Sejarawan Bonnie Triyana Beberkan Warisan Kolonialisme yang Masih Melekat di Indonesia

Sejarawan Bonnie Triyana menilai, masih terdapat perilaku kolonialitas atau kolonialisme yang kemungkinan melekat di tengah kehidupan masyarakat Indonesia.

oleh Liputan6.com diperbarui 18 Jun 2023, 02:12 WIB
Diterbitkan 16 Jun 2023, 23:05 WIB
Sejarawan Bonnie Triyana menyampaikan pidato kebudayaan di Pendopo Museum Multatuli, Lebak, Banten, Jumat (16/6/2023).
Sejarawan Bonnie Triyana menyampaikan pidato kebudayaan di Pendopo Museum Multatuli, Lebak, Banten, Jumat (16/6/2023). (Ist)

Liputan6.com, Jakarta - Sejarawan Bonnie Triyana mengungkapkan masih terdapat perilaku kolonialitas yang melekat di tengah kehidupan masyarakat.

Dia menilai, meski pun kolonialisme sudah berakhir seiring hengkangnya kekuasaan Belanda di Indonesia, tetapi sejumlah perilaku tersebut kemungkinan masih membelenggu dalam kehidupan sehari-hari.

Hal itu diungkapkan Bonnie dalam pidato kebudayaan di Pendopo Museum Multatuli, Lebak, Banten, Jumat (16/6/2023).

"Kolonialitas sebagai sebuah konsep untuk menggambarkan dampak sosial, budaya, dan epistemik dari kolonialisme masih bisa kita kenali hingga hari ini, mengacu pada cara-cara warisan kolonial yang berdampak pada sistem budaya dan sosial serta pengetahuan dan produksinya," ujar Bonnie melalui keterangan tertulis, Jumat (16/6/2023).

Menurut dia, dalam catatannya, paling tidak ada 10 hal dalam kehidupan sehari-hari yang masih terwarisi dampak kolonialisme di berbagai bidang.

Salah satunya, kata Bonnie, di sektor pendidikan, di mana, pemerintah kolonial menyediakan pendidikan tidak untuk semua golongan, melainkan hanya kepada kaum bangsawan yang semenjak kedatangan kolonialisme ke Indonesia dan jadi rekan sejawat dalam memerintah negeri ini.

"Hanya golongan elit yang mampu mengakses pendidikan bermutu tinggi tersebut hari ini, sebagaimana golongan bangsawan di masa lalu," ucap Bonnie.

Kemudian, lanjut dia, bidang lain yang masih terwarisi kolonialisme adalah berlangsungnya feodalisme sebagai hal paling erat di sistem politik Indonesia.

Menurut Bonnie, sejak terbentuknya VOC pada 1602 mulai berlaku sebutan bupati yang diartikan sebagai sebutan para anggota kelompok elit yang berdinas.

"Mereka dipilih atas hubungan darah, keturunan , dan banyaknya pemberian upeti. Bahkan cara kerja pemilihan ini dibuat oleh petinggi pribumi, sedangkan Gubernur VOC tidak tahu," ungkap dia.

Ternyata, kata Bonnie, feodalisme memang berangkat dari pribumi sendiri yang memiliki keistimewaan atas kekayaan yang dimiliki.

"Mereka dipilih atas dasar kepemilikannya, bukan seberapa bagus kinerjanya," tutur Bonnie.

 

Sebutan Lainnya

Sejarawan Bonnie Triyana menyampaikan pidato kebudayaan di Pendopo Museum Multatuli, Lebak, Banten, Jumat (16/6/2023).
Sejarawan Bonnie Triyana menyampaikan pidato kebudayaan di Pendopo Museum Multatuli, Lebak, Banten, Jumat (16/6/2023). (Ist)

Sementara itu, menurut Bonnie, adipati memiliki tugas untuk memantau kegiatan masyarakat dalam sektor agraris dan pemberian upeti.

Bahkan, kata dia, mereka juga mengumpulkan upeti dari masyarakatnya. Selain itu, jabatan-jabatan terendah seperti kepala distrik diwajibkan untuk memberikan hadiah kepada atasannya agar jabatannya bisa bertahan.

"Pemberian hak istimewa kepada mereka tidak sepadan dengan kinerja yang dilakukannya. Hal ini memiliki pola yang sama pada saat ini, dengan nuansa feodalisme gaya baru yang hari ini praktiknya bisa kita lihat berkelindan dalam praktik demokrasi elektoral," papar Bonnie.

Bonnie juga menyoroti sektor kesehatan yang sejak zaman Belanda banyak warga belum terpenuhi kebutuhan dasar gizinya. Hal itu mengakibatkan kekurangan gizi dan bertendensi pada stunting yang menjadikan tumbuh kembang anak terhambat.

"Demikian halnya dengan diskriminasi rasial yang secara formal sejak 1812 merancang aturan melalui lewat kesepakatan Belanda dan kesultanan untuk melindungi orang Tionghoa dan melahirkan banyak masalah. Belanda juga menganggap orang Jawa sebagai orang yang mendalami sejarah, tetapi tertinggal dalam segi perkembangan ilmiah lewat 'mitos pemalas'," terang dia.

 

Hal Lain yang Disorot

Sejarahwan Bonnie Triyana
Sejarahwan Bonnie Triyana pada rangkaian kegiatan yang diadakan Badan Kebudayaan Nasional Pusat PDIP dalam pekan Bung Hatta dari 9 sampai 14 Agustus 2021. (Foto: Istimewa).

Bonnie juga menyoroti trauma terhadap paham kiri dan kanan. Menurut dia, kekerasan sering dilazimkan sebagai resolusi saat merespons segala hal yang terjadi di status quo. Bonnie tegas menolak mitos buruh pemalas.

"Jadi mitosnya, kalau gaji buruh dinaikan, maka akan semakin malas bekerja," ucap dia.

Selain itu, Bonnie juga memberikan kritik terhadap praktik stratifikasi sosial dan menyebabkan diskriminasi terhadap kelas bawah.

"Jabatan-jabatan tertinggi terus diisi oleh pihak yang kuat dan mempunyai hak istimewa sedari awal. Ketika mereka sudah berada di strata atas, maka dengan mudahnya membuat kebijakan yang bisa menyengsarakan kelas bawah. Seperti pungutan liar dalam sekolah, setoran atau pemberian hadiah kepada atasan, dan gratifikasi," urainya.

Bonnie ikut mengecam patriarki dalam politik. Kolonialisme merangkul feodalisme yang melestarikan sistem patriarkis yang cara kerjanya masih berlaku hingga hari ini.

Terakhir, Bonnie menyorot apartheid dalam pembangunan kota. Bukan rahasia lagi jika pengembang perumahan kelas menengah atas mampu menghadirkan berbagai fasilitas umum dan sosial bagi warganya.

"Jauh lebih baik dari warga yang tinggal di perkampungan tanpa kehadiran berbagai fasilitas sebagaimana yang dinikmati oleh mereka yang hidup di dalam komplek perumahan elit," tutupnya.

Infografis Penggolongan Masyarakat Era Hindia Belanda
Infografis Penggolongan Masyarakat Era Hindia Belanda
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya