Liputan6.com, Jakarta - Top 3 news hari ini, Presiden ke-2 RI Soeharto dan keluarganya selalu diidentikkan dengan istilah Cendana. Sebagai Presiden, Soeharto tidak tinggal di Istana Kepresdinan, tapi dia justru memilih tinggal di Jalan Cendana No 8, Menteng, Jakarta Pusat.
Banyak alasan dan rumor yang beredar mengapa Presiden Soeharto memilih untuk tinggal di Jalan Cendana. Salah satunya karena kejawen. Pertimbangan Soeharto lebih kepada faktor keluarga.
Dia khawatir dengan tinggal di Istana, keluarganya akan sulit bergaul dengan masyarakat. Sedangkan di Cendana, mereka tidak dijaga terlalu ketat ketimbang masuk dalam lingkungan Istana.
Advertisement
Sementara itu, unggahan bernada negatif di media sosial terkait penusukan Menko Polhukam Wiranto membuat empat anggota TNI dicopot dari jabatannya.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan, sikap TNI menindak tegas anggota yang istrinya nyinyir soal kasus penusukan Wiranto di media sosial sudah tepat.
Menurutnya apa yang dilakukan istri menjadi tanggung jawab suami. Lantas apa dasar hukum pencopotan dan penahanan terhadap keempat anggota TNI ini?
Tidak hanya terjadi pada para suami dampak postingan nyinyir tersebut, keempat istri anggota TNI juga terancam hukuman penjara.
Berikut berita terpopuler di kanal News Liputan6.com, sepanjang Selasa, 15 Oktober 2019:
Saksikan video pilihan di bawah ini:
1. Cerita Soeharto yang Pilih Tinggal di Jalan Cendana
Presiden Kedua Republik Indonesia Soeharto memilih tinggal di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta Pusat. Sampai sekarang, istilah Cendana selalu diidentikkan dengan Soeharto dan keluarga.
Lantas, kenapa Soeharto memilih tinggal di sana daripada Istana?
Menurut Soeharto, jika tinggal di Istana akan sangat sulit untuk keluarganya bisa bergaul dengan masyarakat. Di Cendana, walaupun dijaga ketat, masih lebih longgar ketimbang orang harus masuk Istana.
Sebelumnya, Soeharto tinggal di Jalan Agus Salim, Jakarta Pusat. Namun, para pengawal kepresidenan menilai rumah itu tak aman, karena ada gedung tinggi di belakangnya.
Kala itu, dikhawatirkan ada penembak atau ancaman lain pada keluarga Soeharto.
"Yang mengurus soal keamanan menganggap lebih baik pindah. Keamanan diri kami sangat dijaga, maklumlah," kata mantan Panglima Kostrad itu.
Situasi saat itu memang belum sepenuhnya aman. Gesekan antara Pendukung Orde Lama dan Orde Baru masih terjadi dan menimbulkan korban jiwa.
Soeharto juga menyebut Istana juga bukan hanya milik presiden. Karena itu dia ingin membuat banyak acara sehingga masyarakat juga bisa masuk ke dalam istana.
Advertisement
2. HEADLINE: Jabatan Suami Dicopot, Pidana Menanti Istri-Istri TNI Nyinyir di Medsos?
Mata Irma Zulkifli Nasution terlihat sembab dan berkaca-kaca. Dia tak kuasa menahan air mata kala harus menyalami satu per satu kolega-koleganya di jajaran Kodim 1417 Kendari. Meski sedih, Irma berusaha tetap tegar dan menebar senyum ke tamu yang hadir di Aula Sudirman Korem 143 Haluoleo Kendari, Sabtu 12 Oktober 2019.
Hari itu, bisa jadi menjadi momen tak terlupakan bagi Irma. Istri Kolonel Hendi Suhendi (HS) ini harus menerima kenyataan jabatan sang suami sebagai Komandan Distrik Militer (Dandim) 1417 Kendari, dicopot mendadak.
Kolonel Hendi dilengserkan karena unggahan negatif Irma di media sosial terkait penusukan Menko Polhukam Wiranto.
Irma dan Kolonel Hendi Suhendi tidak sendiri. Sejumlah rekannya di TNI juga mengalami hal yang sama. Mereka adalah anggota Satpom AU Lanud Muljono Surabaya Peltu YNS, Sersan Dua Z yang bertugas di Detasemen Kavaleri Berkuda Bandung.
Terakhir adalah seorang bintara di Detasemen Kavaleri Berkuda Komando Pendidikan dan Latihan TNI AD Sersan Dua J.
3. Survei Populi: Pengaduan Balai Kota Era Ahok Jauh Lebih Baik dari Anies
Lembaga Populi Center merilis hasil survei jelang dua tahun kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Survei ini juga membandingkan kinerja Anies Baswedan dengan Gubernur DKI Jakarta era sebelumnya, yakni Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Berdasarkan hasil survei, sebagian besar masyarakat Jakarta menilai bahwa Ahok jauh lebih unggul dari Anies dalam menangani pengaduan di Balai Kota DKI.
"Untuk kebijakan pengaduan di balai kota, baik dalam pertanyaan eksperimen maupun kontrol, kebijakan Ahok (eksperimen: 60,0 persen; kontrol: 63,0 persen) unggul jauh dari kebijakan Anies (eksperimen: 27.7 persen; kontrol: 27,3 persen)," ungkap Peneliti Populi, Jefri Ardiansyah melalui rilis survei yang diterima Liputan6.com, Senin, 14 Oktober 2019.
Jefri menjelaskan, di era Ahok, pengaduan warga di Balai Kota diterima dan direspons langsung oleh Gubernur. Sedangkan di era Anies Baswedan, pengaduan warga diterima dan direspons hanya oleh dinas di Pemprov DKI.
(Jagat Alfat Nusantara)
Advertisement