Cerita Rahmi, Penyuluh Agama di NTB Urus Jenazah Pasien ODP Covid-19

Rahmi Kusbandiyah Sya’ban menuturkan pengalamannya saat harus memandikan jenazah pasien yang tergolong Orang Dalam Pengawasan (ODP) Corona Covid-19.

oleh Muhammad Ali diperbarui 06 Jun 2020, 01:23 WIB
Diterbitkan 06 Jun 2020, 01:23 WIB
Gambar ilustrasi Virus Corona COVID-19 ini diperoleh pada 27 Februari 2020 dengan izin dari Centers For Desease Control And Prevention (CDC). (AFP)
Gambar ilustrasi Virus Corona COVID-19 ini diperoleh pada 27 Februari 2020 dengan izin dari Centers For Desease Control And Prevention (CDC). (AFP)

Liputan6.com, Jakarta Rahmi Kusbandiyah Sya’ban menuturkan pengalamannya saat harus memandikan jenazah pasien yang tergolong Orang Dalam Pengawasan (ODP) Corona Covid-19. Ketua Kelompok Kerja Penyuluh (Pokjaluh) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) itu mengaku takut melakukan hal tersebut. Namun semua itu harus dikesempingkan demi tugas yang harus tetap berjalan.

“Pertama yang kami rasakan, ketakutan dan kekhawatiran itu pasti ada. Apalagi dalam suasana yang seperti ini,” ujar Rahmi yang dikutip dari Kemenag.go.id, Jumat (5/6/2020).

Namun kemudian ketakutan dan kekhawatiran yang ia rasakan pupus karena kesadaran akan kewajiban yang lebih besar sebagai seorang muslim, lebih khusus karena dirinya menyandang status sebagai Penyuluh Agama Islam Fungsional (PAIF) yang bertugas melayani masyarakat.

'Kewajiban kita sebagai muslim yang hidup kepada saudara kita yang meninggal kan memandikan, mengkafani, menyolatkan, dan menguburkan,” kata Rahmi.

“Nah kalau kita yang bisa saja tidak berani melakukannya, lalu siapa yang akan melakukannya? Berangkat dari sebuah kewajiban dan hati nurani, ditambah lagi kita harus ikhtiar dengan melengkapi diri dengan alat pelindung diri (APD), Bismillah kita lakukan,” imbuh penyuluh yang telah menjadi ASN Kemenag sejak tahun 2000 ini.

Rahmi menceritakan di masa pandemi Covid-19 ini, Ia bersama empat penyuluh agama honorer Kota Mataram telah menyiapkan diri untuk melayani masyarakat, salah satunya memberikan kesediaan untuk mengurus jenazah pasien yang terpapar covid-19. “Terutama kami mengurus pasien yang ODP. Karena kalau jenazah berstatus Pasien Dalam Pengawasan, sesuai protokol diurus langsung oleh pihak rumah sakit,” ujar Rahmi.

Menurut Rahmi, peran penyuluh agama sebagai pendamping masyarakat amatlah penting di tengah pandemi covid-19 ini. Ia sadar kehadirannya di tengah masyarakat akan meringankan beban psikologis masyarakat untuk menghadapi pandemi.

Di Kota Mataram misalnya, Rahmi menuturkan bahwa masyarakat mulai merasakan ketegangan karena adanya Covid-19 ini di Maret 2020. “Kebetulan kita di Kota Mataram dan NTB secara umum kita mulai sangat-sangat waspada di bulan Maret. Saya sendiri memberikan penyuluhan melalui radio saat pandemi mulai merebak, kita sudah antisipasi sejak bulan Maret. Pertengahan Maret sudah mulai agak tegang, dan sudah ada pasien positif di NTB. Itu masyarakat sudah mulai ketakutan, dan mulai paranoid lah,” kisah Rahmi.

“Di saat itulah kami sebagai penyuluh agama merasa harus hadir untuk melayani masyarakat,” tutur lulusan pascasarjana UIN Mataram ini.

Ketegangan di Kota Mataran makin terasa kala Covid-19 mulai memakan korban. “Jangankan memandikan, mau melayat saja orang mikir-mikir. Sudah suasananya tegang, sepi, ketika ada yang meninggal orang juga takut untuk melayat,” kata Rahmi.

Maka berbekal ilmu dan keikhlasan, ibu dari tiga anak ini pun terus melakukan tugasnya untuk mengurus jenazah pasien covid-19. “Semua pekerjaan punya risiko, kuncinya adalah luruskan niat. Semata-mata untuk ibadah. Cintai pekerjaan itu, dan happy mengerjakannya. Alhamdulillah saya mencintai pekerjaan saya sebagai penyuluh agama,” tutur Rahmi.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Satu Keluarga, Satu Pengurus Jenazah

Ia menambahkan urusan mengurus jenazah bukanlah kali pertama dilakukannya. Pekerjaan ini telah dilakukannya sejak delapan atau sembilan tahun yang lalu. “Jadi sebagai penyuluh agama, saya memiliki program untuk memberikan bimbingan penyuluhan terkait dengan pengurusan jenazah,” jelas Rahmi.

"Saya ingin satu keluarga itu, minimal satu orang yang bisa dan berani mengurus jenazah. Karena bisa saja ndak cukup kalau ndak berani," imbuhnya.

Berbeda dengan kebanyakan penyuluh yang menjadikan majelis taklim sebagai kelompok binaan, Rahmi melebarkan sasaran dakwahnya kepada komunitas-komunitas umum dalam masyarakat. “Saya mengajarkan pengurusan jenazah ini kepada para guru di PGRI, komunitas RT, RW, Kelurahan, dan juga remaja,” ungkap Rahmi.

Rahmi mengisahkan, program penyuluhannya ini berangkat dari sebuah keprihatinan karena masih terbatasnya kemampuan dan keberanian masyarakat untuk melakukan serangkaian pengurusan jenazah. “Ini berangkat dari sebuah keprihatinan, saya sering datang melayat sampai menjelang pemakaman kok belum dimandikan,” kisahnya.

“Ada beberapa kasus yang saya lihat, terutama di komplek-komplek perumahan itu sampai sore belum dimandikan. Saya tanya kenapa belum dimandikan? Yang petugas memandikannya belum datang. Jadi yang meninggal itu di Mataram, sementara memandikannya dari orang luar,” lanjutnya.

Melihat fakta itu Rahmi pun mengaku heran. “Masa satu kampung itu ndak ada yang bisa gitu kan? Nah ternyata banyak yang bisa, tapi tidak terbiasa dan tidak berani itu,” jelasnya.

Sejak menemui fakta tersebut, Rahmi pun mulai memberanikan diri untuk mengurus jenazah yang kemudian dilanjutkannya dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat terkait hal tersebut. “Itu program saya yang saya sosialisasikan terus menerus kepada masyarakat, alhamdulillah mendapatkan respons positif. Kami ingin, di setiap rumah minimal ada satu orang yang bisa mengurus jenazah,” tutur Rahmi menegaskan.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya