orang presiden," ungkap Donal.

Donal kemudian membandingkan dewan pengawas KPK dengan lembaga pengawas lainnya, yakni Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komisi Kejaksaan. 

Menurut Donal, Kompolnas dan Komisi Kejaksaan hanya mengurusi masalah etik saja, tidak ikut campur dalam proses penindakan suatu perkara.

"Kompolnas tidak mempunyai kewenangan untuk menentukan penyadapan, hanya persoalan etik saja. Komisi Kejaksaan juga tidak punya kewenangan untuk menentukan penyadapan atau penyitaan," terang Donal.

Infografis Kesepakatan Pembentukan Dewan Pengawas KPK. (Liputan6.com/Triyasni)

Donal menganggap, kewenangan berlebih dari dewan pengawas KPK ini justru bisa menghambat bahkan hingga mengganggu penindakan yang dilakukan KPK. "Nanti bisa menimbulkan kemacetan proses hukum, plus ada lagi matahari kembar, kewenangan penyidikan itu kan ada di pimpinan, bukan ada di penyidik," tambah Donal.

Dengan disahkannya UU KPK ini, mau tidak mau, suka tidak suka, kinerja KPK akan diawasi. Namum, Donal menolak menyebut nama-nama tokoh yang pantas mengisi kursi Dewas KPK.

"Saya enggak mau bicara siapa yang mengisi. Kami tetap menolak dewan pengawas," ucap dia.

Penolakan terhadap dewan pengawas juga diutarakan Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun. Menurut Refly, keberadaan dewan pengawas bukan soal tumpang tindih kewenangan. Lebih dari itu, dewan pengawas KPK dianggapnya bisa melemahkan KPK.

"Kalau kita bicara dengan kondisi negara yang normal, dengan tingkat korupsinya tidak tinggi, wajar saja kalau penyadapan (harus) izin. Kalau dikembalikan ke dewan pengawas, maka dewan pengawas itu akan menciptakan matahari kembar di KPK," ungkap Refly kepada Liputan6.com di Jakarta, Selasa (17/9/2019).

Saksikan video pilihan berikut ini:

'KPK Perlu Diawasi'

Ilustrasi KPK
Gedung KPK (Liputan6/Fachrur Rozie)

Di pihak lain, Pengamat Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Muzakir berpendapat, perlu adanya dewan pengawas untuk mengawasi kinerja KPK.

"KPK kan enggak ada pengawasnya, karena setiap lembaga yang diberikan wewenang harus ada yang mengawasi," kata Muzakir kepada Liputan6.com di Jakarta, Selasa (17/9/2019).

Namun, Muzakir tak sepakat apabila dewan pengawas punya kewenangan untuk memberikan atau menolak izin sadap yang diajukan KPK. Menurutnya, hal itu bukan ranah dari lembaga pengawas.

"Ketika seseorang diduga melakukan tindak pidana, dia disadap. Sadap itu diperoleh dari komisioner, nanti diawasi dewan pengawas. Jadi jangan sampai dewan pengawas memberikan izin, nanti dewan pengawas siapa yang mengawasi lagi," terang Muzakir.

Muzakir menilai, ada tiga hal yang perlu diawasi dewan pengawas KPK. Pertama adalah mengawasi kode etik, mulai dari pimpinan hingga karyawan KPK. Kedua adalah mengawasi keuangan KPK, dan ketiga adalah mengawasi tata cara serta prosedur KPK dalam melakukan penindakan hukum.

Muzakir menyarankan, dewan pengawas diisi oleh pakar dan ahli hukum, khususnya yang mengerti masalah penanganan kasus korupsi. Selain itu, para dewan pengawas juga harus independen dan tidak terafiliasi partai politik.

Mantan Ketua Mahkamah Konsitutusi (MK), Mahfud Md juga mendukung keberadaan dewan pengawas KPK. Menurut dia, KPK memang harus diawasi karena terkadang komisioner KPK ada yang tidak tahu tentang adanya operasi tangkap tangan (OTT). 

"Nah sekarang mungkin itu benar, itu bagus, mungkin itu efektif tetapi mungkin agar lebih bagus dan lebih bertanggung jawab kalau ada dewan pengawas," kata Mahfud seperti dilansir dari Antara, Minggu 15 September 2019.

Menurut dia, untuk menentukan siapa pengawas KPK perlu didiskusikan dengan matang dan tidak berburu-buru. Untuk menentukannya, perlu memanfaatkan waktu pembahasan RUU yang tersedia, yakni 60 hari dengan mendengarkan pendapat publik, serta studi ke berbagai kampus.

"Ini masalah pro-justitia, masak yang mengawasi bukan pro-justitia, tidak punya hak memeriksa perkara tiba-tiba melarang orang memproses perkara. Ini yang harus kita diskusikan," kata dia.

Dukungan terhadap pembentukan dewan pengawas KPK juga disampaikan Kepala Kantor Staf Kepresidenan, Moeldoko. Ia menganggap, semua lembaga perlu diawasi.

"Saya pikir enggak lah. Semua organisasi itu ada pengawasnya. Organisasi demit aja yang enggak ada pengawasnya. Semua organisasi itu harus ada pengawasnya, terkontrol dengan baik ," kata Moeldoko di komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, (17/9/2019).

Moeldoko yakin, dewan pengawas KPK profesional dan independen dalam menjalankan tugasnya. Sebab masyarakat percaya lembaga antirasuah dan harus dijaga.

"Kepercayaannya tidak boleh kurang sedikitpun. Nah kepercayaan agar tidak bisa dikurangi siapapun maka harus ada yang mengawalnya," ungkap Moeldoko.

Respons KPK

Bebaskan Terdakwa, KPK Tunjukkan Barang Bukti Suap Hakim Balikpapan
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif memberi keterangan pers terkait OTT hakim PN Balikpapan Kayat di Gedung KPK, Sabtu (4/5/2019). KPK mengamankan uang muka Rp 100 juta dari Rp 500 juta yang dijanjikan untuk membebaskan Sudarman (SDM) di kasus pemalsuan surat. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Ketentuan pembentukan Dewan Pengawas diatur dalam Undang-Undang (UU) KPK yang baru saja direvisi dan disahkan oleh DPR dalam sidang paripurna di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9/2019).

Berdasarkan pasal 37B, dewan pengawas terdiri dari satu ketua dan empat anggota yang dipilih Presiden. Mereka memiliki enam tugas, yaitu:

1. Mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi.

2. Memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.

3. Menyusun dan menetapkan kode etik Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi.

4. Menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang.

5. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi.

6. Melakukan evaluasi kinerja Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala satu kali dalam satu tahun. Selain itu, Dewan Pengawas juga wajib membuat laporan pelaksanaan tugas secara berkala satu kali dalam satu tahun dan disampaikan kepada Presiden serta DPR. Kemudian, syarat usia Dewan Pengawas paling rendah 55 tahun.

KPK pun akhirnya memberikan tanggapan mengenai revisi UU KPK, termasuk pembentukan dewan pengawas. Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif menyebut, pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK oleh DPR akan melumpuhkan penindakan lembaga antirasuah.

"UU KPK versi revisi akan melumpuhkan penindakan KPK. Revisi yang disepakati kemarin bahkan melampaui instruksi Presiden yang disampaikan dalam konferensi pers minggu yang lalu," ujar Laode saat dikonfirmasi, Selasa (17/9/2019).

Laode menyesalkan, pengesahan revisi UU tersebut. Menurut Laode, UU KPK yang baru saja disahkan akan melemahkan penindakan oleh lembaga antirasuah.

"Jika dokumen yang kami terima via ‘hamba Allah’ banyak sekali norma-norma pasal yang melemahkan penindakan di KPK," ucap Laode.

Laode mengaku, belum mengetahui secara resmi isi UU KPK yang baru. Laode menyebut, pihaknya hanya menerima isi UU KPK dari hamba Allah lantaran KPK tidak ikut dalam pembahasan serta belum dikirimi UU tersebut secara resmi oleh DPR maupun Pemerintah.

Berdasarkan dokumen yang dia sebut dari hamba Allah, Laode membeberkan poin-poin yang akan melemahkan lembaga antirasuah. Pertama yakni soal Komisioner KPK bukan lagi sebagai penyidik dan penuntut umum.

"Komisioner KPK bukan lagi sebagai penyidik dan penuntut umum. Penyadapan, penggeledahan, penyitaan harus izin dewan pengawas," kata dia.

"Dewan Pengawas diangkat oleh Presiden. Komisioner bukan lagi pimpinan tertinggi di KPK. Status Kepegawaian KPK berubah Drastis dan harus melebur menjadi ASN," Laode menambahkan.

Menurut Laode, poin-poin tersebut berpotensi besar menggangu independensi KPK dalam mengusut suatu kasus.

"Masih banyak lagi detil-detil lain yang sedang kami teliti dan semuanya jelas akan memperlemah penindakan KPK," kata Laode.

Sementara Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan mengisyaratkan, setuju dengan pengesahan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menjadi UU oleh DPR.

"Kalau sudah paripurna kita ikut," ujar Basaria singkat saat dikonfirmasi, Selasa (17/9/2019).

Sejumlah Tokoh Diusulkan

Kwik Kian Gie
Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri, Kwik Kian Gie tiba untuk memenuhi panggilan penyidik KPK di Jakarta, Kamis (11/7/2019). Kwik dipanggil sebagai saksi untuk kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Anggota Badan Legislatif DPR, Arsul Sani menjamin, tidak ada tumpang tindih kewenangan antara pimpinan KPK denga dewan pengawas. 

"Apanya yang tumpang tindih. Kan sudah ada porsinya masing-masing, tupoksi masing-masing," ucap Arsul kepada Liputan6.com di Jakarta, Selasa (17/9/2019).

Arsul juga yakin, anggota dewan yang bakal dipilih presiden nanti punya integritas dan independen. Terpenting, kata Arsul, para anggota dewan pengawas tidak bisa diintervensi oleh siapapun.

"Tinggal siapa yang kita pilih sebagai dewan pengawas, kan nanti lewat proses seleksi. Supaya yang duduk di dewan pengawas adalah orang-orang yang tidak bisa diintervensi dan tidak mau mengintervensi," kata Arsul.

Arsul pun mengungkapkan, beberapa nama yang pantas masuk sebagai dewan pengawas KPK. Mereka di antaranya Mantan Panglima TNI Widodo AS, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Abdul Malik Fadjar, dan Salahuddin Wahid atau Gus Solah.

"Kira-kira tokoh-tokoh sekelas itulah. Bukan orang sembarangan," ungkap Arsul.

Sementara Anggota Komisi III DPR Zulfan Lindan berpendapat, anggota dewan pengawas KPK harus diisi dengan orang yang netral dan tidak memiliki kepentingan. Menurutnya, dewan pengawas harus diisi oleh seorang akademisi yang independen.

"Kriteria dewan pengawas harus betul-betul independen, bisa akademisi. Dari fraksi, saya meminta orang-orang ini harus yang betul-betul bebas dari persoalan korupsi dan tidak ada kepentingan sama sekali," ujar Zulfan dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini Jakarta Pusat, Sabtu 14 September 2019 lalu.

Politisi Partai Nasdem itu lantas mengusulkan nama ekonom Kwik Kian Gie serta ahli hukum yang juga mantan hakim agung Artidjo Alkostar. Keduanya dinilai memiliki integritas yang mumpuni untuk mengawasi kinerja KPK.

"Kwik Kian Gie siapa sih yang ragu sama beliau. Ada juga Artidjo seorang ahli hukum dan pernah jadi hakim agung. Siapa yang meragukan mereka. Kita kasih kriteria modelnya seperti dua orang itu," jelasnya.

Artidjo merupakan hakim yang paling ditakuti oleh para koruptor. Dia tak pernah kompromi dalam memutuskan hukuman bagi para koruptor. Setiap para koruptor mengajukan kasasi, Artidjo tak segan melipatgandakan hukuman penjara mereka.

Sementara itu, Kwik Kian Gie pernah menjadi Menteri Koordinator Ekonomi dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas. Kendati mumpuni, Kwik dan Artidjo masing-masing telah berumur 84 dan 71 tahun.

Zulfan menyebut, pihaknya tidak akan mempermasalahkan jika nantinya dewan pengawas diisi oleh mereka yang sudah berumur.

"Saya sih tidak masalah kalau dewan pengawas diisi oleh mereka yang sudah berumur 60-75 tahun. Di Jepang saja orang makin tua makin luar biasa," tuturnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya