Liputan6.com, Jakarta - 24 September 2014, mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan.
Anas diseret ke meja hijau terkait kasus dugaan penerimaan gratifikasi terkait proyek Pusat Pelatihan, Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, kasus pencucian uang, serta proyek lain.
Selama proses hukumnya bergulir, Anas didampingi pengacara senior Adnan Buyung Nasution.
Advertisement
Hukuman ini lebih ringan dari tuntutan jaksa sebelumnya yang menuntut mantan anggota KPU itu hukuman penjara 15 tahun dan denda Rp 500 juta subsider 5 bulan kurungan. Jaksa penuntut umum juga meminta majelis hakim mencabut hak politik Anas.
Guna mengungkap keterlibatan mantan ketua PB HMI itu dalam sejumlah kasus yang disangkakan, jaksa menghadirkan 250 saksi.
Dalam pembelaannya, Anas mengatakan banyak tuntutan jaksa yang tidak berdasarkan hukum, bahkan cenderung berbau politik. Puncaknya, kata Anas, yaitu saat jaksa menuntut agar hak politiknya dicabut.
"Sungguh tidak rasional, absurd, mengada-ngada dan hanya berdasarkan cerita kosong seorang saksi istimewa M. Nazaruddin," kata Anas saat membacakan nota keberatan atau pleidoi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis 18 September 2014.
Di dalam sidang Anas membacakan pledoi atau pembelaannya setebal 80 halaman.
Saat sidang Anas juga mengungkapkan penyesalannya menerima dorongan rekan-rekannya untuk maju sebagai Ketua Umum Partai Demokrat pada kongres di Bandung 2010 lalu.
Anas Urbaningrum kemudian mengajukan banding atas vonis majelis hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dalam kasus dugaan korupsi gratifikasi atau penerimaan hadiah proyek P3SON Hambalang, proyek-proyek lainnya, serta pencucian uang.
Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta meringankan vonisnya dari 8 tahun menjadi 7 tahun penjara. Anas Urbaningrum tetap dikenakan denda sebesar Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan. Putusan itu, dijatuhkan pada 4 Februari 2015.
Hal lain yang berubah dari putusan yang diketuai Majelis Hakim Syamsul Bahri Bapatua adalah terkait barang bukti berupa tanah di Krapyak, Yogyakarta, yang sebelumnya diputuskan untuk disita. Tanah tersebut dikembalikan ke Attabik Ali selaku Pimpinan Pondok Pesantren Krapyak.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Hukuman Diperberat Jadi 14 Tahun
Anas Urbaningrum kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Upaya hukum tersebut menemui kegagalan.
Majelis Hakim Agung di Mahkamah Agung melipatgandakan hukuman yang harus dipikul mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu menjadi 14 tahun pidana penjara, denda Rp 5 miliar subsider 1 tahun 4 bulan kurungan.
Berdasarkan keterangan yang diterima Liputan6.com dari Mahkamah Agung, Senin 8 Juni 2015, Majelis Hakim Agung yang terdiri dari Artidjo Alkostar, Krisna Harahap dan MS Lumme itu mengabulkan pula permohonan Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta agar Anas dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak dipilih untuk menduduki jabatan publik.
Majelis berkeyakinan, Anas telah melakukan perbuatan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a Undang-undang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 KUHP, Pasal 3 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, serta Pasal 3 ayat 1 huruf c UU No 15 Tahun 2002 jo UU No 25 Tahun 2003.
Selain menolak kasasi Anas Urbaningrum, Majelis Hakim Agung di Mahkamah Agung juga mengharuskannya membayar uang pengganti Rp 57.592.330.580 kepada negara.
Bila uang pengganti ini dalam waktu 1 bulan tidak dilunasinya, seluruh kekayaannya akan dilelang. Dan bila masih juga belum cukup, Anas terancam penjara selama 4 tahun.
Mengajukan PK
Tak terima dengan vonis MA, Anas Urbaningrum yang merupakan terpidana tindak pidana korupsi proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK).
Pada memori PK yang diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ada beberapa alasan Anas mengajukan permohonan itu. Antara lain, dia merasa menjadi korban kepentingan politik.
Pengacara Anas, Abang Nuryasin menilai muatan politis dalam penyidikan terhadap Anas sangat kental. Ini diawali dengan adanya surat perintah penyidikan Anas yang bocor ke publik. Peristiwa itu dianggap kubu Anas sebagai bentuk kesewenangan penguasa saat itu.
Perkara PK Anas mengantongi nomor 246 PK/Pid.Sus/2018. PK Anas Urbaningrum itu diadili oleh ketua majelis Syarifuddin. Adapun anggota majelis yaitu Andi Samsan Nganro dan hakim ad hoc tipikor tingkat kasasi, M Askin.
Sementara itu, dalam kesimpulan permohonan PK, Kamis 12 Juli 2018, Anas meminta Mahkamah Agung membebaskannya.
"Kami ingin agar yang pertama majelis mengabulkan permohonan PK, membatalkan putusan MA Nomor 1261.k/pidsus/2015, dan mengadili membebaskan pemohon PK dari semua dakwaan jaksa," kata Anas kepada hakim.
Advertisement