Liputan6.com, Jakarta - Jumlah penambahan kasus positif Covid-19 di Indonesia kembali mencatatkan rekor terbanyak. Pada Rabu 10 Juni 2020 kemarin, jumlah pasien Covid-19 naik 1.241 orang menjadi 34.316 orang.
Angka tersebut merupakan jumlah kenaikan terbanyak dalam sehari. Sebelumnya, jumlah kenaikan pasien terbanyak ada di angka 1.043 orang pada Selasa 9 Juni 2020. Hari ini, Kamis 11 Juni 2020, angka penambahan masih tinggi dengan 979 kasus baru positif Covid-19.
Fakta itu memunculkan keraguan atas rencana pemerintah untuk menerapkan new normal atau kenormalan baru. Jika saat pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) saja pasien Covid-19 terus bertambah, bagaimana jadinya jika kenormalan baru yang lebih longgar diberlakukan?
Advertisement
Menurut Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan, idealnya PSBB dikuatkan dulu sebelum kemudian dilonggarkan atau menerapkan kenormalan baru. Dengan penguatan PSBB, maka jumlah penambahan kasus bisa ditekan.
"Yang terjadi sekarang, mohon maaf, ada dis-sinkronisasi gitu ya. Pemerintah daerah pengen tetap PSBB, tapi pemerintah pusat ingin losing atau mengendorkan, jadilah seperti ini," jelas Ede kepada Liputan6.com, Kamis (11/6/2020).
Dia mengatakan, seandainya PSBB dikuatkan, maka akan dengan mudah mengetahui klaster penyebaran Covid-19. Misalnya, ketika diketahui klasternya adalah pasar tradisional, maka akan diberikan perhatian lebih kepada pasar tradisional agar kasusnya tak meningkat lagi.
"Atau klaster transportasi, klaster GBK. Karena kalau hari ini diumumkan bukan berarti kasus penyebarannya kemarin persis, tapi kasus lima sampai 7 hari yang lalu. Ini juga barangkali yang harus disampaikan agar lebih clear, supaya masyarakat tidak lagi bingung menangkapnya," ujar Ede.
Di sisi lain, lanjut dia, naiknya angka penambahan kasus positif Covid-19 di Indonesia bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, karena adanya tes masif yang dilakukan pemerintah. Kedua, karena masyarakat tidak disiplin dengan protokol kesehatan serta adanya pelonggaran PSBB.
"Artinya, tes yang masif itu memberikan penemuan kasus yang baru dan itu bagus. Tapi di sisi lain, pelonggaran PSBB juga bisa meningkatkan risiko terjadinya penambahan. Jadi yang ideal itu sebenarnya jangan melonggarkan dulu, jangan new normal dulu. Tesnya yang dimasifkan dulu di semua tempat, jangan hanya di Jakarta saja," papar Ede.
"New normal itu sebenarnya kan kesiapan kita untuk hidup dengan menerapkan norma baru, itu yang harus dipahami. Jadi persiapannya dulu yang harus kita lakukan, bukan mendahulukan mempromosikan new normal itu," ujar pakar epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) itu.
Intinya, tegas dia, peningkatan angka pasien baru Covid-19 yang tak kunjung menurun membuktikan masyarakat kita belum siap untuk masuk ke fase setelah PSBB. Alasannya sederhana, jika dalam masa PSBB saja tak kunjung membaik, akan sangat sulit untuk menurunkan penyebaran pandemi itu di masa setelah PSBB.
"Sebenarnya belum waktunya kita merelaksasi kalau seperti ini penambahan kasusnya. Artinya, masyarakat belum siap, belum mampu menerapkan norma baru untuk bisa hidup dalam new normal," ujar Ede.
Terkait kesimpulan bahwa pandemi Covid-19 di Indonesia belum mencapai tahap puncak, dia juga membenarkan. Alasannya, hingga kini angka penambahan kasus baru masih fluktuatif, kalau tak bisa dikatakan bahkan makin tinggi. Apalagi setelah pekan ini angka penambahan lebih dari seribu pasien baru.
"Pada prinsipnya, kalau sudah sampai ke puncak berarti besok turun kan. Itu saja, kalau kita sudah naik tinggi banget, mau tinggi setinggi apa pun itu, besoknya tuh kasus turun, itulah puncak. Selama masih ada kasus baru dan naik terus ke atas berarti kita belum sampai puncak," jelas Ede.
Dia mencontohkan, jika pekan lalu angka kasus baru Covid-19 adalah 1.000 kasus, kemudian berturut-turut di hari berikutnya angka itu menjadi 700, 500 dan 300, berarti titik puncaknya adalah 1.000.
"Tapi, kalau kemudian kita kembali ke 1.000 atau lebih, artinya kita tetap naik dan belum sampai ke puncak," tegas Ede.
Ketika ditanyakan apakah langkah yang diambil pemerintah saat ini dalam menangani pandemi Covid-19 sudah benar, dia tak bisa memastikan. Alasannya, setiap negara kondisinya berbeda-beda, sehingga cara yang diambil pun tak bisa sama.
"Yang terpenting itu jelas statusnya dan sinkron. Pertama, harus jelas saat ini kita pada status apa sih? Data kita seperti ini, status kita seperti apa? Itu yang mesti dijelaskan. Kedua, kalau sudah tahu statusnya, strateginya apa? Itu mesti konsisten dan sinkron. Itu saja sebenarnya," Ede memungkasi.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Tak Berdiri Sendiri
Penambahan pasien positif Covid-19 yang terus meningkat di Indonesia ternyata tak melulu harus dilihat dari sudut kegagalan. Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Amin Soebandrio melihat data kasus Covid-19 sepekan terakhir dengan parameter berbeda.
"Peningkatan itu harus kita lihat dengan parameter lain. Pertama, di beberapa daerah masih ada peningkatan kasus, itu tak bisa disanggah. Kedua, ada faktor jumlah orang dan sampel yang diperiksa meningkat. Jadi, kalau jumlah yang diperiksa meningkat, maka angka positif juga akan naik," jelas Amin kepada Liputan6.com, Kamis (11/6/2020).
Ketiga, lanjut dia, sistem pelaporan yang membaik. Artinya, laboratorium sudah memfasilitasi dengan baik sehingga hasilnya bisa dilaporkan lebih cepat dan ditabulasi, dirangkum, sehingga hasil yang diumumkan semakin bisa mendekati kenyataan.
"Kalau dulu kan yang dilaporkqn hari ini adalah data pemeriksaan sepekan lalu, sekarang semakin dekat jarak waktunya," ujar Amin.
Namun begitu, dia tak menafikan kalau pelonggaran PSBB berkontribusi dalam meningkatnya angka pasien Covid-19. Kendati dia meyakini kalau faktor itu tak berdiri sendiri.
"Tidak bisa disangkal, mungkin faktor itu ada, tapi bukan faktor yang paling dan satu-satunya. Karena kalau kenaikan ada tapi lab tak bisa mendeteksi dan tidak ada laporan, tak ada data. Karenanya, tiga faktor tadi harus ada," tegas Amin.
Karena itu, terkait dengan rencana penerapan new normal atau kenormalan baru, dia juga tak langsung menanggapi negatif meski angka-angka sudah berbicara bahwa pasien terus bertambah.
"Tentu kita harus lihat kenaikan atau angka-angka lewat faktor-faktor tadi, karena belum tentu kenaikan angka sama dengan kegagalan pelonggaran. Memang ada kenaikan, tapi apakah itu signifikan dengan pelonggaran, belum tentu," ujar Amin.
Kalaupun harus tetap menerapkan kenormalan baru, lanjut dia, pemerintah wajib punya sistem surveillance atau pengawasan yang aktif. Demikian pula dengan kesiapan laboratorium kita.
"Juga kesiapan petugas surveillance kita, siapa saja yang positif harus jelas. Demikian pula dengan sistem karantina mandiri, harus dibuat efektif untuk memutus rantai penularan," jelas Amin.
Dengan semua persiapan itu, dia menilai pemerintah boleh-boleh saja menerapkan kenormalan baru tanpa harus memperpanjang PSBB, tentu saja dengan sejumlah persyaratan.
"Itu bisa dilanjut, tapi di sisi lain harus menerapkan aktif surveillance, karantina mandiri, pembatasan perjalanan ke luar, dan menghindari kerumunan. Itu harus digalakkan dengan kesadaran masing-masing, tidak harus ada petugas. Jangan sampai ada petugas dulu baru disiplin," papar Amin.
Apalagi, dia melihat langkah yang diambil pemerintah selama ini sudah benar melalui sejumlah regulasi. Baik itu di tingkat pusat atau daerah.
"Kalau kita lihat seperti di DKI, pergub-nya dan pedomannya sudah benar. Namun, penerapan di lapangan, sekali lagi konsistensi petugas dan komitmen masyarakat sangat diharapkan agar tak perlu ada kucing-kucing. Kontribusi masyarakat itu paling dalam masa saat ini," Amin memungkasi.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IX DPR Emanuel Melkiades Laka Lena mengucapkan hal senada. Menurut dia, langkah pertama menuju kenormalan baru adalah sikap pemerintah dan masyarakat yang harus sama.
"Masyarakat dan pemerintah harus konsisten dan disiplin menjalankan protokol kesehatan. Jika masyarakat patuh dan taat jalankan aturan, pelan-pelan akan jadi kebiasaan baru dalam berbagai aspek kehidupan," jelas Melkiades kepada Liputan6.com, Kamis (11/6/2020).
Di sisi lain, lanjut dia, pemerintah harus tegas tegakkan aturan dengan berdisiplin, agar masyarakat secara terpaksa atau sukarela menjalankan semua aturan protokol kesehatan.
"Sanksi lunak sampai tegas harus diberlakukan bagi masyarakat yang melanggar, baik denda uang sampai denda lain yang lebih kuat untuk mendorong masyarakat patuh," tegas Melkiades.
Dia yakin, dengan apa yang sudah dilakukan pemerintah hingga saat ini, semua itu akan terwujud. Apalagi dia menilai, sejauh ini respons dan upaya pemerintah relatif bisa meminimalisir penularan.
"Intinya, masyarakat dan pemerintah patuh, konsisten dan disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan. Toh, new normal atau tidak hal di atas harus berjalan," tutup pria kelahiran Kupang, NTT pada 10 Desember 1976 itu.
Lalu, bagaimana pemerintah merespons hal tersebut?
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko memastikan pemerintah tidak akan mengorbankan kesehatan masyarakat dalam menerapkan new normal atau tatanan kehidupan baru di masa pandemi virus Corona (Covid-19). Menurut dia, dalam menangani virus Corona, pemerintah akan tetap mengedepankan kesehatan masyarakat.
"Pemerintah sama sekali tidak ingin mengorbankan rakyat. Prioritas adalah menuntaskan Covid-19, tapi faktor sosial dan ekonomi tak boleh diabaikan," ujar Moeldoko dalam keterangan persnya, Jumat (12/6/2020).
Dia mengakui, menangani pandemi virus Corona bukanlah sesuatu yang mudah diatasi. Kendati begitu, pemerintah optimistis dapat menangani wabah ini dengan bersinergi dengan sejumlah pihak.
"Pandemi ini hal yang luar biasa. Butuh sinergi dan kolaborasi dengan Pemda mengingat tantangan geografis dan populasi di Indonesia," ucap Moeldoko.
Advertisement
Jakarta yang Tak Konsisten
Jakarta memasuki babak baru penanganan Covid-19. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang semula ketat mulai dilonggarkan. Sejumlah sektor yang semula ditutup mulai dibuka kembali. Sejumlah aktivitas yang semula dilarang juga mulai diperbolehkan.
Syaratnya, protokol pencegahan penyebaran Covid-19 tetap harus dijalankan. PSBB saat ini menjadi masa transisi menuju kenormalan baru (new normal ), transisi menuju masyarakat yang sehat, aman, dan produktif.
PSBB transisi ini awalnya diterapkan karena sejumlah data menunjukkan grafik data Covid-19 di Jakarta mulai landai pada pertengahan April 2020 hingga akhir Mei. Namun, setelah PSBB transisi diterapkan pada 5 Juni 2020, grafik kasus Covid-19 di Jakarta mulai menunjukkan peningkatan.
Bahkan pada Selasa (9/6/2020) lalu, penambahan kasus harian di Jakarta sempat memecahkan rekor dengan 232 kasus positif baru. Tambahan kasus positif Covid-19 pada hari itu melampaui puncak kasus di Jakarta yang terjadi 16 April 2020. Kala itu, ada 223 pasien yang dilaporkan positif terinfeksi virus Corona tipe 2 (SARS-CoV-2).
Artinya, tambahan kasus positif Covid-19 itu menjadi yang tertinggi sejak munculnya kasus pertama di Ibu Kota, pada 3 Maret 2020. Padahal, sejak itu sudah diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga kini memasuki PSBB transisi sebelum menerapkan new normal atau kenormalan baru.
Jika melihat pada data yang ada, sejatinya penurunan angka penambahan kasus positif Covid-19 memang tak pernah konsisten. Posisinya selalu naik turun. Beberapa hari setelah angkanya menurun, biasanya akan disusul dengan kenaikan pasien positif selama beberapa hari kemudian sampai kemudian menurun lagi.
Hal itu bisa dibaca dari data 30 hari terakhir jumlah penambahan kasus baru positif Covid-19 sejak 10 Mei 2020 hingga hari ini, Kamis 11 Juni 2020:
- 10 Mei 2020: 134 kasus baru
- 11 Mei 2020: 86 kasus baru
- 12 Mei 2020: 99 kasus baru
- 13 Mei 2020: 183 kasus baru
- 14 Mei 2020: 134 kasus baru
- 15 Mei 2020: 86 kasus baru
- 16 Mei 2020: 107 kasus baru
- 17 Mei 2020: 132 kasus baru
- 18 Mei 2020: 49 kasus baru
- 19 Mei 2020: 65 kasus baru
- 20 Mei 2020: 81 kasus baru
- 21 Mei 2020: 65 kasus baru
- 22 Mei 2020: 99 kasus baru
- 23 Mei 2020: 115 kasus baru
- 24 Mei 2020: 119 kasus baru
- 25 Mei 2020: 75 kasus baru
- 26 Mei 2020: 89 kasus baru
- 27 Mei 2020: 97 kasus baru
- 28 Mei 2020: 105 kasus baru
- 29 Mei 2020: 125 kasus baru
- 30 Mei 2020: 101 kasus baru
- 31 Mei 2020: 118 kasus baru
- 01 Juni 2020: 137 kasus baru
- 02 Juni 2020: 60 kasus baru
- 03 Juni 2020: 82 kasus baru
- 04 Juni 2020: 94 kasus baru
- 05 Juni 2020: 76 kasus baru
- 06 Juni 2020: 104 kasus baru
- 07 Juni 2020: 163 kasus baru
- 08 Juni 2020: 89 kasus baru
- 09 Juni 2020: 232 kasus baru
- 10 Juni 2020: 157 kasus baru
- 11 Juni 2020: 128 kasus baru
Tren penambahan kasus positif Covid-19 di Jakarta memang meningkat dalam beberapa hari terakhir, tepatnya sejak dimulainya PSBB transisi pada Jumat pekan lalu.
Pada hari pertama PSBB transisi, Jumat, ada 76 kasus baru positif Covid-19 di Ibu Kota. Jumlah kasus baru kembali meningkat pada Sabtu keesokan harinya dengan 104 kasus. Sementara pada Minggu, ada 163 kasus baru positif Covid-19 di Jakarta.
Kemudian, pada Senin lalu, jumlah kasus baru menurun dibandingkan hari sebelumnya, yakni 89 kasus. Namun, jumlah kasus baru kembali melonjak pada hari Selasa dengan 232 kasus dan 157 kasus pada Rabu kemarin. Hari ini, Kamis 11 Juni 2020, angkanya masih tinggi dengan penambahan 128 kasus baru.
Jakarta memang tak sendiri, ada wilayah lain seperti Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara dan Kalimantan Selatan yang juga tercatat memiliki penambahan kasus cukup tinggi. Namun, sebagai daerah yang dinilai paling siap menghadapi pandemi Covid-19, posisi sebagai ibu kota negara, serta dukungan pemerintah pusat, mestinya angka itu bisa ditekan serendah mungkin.
Karena itu, alih-alih bersiap menuju kenormalan baru, Kamis ini Pemprov DKI Jakarta malah memutuskan menutup 19 pasar di wilayah Ibu Kota setelah 52 pedagang dinyatakan positif Covid-19 sejak akhir pekan lalu.
Jadi, sudah siapkah kita dengan kenormalan baru?