Ahli Harvard Sebut Corona Sudah Masuk Indonesia, Ini Kata Kemenkes

Kemenkes menilai bahwa penelitian yang dilakukan ahli dari Harvard itu merupakan model matematika melalui volume penerbangan antara Wuhan dan 26 negara lainnya.

oleh Lizsa Egeham diperbarui 10 Feb 2020, 20:08 WIB
Diterbitkan 10 Feb 2020, 20:08 WIB
Mendarat di Batam, WNI dari Wuhan Langsung Disemprot Disinfektan
Petugas mengenakan alat pelindung saat mengevakuasi WNI dari Wuhan, China di bandara internasional Hang Nadim, Batam, Minggu (2/2/2020). Korban meninggal dunia akibat Virus Corona di seluruh wilayah daratan China telah mencapai 304 orang. (Photo by Handout/Indonesian Embassy/AFP)

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menanggapi penelitian Harvard Univesity yang menyatakan bahwa virus Corona mungkin telah masuk ke Indonesia, tapi tak terdeteksi.

Kemenkes menilai bahwa penelitian yang dilakukan ahli dari Harvard itu merupakan model matematika melalui volume penerbangan antara Wuhan dan 26 negara lainnya. Sehingga, kalkulasi itu belum bisa dipastikan kebenarannya.

"Saya sudah baca penelitiannya. Penelitian Harvard itu model matematika untuk memprediksi dinamika penyebaran novel Corona virus berdasarkan seberapa besar orang lalu lalang," ujar Kepala Badan Litbang Kesehatan Kemenkes Siswanto di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (10/2/2020).

Menurut dia, apabila mengikuti model penelitian ahli Harvard itu, seharusnya sudah ada 6 hingga 7 kasus virus Corona di Indonesia. Namun, Siswanto memastikan bahwa hingga kini belum ada masyarakat Indonesia yang terpapar virus asal Kota Wuhan, China, itu.

"Kalau berdasarkan garis itu Indonesia harusnya ada 6-7 kasus. Ya harusnya justru kita bersyukur. Kita sudah teliti dengan benar. Itu prediksi saja," jelasnya.

 

Analisis Jumlah Penumpang

Sebuah studi yang dilakukan oleh Harvard University menganalisis jumlah penumpang yang terbang dari Wuhan ke destinasi-destinasi di seluruh dunia. Studi tersebut menemukan bahwa jumlah kasus virus Corona yang teridentifikasi di Indonesia maupun di Kamboja ternyata di bawah perkiraan.

Studi yang dipublikasikan segera dengan tujuan meningkatkan pemahaman para peneliti mengenai wabah virus Corona 2019-nCoV itu belum direview lebih lanjut, juga meningkatkan kekhawatiran bahwa kasus di dua negara tidak teridentfikasi.

Sementara itu, melansir laman Channel News Asia, kecepatan persebaran virus Corona juga diduga memiliki keterkaitan dengan kondisi iklim suatu negara. Ada anggapan bahwa pola seasonal virus Corona baru bisa jadi serupa dengan infeksi influensa dan SARS. Kedua kasus tersebut turun drastis pada Mei ketika suhu cuaca di China menghangat.

Pada negara-negara dengan suhu serupa China dan AS, musim flu biasanya mulai Desember dan mencapai puncaknya pada Januari atau Februari dan menurun setelahnya. SARS berakhir pada 2003 ketika musim panas utara muncul.

Banyak penelitian terhadap virus Corona yang menyebabkan pilek bisa bertahan 30 kali lebih lama pada daerah dengan suhu 6 derajat Celsius dibandingkan dengan wilayah dengan suhu 20 derajat Celsius dan tingkat kelembapan tinggi

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya